Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

agenda

Oleh: Dessyana Iriani / NIM: 18/433454/PKU/17367

Pembelajaran mengenai pentingnya waktu tunggu operasi Sectio Cesarea (SC) Saya dapatkan ketika pengalaman pribadi menjadi pasien pada tanggal 14 Februari 2017 ketika Saya akan melahirkan anak pertama di Rumah Sakit Swasta di Kota P. Malam sebelum operasi tanggal 13 Februari 2017, Saya melakukan pemeriksaan kehamilan dengan salah satu dokter spesialis Obgyn di Kota tersebut dan dokter menyarankan agar segera dilakukan operasi karena beberapa diagnosa yang ditemukan. Keesokan harinya Saya sudah mulai berpuasa, pada pukul 07.00 WIB Saya dan Suami melakukan pemeriksaan kehamilan kembali di Puskesmas K dan sekaligus meminta rujukan untuk melakukan operasi SC dan menceritakan diagnosa dokter Obgyn yang saya temui semalam. Kemudian saya di cek darah dan mendapatkan beberapa tindakan pemeriksaan sederhana di Puskesmas. Pukul 08.00 WIB selesai pemeriksaan Saya mendapatkan rujukan dan langsung menuju Rumah Sakit Swasta yang telah Saya pilih.

Pada Pukul 09.00 WIB Saya sampai dan mengantri pendaftaran hingga pukul 10.00 WIB karena pasien BPJS pada hari itu cukup banyak. Setelah selesai dengan pendaftaran, Saya menunggu kembali di Poli Kandungan selama 1 Jam, Total Saya menunggu dari pendaftaran di loket BPJS hingga dipanggil di Poli Kandungan (masuk dalam Kegiatan rawat jalan) selama 2 jam hal ini tidak sesuai dengan Standar Pelayanan Minimal (SPM) Nasional yaitu waktu tunggu di rawat jalan ≤ 60 menit (Kemenkes, 2008). Pada pukul 11.00 WIB giliran Saya untuk masuk dan menemui dokter. Dokter Obgyn yang ada di Poli adalah dokter yang tadi malam Saya temui dan Saya menjelaskan telah mengambil keputusan untuk operasi hari ini dan mulai berpuasa dari pukul 07.00 pagi kemudian dokter menjelaskan kepada Saya dan Suami mengenai prosedur operasi yang akan saya jalani serta memberikan semangat dan motivasi untuk tetap berdoa supaya semuanya berjalan lancar. Dokter telah melakukan patient centered care dengan 5 dimensi yaitu Menghormati pilihan dan penilaian pasien, memberikan Dukungan emosional, memberikan Kenyamanan fisik, memberikan Informasi dan edukasi dan Melibatkan keluarga. Ada 8 dimensi menurut Picker Institute bekerja sama dengan Harvard School of Medicine dalam Rosa (2018) selain 5 dimensi di atas ada dimensi Berkelanjutan dan transisi, Koordinasi Pelayanan dan Akses Pelayanan. Setelah itu Saya kembali menjalani cek darah atau cek laboratorium yang lebih lengkap dari Puskesmas dan kemudian segera di bawa ke ruangan VK (Verlos Kamara tau Kamar Bersalin).

Di ruang VK terjadi miss komunikasi antara petugas gizi dan perawat. Saya di beri minum teh hangat, padahal Saya sudah memulai puasa untuk menjalankan operasi hari ini. Para petugas belum melakukan patient centered care dimana belum adanya koordinasi pelayanan yang baik. Waktu itu Saya lupa bahwa Saya telah memulai puasa dan minum sedikit teh tersebut karena Saya lelah perjalanan dan lama menunggu antrean pendaftaran dan antrean poli kandungan. Lalu Saya teringat dan melakukan keterlibatan pasien (patient engagement) dengan menanyakan pada perawat bahwa Saya sudah mulai berpuasa tetapi saya lupa dan sedikit meminum teh hangat yang diberikan petugas gizi. Padahal sebaiknya menurut Sukarya, Baharuddin, & Yunizaf (2017) pasien harus melakukan persiapan puasa 6-8 jam sebelum tindakan operasi SC.

