Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

agenda

Penulis : Sajimin /18/433558/PKU/17471

Pertama kali melakukan pendaftaran di loket BPJS rumah sakit, datang sekitar jam 8.30, dimana kondisi antrian sudah begitu panjang. Ternyata dalam antrian juga terdapat orang yang sedang memiliki agenda lainnya, sehingga pada jam 09.00 ia keluar dari antrian. Sebelum keluar memanggil saya dan memberikan kartu antriannya. Banyak orang-orang baik disekitar kita, ini bisa menjadi refleksi bagi diri dan keluarga, dengan hal-hal kecil dan sederhana bisa dilakukan.

Banyak orang di sekitar kita, dalam penantian antrian seperti ini ada pelajaran bagi saya khususnya untuk belajar bersosialisasi dengan berbagai status social yang ada, pada kesempatan seperti ini bisa berdiskusi tentang berbagai hal. Akhirnya Jam 09.00 pendaftaran diloket mulai di proses beberapa menit selanjutnya dilanjutkan untuk pemeriksaan poli gigi. Sesampai di poli gigi, sudah ada beberapa orang yang sedang mengantri. Ternyata disini juga ada loket antrian, bagi pasien lama perlu menyiapkan rekam medik yang harus dibawa saat pemeriksaan.

Kembali menunggu di poli, 15 menit pertama belum di panggil, 30 menit belum di panggil, kemudian tanya pada petugas. Petugas memberikan penjelasan masih sterilisasi alat, penjelasan ini juga agak aneh pelayanan pertama belum ada sterilasasi alat seharus sudah dilakukan sebelumnya, meskipun kami tahu bahwa dokternya belum datang, akhirnya juga menunggu.

Tibalah giliran untuk pemeriksaan pada jam 10.15, pertama ditanyakan keluhannya, oleh dokter diberikan nasehat untuk rutin melakukan pemeriksaan gigi, kebanyakan pasien seperti ini periksa setelah merasa benar-benar sakit. Selanjutnya diperiksa pada kursi pemeriksaan, karena perlu dilakukan foto pada rahang bagian untuk mendukung pemeriksaan.

Proses berikutnya foto ada rahang bagian belakang, pemotretan dilakukan pada ruang terpisah. Setelah diperoleh hasil maka dilanjutkan konsultasi bahwa giginya harus dicabut karena posisi gigi mendorong gigi yang lainnya. Untuk melakukan pencabutan kondisi gigi harus sehat,karena saat tersebut terasa ngilu,yang dilakukan penambalan sementara dan resep obat. Kemudian dijadwalkan seminggu ke depan dilakukan operasi pencabutan gigi.

Layanan dokter yang saya dapatkan memuaskan, terlebih saat ini ada aplikasi JKN sehingga pasien bisa melihat rekam mediknya sendiri. Tetapi ternyata pencatatan dilakukan secara manual terlebih dulu, sehingga semua data akan kembali disimpan pada rak-rak rekam medik. Rumah Sakit sebesar dan sudah tipe B Pendidikan belum melakukan rekam medik elektronik, sehingga saat pasien berkunjung berkutnya dipastikan akan menunggu karena ruang penyimpan rekam medik juga terpisah.

Meskipun masa-masa menunggu sangat tidak nyaman. Sejak datang hingga selesai layanan memerlukan waktu 2 jam, saya lupa berapa lamanya untuk proses pemeriksaan. Antrian obat di Apotik yang bisa mencapai 1-2 jam. Ternyata waktu yang diperlukan pasien sekali berobat bisa mencapai waktu 4 jam.

Setelah proses pemeriksaan selesai dilakukan, maka pasien kembalikan rekammedis di loket poli dan membawa resep. Kemudian disini dijelaskan bahwa untuk pemeriksaan berikutnya dapa menggunakan pendaftaran melalui layanan sms, pendaftaran dilakukan sehari sebelumnya dengan maksimal pendaftaran sebelum pukul 15.00. Melalui mekanisme ini dapat mengurangi bertumpuknya antrian loket umum, tetapi kenyataannya antrian juga masih banyak. Pendaftaran melalui jalur sms disediakan loket khusus, dan pendaftarannya cukup cepat.

Apalagi pendaftaran ini jika bisa dihubungkan dengan system informasi rumah sakit, maka tidak perlu ada antrian loket di poli. Jika diamati dari infrastruktur dan tenaga sebetulnya hal ini bisa dilaksanakan, tetapi sebagai pasien tidak dapat melihat kebijakan dalam rumah sakit. Harapan semua pasien tentunya antrian dan waktu yang digunakan untuk pemeriksaan tidak terlalu lama.

Semoga hal seperti dapat diperbaiki, sehingga dapat memberikan pelayanan yang memuaskan. Dari rekaman peristiwa seperti ini tentunya dapat dijadikan pembelajaran (lesson learnt) bagi rumah sakit atau pasien.

Yusrianti. KMPK/NIM. 18/433588/PKU/17501

Pengalaman saya mengenai waktu tunggu di poliklinik Rumah Sakit terjadi pada bulan April yang lalu, saya berobat ke poliklinik di RS X, pada saat tiba di RS pukul 09.00 wib, saya mendapatkan nomer antrian 39. Ada tiga loket pendaftaran pasien, satu untuk melayani pasien baru, satu untuk pasien lama dari pasien BPJS dan umum, dan satu lagi loket pendaftaran khusus untuk kalangan RS sendiri, pasien hemodialisa dan pasien poli mata. Sedangkan loket pendaftaran untuk pasien umum dan BPJS tersebut jumlah pasien nya lumayan banyak. Saya menunggu hingga jam 11.30 wib baru dipanggil untuk melakukan pendaftaran. Setelah menyerahkan berkas-berkas yang diperlukan untuk berobat, saya ke poliklinik.

Di poliklinik juga demikian, saya menunggu kembali selama satu jam. Setelah selesai diperiksa dan diberi resep obat saya bertanya ke petugas poliklinik mengenai lama waktu saya berobat. Padahal berdasarkan peraturan Menteri Kesehatan RI nomor 129/Menkes/SK/II/2008 tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit terkait dengan waktu tunggu pasien di rawat jalan ≤ 60 menit(1). Petugas poliklinik berkata, “Jika ingin berobat harus daftar dahulu sehari sebelumnya supaya tidak terlalu lama mengantri di loket pendaftaran.” Bagaimana dengan pasien yang dari luar kota? Mereka tidak tahu mengenai hal ini, sudah datang jauh-jauh dalam keadaan sakit malah harus menunggu lama. Memang ada pemberitahuan mengenai pendaftaran lewat wa ditempel di meja pengambilan nomer pendaftaran, tapi tidak ada informasi atau pemberitahuan ke pasien dari bagian pendaftaran agar pasien bisa mendaftar lewat wa sehari sebelum berobat.

Waktu tunggu yang lama bagi pasien poliklinik akan mempengaruhi mutu pelayanan kesehatan dan tingkat kepuasan pasien di Rumah Sakit. Jika hal ini terjadi terus menerus mengakibatkan ketidakpuasan pasien terhadap pelayanan kesehatan di rumah sakit (2,3).

Di loket pendaftaran untuk pasien baru di RS X tadi, saya diberikan inform consent untuk ditandatangani pasien oleh petugas loket pendaftaran, petugas meminta saya menandatangani informed consent tersebut, petugas memberikan informasi yang minimalis mengenai informed consent. Petugas hanya meminta saya untuk mengisi data dan menandatangani informed consent tersebut tanpa menjelaskan apa kegunaan informed consent tersebut bagi saya. Setelah saya baca dan menyetujui isi dari informed consent tersebut, saya menandatanganinya.