Setelah mandi dan berganti pakaian operasi saya menunggu kembali untuk jadwal operasi pada sore hari. Dokter dan perawat menjanjikan operasi akan dilaksanakan pada pukul 15.00 WIB tetapi kenyataannya operasi baru dilaksanakan pada pukul 17.15 WIB tim dokter dan perawat tidak melakukan dimensi kenyamanan fisik dan memberikan informasi, memang ada pemberitahuan bahwa operasi akan terlambat dilaksanakan tetapi tidak ada kejelasan waktu dan alasan kenapa operasi bisa mundur tidak sesuai jadwal awal, walaupun mungkin dikarenakan ada pasien yang keadaan lebih gawat dari saya jadi dokter lebih memilih Operasi saya yang di undur karena keadaan saya tidak terlalu gawat, bayangkan jika keadaan saya gawat harus segera dioperasi namun masih menunggu tim dokter atau perawat yang belum hadir atau terlambat bisa dokter bedah, anastesi dan lainnya maka akan membahayakan nyawa Saya. Seharusnya saya sebagai pasien berhak mendapat informasi yang baik dan benar sehingga dapat mengurangi rasa kuatir yang akan memperngaruhi tingkat stress dan keadaan psikologis pasien saat akan menjalani operasi. Menurut penelitian Priyambodo (2016) sebanyak 12,3% respondennya Ibu Hamil yang akan melaksanakan Operasi SC tidak tepat waktu walaupun tidak terdapat outcome pasien ibu meninggal, namun pada outcome ditemukan 1 bayi meninggal dengan diagnosa fetal distress namun tidak ditemukan variabel yang signifikan terkait terjadinya bayi meninggal. Seperti perumpamaan yang saya sebutkan tadi jika tim dokter atau perawat ada belum hadir maka menurut penelitian ini memberikan saran pengaturan jadwal tim OK (Kamar Operasi) dan sertifikasi SDM menjadi hal yang penting dalam memperbaiki waktu tunggu operasi SC (Priyambodo, 2016). Sama halnya dengan penelitian Priyambodo (2016), penelitian Aweq, Ifantono, & Hakim (2017) menegaskan bahwa solusi permasalahan manajemen staf OK yaitu membuat SPO manajemen waktu staf OK sehingga dapat dapat menurunkan lama waktu tunggu operasi.

Daftar Pustaka

  • Aweq, F. L., Ifantono, N., & Hakim, L. (2017). Efektifitas Standar Prosedur Operasional Terhadap Penurunan Waktu Tunggu Operasi Elektif di Rumah Sakit Umum. Jurnal Medicoeticolegal Dan Manajemen Rumah Sakit, 6(2), 158–162. https://doi.org/10.18196/jmmr.6138
  • Kemenkes. (2008). Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 129/Menkes/SK/II/2008 tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit.
  • Priyambodo, S. (2016). Mutu Klinis Penatalaksanaan Operasi Sectio Cesarea di RSIA Kasih Insani.
  • Rosa, E. M. (2018). Patient centered care di rumah sakit konsep dan implementasi.
  • Sukarya, W., Baharuddin, M., & Yunizaf. (2017). Sebuah Kajian Etik : Bolehkah Dokter Spesialis Obstetri dan Ginekologi Melakukan Tindakan Sesar Berdasarkan Permintaan Pasien Tanpa Indikasi Obstektrik yang Nyata ? Jurnal Etika Kedokteran Indonesia, 1(1), 7–11. https://doi.org/10.26880/jeki.v1i1.3

bimt1

Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FKKMK UGM merupakan institusi yang fokus menyelenggarakan kegiatan-kegiatan terkait peningkatan mutu dalam pelayanan kesehatan di semua instansi kesehatan. Salah satunya, penyusunan rekam medis di FKTP. Ini penting karena pada:

“standar akreditasi FKTP di kriteria 8.4.2. bahwa petugas memiliki akses informasi sesuai dengan kebutuhan dan tanggungjawab pekerjaan. Maksud dan tujuannya adalah Berkas rekam medis pasien adalah suatu sumber informasi utama mengenai proses asuhan dan perkembangan pasien, sehingga merupakan alat komunikasi yang penting”.