Lesson learn yang bisa saya ambil dari pengalaman saya mengenai waktu tunggu di poliklinik Rumah Sakit dan ketepatan waktu dalam pelayanan kesehatan adalah;

  • Sebaiknya loket pendaftaran untuk pasien ditambah, guna mengurangi waktu tunggu yang lama bagi pasien.
  • Sebagai petugas dalam memberikan pelayanan kesehatan hendaknya memberikan informasi yang lengkap dan akurat. Sebaiknya petugas kesehatan dalam melayani masyarakat harus menjelaskan mengenai informed consent dan kegunaan nya pada pasien. Bahwa dalam prosedur pelaksanaan pemberian informasi pada informed consent terdapat tujuan dari informed consent supaya pasien mendapat informasi yang cukup untuk mengambil keputusan atas tindakan yang akan dilaksanakan terhadap dirinya(4). Dan menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran, yang mengatur mengenai Informed Consent bahwa Informed consent adalah persetujuan tindakan kedokteran yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekat setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut(5).

Referensi

  1. Menteri Kesehatan RI. Menteri Kesehatan RI no 129 tahun 2008 tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit. 2008. p. 1–55.
  2. Torry, Koeswo M, Sujianto D. Faktor yang Mempengaruhi Waktu Tunggu Pelayanan Kesehatan kaitannya dengan Kepuasan Pasien Rawat Jalan Klinik penyakit dalam RSUD Dr . Iskak Tulungagung. J Kedokt Brawijaya. 2016;29(3):252–7.
  3. Almomani I, AlSarheed A. Enhancing outpatient clinics management software by reducing patients’ waiting time. J Infect Public Health [Internet]. 2016;9(6):734–43. Available from: http://dx.doi.org/10.1016/j.jiph.2016.09.005 
  4. Octaria H, Trisna WV. Pelaksanaan Pemberian Informasi dan Kelengkapan Informed Consent di Rumah Sakit Umum Daerah Bangkinang ( RSUD Bangkinang ). J Kesehat Komunitas. 2016;3(2):59–64.
  5. Kemenkes RI. Permenkes 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran [Internet]. 2008. p. 1–10. Available from: http://pelayanan.jakarta.go.id/download/regulasi/peraturan-menteri-kesehatan-nomor-290-tahun-2014-tentang-persetujuan-tindakan-kedokteran.pdf 

Oleh : Yosalli /18/433583/PKU/17496 , PEMINATAN KP-MAK

Pada tahun 2018 lalu sekitar akhir bulan juli, adik sepupu saya megalami kecelakaan lalu lintas di daerah Jalan Lingkar Utara, Yogyakarta. Kejadian itu ketika dia sedang dalam perjalanan menuju kampusnya untuk mengikuti perkuliahan, belum sampai di kampus, sebuah mobil pick up tiba-tiba keluar dari salah satu gang di daerah tersebut, nasib buruk menimpanya, kecelakaan pun tidak bisa dihindarinya, sepeda motor yang dikendarainya menabrak mobil tersebut, dia terlempar dari motor dan mengalami benturan di daerah pipi kiri. Kepalanya pusing dan tidak berdaya untuk bangkit, hingga beberapa menit setelah itu datanglah pengendara lain untuk membantunya. Perasaanya hanya pusing, dia menyadari bahwa daerah pipinya terluka setelah dia merasa ada yang aneh dengan geraham bawahnya. Setelah bercermin ke spion motor pengendara lain yang menolongnya, ternyata mulut, pipi lebam hingga lehernya sudah berdarah, walaupun tidak ada luka lain yang dideritanya selain itu. Setelah didatangi oleh pegemudi mobil pick up dan ditanyai keadaannya, dia menjelaskan kalau dia tidak terlalu parah, pengemudi mobil melanjutkan perjalanannya.

Akhirnya dia berangkat ke sebuah klinik di daerah itu dengan pertolongan salah satu pengendara disana, di klinik hanya tersedia dokter umum waktu itu, lalu dia mendapat penanganan pembersihan luka dan area luka ditutupi kasa dan perban. Pihak klinik menyarankan agar segera berangkat ke Puskesmas, dia mengikuti saran itu dan bergerak ke Puskesmas bersama kakaknya yang sudah dihubungi melalui telepon genggam dari klinik tersebut.

Sampai di Puskesmas, yang sudah tersedia dokter umum dan dokter gigi, dia mendapat penanganan lebih lanjut, disinilah awal penderitaannya dimulai. Dokter di Puskesmas tersebut melakukan pemrikasaan dengan melihat luka yang tadinya ditutupi oleh pihak klinik, lalu melihat rongga mulut dan menyarankan agar adik sepupu saya ini berkumur dengan air untuk membersihkan darah yang ada dalam rongga mulutnya. Setelah dilihat oleh dokter di Puskesmas tersebut dokter mengatakan bahwa gigi geraham bawahnya harus dicabut karena sudah goyang, tetapi tindakan pencabutan tidak bisa dilakukan waktu itu, karena dokter berpendapat bahwa bengkak di daerah pipinya harus dipulihkan dulu hingga menyusut. Dia mengikuti saran dokter, lalu pulang dengan obat penghilang nyeri.

Setelah seminggu kejadian itu, bengkak di daerah pipinya tak kunjung reda, yang ada mulutnya semakin sulit dibuka, sekitar seukuran jari telunjuk orang dewasa saja yang bisa masuk kedalam rongga mulutnya, disamping itu dia juga merasakan nyeri skala 4 dari 1 sampai 5. Dia tida berbuat apa-apa selain menunggu bengkak pipinya menyusut. Kegiatan makan minum dilakukan dengan usaha yang luar biasa, karena setiap upaya pembukaan rongga mulut, itu membuat dia merasakan sakit yang juga luar biasa.

Setelah dua minggu berjalan, perubahan tak kunjung datang, yang ada malahan dia semakin sulit berbicara. Sampai pada waktu dia menghubungi orang tuanya di kampung dan menceritakan keadaannya. Kemudian orangtuanya menyarankan agar dia segera berangkat saja ke Rumah Sakit, setelah berangkat ke salah satu Rumah Sakit di Kota Yogyakarta, seorang dokter menanganinya kembali, melihat ke dalam rongga mulutnya hingga meraba kedua pipinya, kemudian menanyakan apakah dia merasakan nyeri atau tidak.

Setelah pemeriksaan dilakukan, dokter berpendapat bahwa kemungkinan tulang rahang sebelah kiri bagian bawahnya mengalami fraktur, dan dokter pihak rumah sait menyarankan untuk segera di rontgen, dia menuruti saran dokter, dan ternyata memang dia mengalami patah tulang rahang kiri bagian bawahnya.

Setelah melakukan beberapa pengurusan administrasi, dan memberikan kabar ke orangtuanya, dia di operasi di Rumah Sakit tersebut.

Beberapa bulan setelah masa penyembuhan, dia mengalami mati rasa di daerah bibir kiri bagian bawah, hingga dagu bagian kiri dan pipi bawah arah dagunya. Saat kontrol kembali dengan dokter, dia menyampaikan keluhannya tersebut, dan dokter mengakatan bahwa itu mungkin efek dari operasinya, kemudian dokter memberikan beberapa obat lagi. Namun, sampai hari ini, dia masih tidak merasakan rangsangan pada bagian yang mati rasa tersebut.

Kepuasan pasien merupakan kunci penting meningkatkan quality care dalam pelayanan kesehatan, health care provider perlu menyadari bahwa keuntungan utama sistem pelayanan kesehatan adalah pasien. Pasien yang puas akan selalu nyaman di rumah sakit dalam waktu lama, selalu kembali dan merekomendasikan kepada orang lain. 3 hal yang merupakan bagian dari indikator pengukuran kepuasan pasien dalam penilaian pemberian pelayanan kesehatan adalah dengan meningkatnya pertumbuhan rumah sakit yang berbanding lurus dengan peningkatan pengetahuan pasien tentang apa yang seharusnya didapatkan, maka pasien membutuhkan rumah sakit yang menyediakan semua yang dibutuhkan (A. Dedison, 2015).

Selain 3 indikator diatas, ada beberapa faktor lain yang mempengaruhi kepuasan pasien antara lain: prosedur administrasi, pelayanan diagnosis, perilaku staff, kebersihan, kepedulian perawat, makanan, komunikasi, kedekatan psikologi, housekeeping, pelayanan teknis, akses dan alat yang memadai. Jika semua ini berjalan baik maka akan meningkatkan jumlah pasien dan tentu meningkatkan pendapatan rumah sakit (A. Dedison, 2015)

Pada aspek pelayanan diagnosis, dalam kasus ini, kita melihat bahwa di bagian ini, seharusnya pasien kecelakaan lalu lintas dalam hal ini adalah adik sepupu saya, seharusnya mendapatkan pelayanan diagnosis yang tepat dari awal, baiklah kalau itu tidak didapatkan di klinik tempat awal dia mendapat pengobatan karena hanya ditangani oleh dokter umum yang berjaga disana. Tetapi, di fasilitas kesehatan tingkat pertama/FKTP yang notabene sudah memiliki dokter umum dan juga dokter gigi, pelayanan diagnosis yang dia dapatkan seharusnya sesuai dengan standar, atau sesuai dengan harapan yang diinginkannya, bukan seperti yang dialaminya.

Selain itu, kualitas mutu pelayanan yang sangat jelas memberikan pengaruh besar terhadap kepuasan kita, seringkali seperti diabaikan oleh beberapa institusi yang belum menyadari arti pentingnya kualitas mutu pelayanan kesehatan yang diberikan kepada pengguna layanan kesehatan. Banyak kejadian yang terlihat seperti dunia medis di Indonesia ini tidak serius menyikapi persoalan mutu pelayanan kesehatan yang diberikan.

Seperti yang banyak terjadi dalam praktek pemberian pelayanan kesehatan kepada masyarakat di Indonesia lainnya, banyak sekali yang menunjukkan bahwa kualitas mutu pelayanan masih belum menjadi prioritas di kalangan fasilitas pemberi pelayanan kesehatan.

Beberapa highlight berita dibawah ini misalnya, menunjukkan beberapa kasus yang merupakan dampak buruk dari pemberi pelayan kesehatan yang tidak mengedepankan mutu pelayanan mereka, bahkan mungkin sampai berakibat fatal, seperti kecacatan dan kehilangan nyawa para pengguna pelayanan kesehatan ini.

24

Walaupun demikian, perubahan harus terus tetap dilakukan, evaluasi, monitoring dan kajian-kajian tentang mutu pelayanan kesehatan fasilitas kesehatan harus terus diperhatikan. Karena tidak sedikit juga para dokter dan tenaga medis lainnya harus berurusan melalui jalur hukum, dikarenakan oleh tindakan yang mereka lakukan kepada pasien, walaupun kadang mereka tidak berniat melakukannya dan atau mungkin dikarenakan oleh beban kerja yang terlalu tinggi.

Semoga dengan berkembangnya teknologi dan ilmupengetahuan dapat memberikan dampak positif pada mutu pelayanan kesehatan yang diberikan kepada para pengguna pelayanan kesehatan agar masalah- seperti ini tdak terjadi lagi.

Sumber:

Irma Fitrilia-KMPK 18/433484/PKU/17396

Pengalaman terkait dengan waktu tunggu yang ada di Rumah Sakit saya dapatkan ketika mengantarkan ayah saya untuk berobat rutin di salah satu Rumah Sakit yang ada di Malaysia pada awal bulan februari tahun 2019 lalu. Ayah saya sudah menjalani pengobatan secara ruti di Rumah Sakit tersebut sejak tahun 2011 hingga saat ini dimana penyakit yang diderita oleh ayah saya adalah jantung koroner yang sebelumnya telah dilakukan operasi by pass jantung. Pengalaman yang kami dapat termasuk kedalam pengalam yang baik berkaitan dengan waktu tunggu yang tidak terlalu lama untuk pemeriksaan rawat jalan.

Pendaftaran untuk pemeriksaan sama seperti dengan Rumah Sakit pada umumnya yaitu dengan mengambil nomor antrian terlebih dahulu. Kami datang ke rumah sakit sekitar pukul 07.00 pagi dan kemudian dipanggil sekitar 10 menit kemudian oleh bagian petugas administrasi. Ketika melakukan pendaftaran untuk pemeriksaan, ayah saya sudah diberikan pengantar dari dokter jantung yang ada disana saat terakhir berobat yang didalamnya sudah ada keterangan untuk melakukan puasa selama 8 jam untuk pengambilan sampel darah, urin dan pemeriksaan foto rontgen. Karena sebelumnya sudah diberikan pengantar terkait dengan pemeriksaan apa saja yang akan dilakukan dan akan bertemu dengan dokter jantung maka pembayaran dilakukan diawal setelah mendapatkan nomor antrian. Dibagian administrasi ada 6 loket pembayaran dan ruang tunggu yang nyaman dan juga disediakan air mineral. Setelah melakukan pembayaran kami menuju lab untuk pengambilan darah dan urin serta foto rontgen. Antrian untuk pengambilan urin, darah dan foto rontgen tidaklah lama hanya sekitar 10 menit karena disana terdapat 4 petugas maka antrian tidak terlalu lama yang kemudian hasil rontgen bisa kita dapatkan 30 menit setelahnya dan 1 jam untuk lab. Sebelumnya petugas lab sudah memberi tahu bahwasanya hasil akan keluar 30 menit untuk foto rontgen dan 30 menit kemudian hasil sudah diberikan kepada kami.

Ketika hasil rontgen sudah kita dapatkan waktu itu kami sekitar pukul 07.50 selanjutnya kami menuju ruangan dokter dan menyerahkan hasil rontgen kepada perawat disana sedangkan untuk hasil lab karena harus menunggu sekitar 1 jam maka petugas lah yang menghantarkan kepada dokter yang bersangkutan. Jadwal praktek dokter jantung dimulai pukul 09.00 dan kami dipanggil sekitar pukul 09.10 menit berarti menunggu 1 jam lebih 20 menit. Kami tidak melakukan pendaftaran secara online sebelumnya dan karena ruangan tunggu sangat nyaman maka 1 jam lebih 20 menit tidak terasa lama ditambah lagi dokter datang tepat waktu sesuai dengan jadwal praktek. Setelah menunggu dan kemudian dipanggil untuk bertemu dengan dokter jantung dengan membawa hasil lab dan foto rontgen serta sebelumnya sudah dilakukan pemeriksaan awal oleh perawat meliputi pemeriksaan berat badan, tekanan darah dan menanyakan keluhan. Selesai pemeriksaan kami tidak pergi ke apotek untuk mengambil obat karena perawat yang ada yang menghantarkan resep obat sehingga kita tidak perlu antri dan menunggu lama di apotik. Dokter yang ada di rumah sakit tersebut memiliki ruangan yang cukup besar yang terdiri dari beberapa bagian yaitu bagian administrasi, ruangan untuk obat dan juga ruangan pemeriksaan. Kami hanya perlu menunggu sekitar 15 menit untuk mendapatkan obat yang hantarkan langsung oleh petugas yang ada disana dan kami tidak perlu berpindah tempat untuk mengantri obat di apotek, lalu kemudian membayar biaya obat karena pembayaran pemeriksaan sudah dilakukan di awal. Kami selesai melakukan pemeriksaan sekitar pukul 10.00 berarti kami menghabiskan waktu 3 jam untuk pemeriksaan yang termasuk lab, foto rontgen, mendapatkan obat dan ini bukanlah waktu yang lama dengan serangkaian pemeriksaan tersebut.

saya dan ayah saya sebagai konsumen dari rumah sakit tersebut merasa nyaman karena semua alur jelas, ketepatan waktu sangat diperhatikan, prosedur sangat mudah sehingga memberikan kesan baik kepada kami. Rumah sakit memberikan garansi ketepatan waktu karena seperti hasil rontgen, petugas menjelaskan bahwasannya hasil akan keluar 30 menit lagi, dan setelahnya hasil rontgen sudah ada 30 menit kemudian setelah pemeriksaan dilakukan. Berdasarkan pengalaman yang ada kita belajar bahwasanya waktu tunggu di rumah sakit akan sangat berpengaruh terhadap kenyamanan dan kepuasan pasien. seperti penelitian yang dilakukan oleh Laelilay dan Subekti (2019) bahwasanya ada kecenderungan lamanya waktu tunggu pasien rawat jalan akan membuat pasien tidak puas dengan pelayanan yang diberikan di rawat jalan begitu pula sebaliknya, sehingga jika waktu tunggu terlalu lama maka perlu ada perbaikan oleh pihak manajemen rumah sakit (Laeliyah and Subekti, 2019).

Waktu tunggu pelayanan akan sangat mempengaruhi kepuasan pasien, pengalam waktu tunggu yang tidak terlalu lama menjadikan pasien merasa puas. Kepuasan pasien untuk dimensi reliability kaitannya kemampuan memberikan pelayanan dengan segera dan memuaskan sesuai dengan apa yang dijanjikan oleh pihak rumah sakit akan meningkatkan kepuasan pasien (Supartiningsih, 2017). seperti halnya ketika dilakukan pemeriksaan laboratorium petugas menjanjikan bahwasannya hasil pemeriksaan akan keluar 30 menit lagi dan 30 menit kemudian hasil sudah bisa diambil, berarti dalam hal ini petugas sudah sangat memperhatikan dimensi reliability. Ketepatan waktu juga dirasakan dimana dokter datang sesuai dengan jadwal praktek yang tertera sehingga ada unsur kepastian dalam hal ini.

Banyak yang terjadi di berbagai rumah sakit yaitu terjadinya antrian pada instalasi farmasi untuk menebus obat karena umumnya apotek di rumah sakit hanya ada 1. Berdasarkan yang ada di salah satu rumah sakit di malaysia mereka untuk dokter jantung sendiri memiliki petugas dan ruangan layaknya apotek sehingga pasien setelah melakukan pemeriksaan tidak perlu lagi antri di apotek dan pembayaran juga dilakukan di ruangan yang tidak jauh dari ruang dokter sehingga memberikan kenyamanan kepada pasien. perbaikan terhadap waktu tunggu kefarmasian akan sangat mempengaruhi kepuasan pasien, melakukan perbaikan terkait dengan waktu tunggu pelayanan kefarmasian maka kepuasan pasien akan mengalami peningkatan dibandingkan dengan sebelum dilakukan perbaikan (Hakim and Irbantoro, 2015).

Referensi

  • Hakim, L. and Irbantoro, D. (2015) ‘Penurunan Waktu Tunggu Pelayanan Obat Rawat Jalan Instalasi Farmasi Rumah Sakit Baptis Batu Waiting Time Shortening on Outpatient Medicine Services at Pharmacy Departement of Baptis Hospital Batu’, Jurnal Kedokteran Brawijaya, 28(2), pp. 163–168.
  • Laeliyah, N. and Subekti, H. (2019) ‘Waktu Tunggu Pelayanan Rawat Jalan dengan Kepuasan Pasien Terhadap Pelayanan di Rawat Jalan RSUD Kabupaten Indramayu’, Jurnal Kesehatan Vokasional, 1(2), pp. 102–112.
  • Supartiningsih, S. (2017) ‘Kualitas Pelayanan an Kepuasan Pasien Rumah Sakit : Kasus Pada Pasien Rawat Jalan’, Jurnal Medicoeticolegal dan Manajemen RUMAH sAKIT, 6(1), pp. 9–15. doi: 10.18196/jmmr.6122.Kualitas.