Bimtek ini telah kami selenggarakan pada bulan April 2019 dan akan kami selenggarakan secara reguler, sesuai dengan permintaan peserta. Peserta beragam, ada dari kabupaten Belitung dan Yogyakarta. Temuan dari beberapa peserta bahwa rekam medis masih ada dalam bentuk familiy folder dan dalam bentuk personal folder. Dalam standar akreditasi tidak disebutkan tentang hal ini, namun hanya disampaikan tentang isi-isi yang harus ada dalam rekam medis.

Bimtek dapat juga diselenggarakan dalam bentuk in house training, metode ini lebih banyak manfaat. Tim narasumber dan fasilitator berkunjung ke instansi, peserta yang mengikuti pelatihan maksimal 40 orang, dan instansi yang mengundang PKMK dapat mengajak instansi lain.

Penulis: Eva Tirtabayu Hasri (Penanggung jawab Bimtek  This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.  0823-2433-2525)

Oleh: Aryo Ginanjar. KMPK/NIM.18/433438/PKU/17351

Pengalaman tentang waktu tunggu pelayanan rawat jalan di rumah sakit saya dapatkan saat mengantar bapak saya berobat rutin setiap bulan di poliklinik penyakit saraf di sebuah rumah sakit swasta di Kota Banjar Provinsi Jawa Barat. Bapak saya menderita penyakit stroke selama sekitar 5 tahun terakhir dan rutin setiap bulan melakukan kontrol untuk proses pemulihannya. Meskipun berdasarkan pengalaman kami pelayanan di rumah sakit tersebut dapat dikatakan lebih baik dibandingkan beberapa rumah sakit lainnya, namun kami tetap mengeluhkan adanya waktu tunggu yang lama untuk keseluruhan proses pelayanannya.

Prosedur pelayanan rawat jalan di rumah sakit tersebut secara keseluruhan tidak ada perbedaan baik untuk pasien umum (tanpa jaminan/asuransi) maupun untuk pasien JKN. Kami memanfaatkan layanan poliklinik rawat jalan sore hari karena dokter spesialis saraf di rumah sakit tersebut berpraktek di sore hari. Alur pelayanan dimulai pukul 13.00 saat dibukanya pendaftaran pasien, namun saya harus mulai mengantri kurang lebih satu atau dua jam sebelumnya bila ingin mendapatkan nomor antrian awal, karena rumah sakit tidak menyediakan layanan pendaftaran via telepon sehingga pasien atau keluarga harus mengantri di pendaftaran. Setelah mendaftar, sekitar pukul 14.00 petugas mulai memanggil satu persatu pasien untuk dilakukan pengukuran tekanan darah dan anamnesa awal, sedangkan dokter akan mulai memeriksa pasien pada pukul 15.00. Hal ini dirasa cukup merepotkan karena proses pemanggilan pasien oleh petugas poliklinik saraf dilakukan dua kali yaitu saat anamnesa awal dan saat akan diperiksa dokter. Petugas yang melakukanpun hanya ada 1 orang dan hanya ada 1 alat tensimeter sehingga dirasa semakin menambah durasi lama layanan. Saya sempat bertanya kepada petugas kenapa hal tersebut dilakukan dan petugas menjawab bahwa hal tersebut sudah menjadi prosedur dari layanan rawat jalan di rumah sakit tersebut. Selain itu petugas juga mengungkapkan bahwa perlu waktu yang cukup lama untuk menyiapkan dokumen rekam medis pasien lama (kontrol) sehingga hal tersebut juga dilakukan untuk mengisi waktu tunggu pasien untuk diperiksa dokter. Bila mendapatkan nomor awal, kami biasanya selesai diperiksa dokter sekitar pukul 16.00, kemudian dilanjutkan untuk pengambilan obat di instalasi farmasi. Proses dari memasukan resep hingga kami menerima obat biasanya berlangsung sekitar 1 jam sehingga sekitar pukul 17.00 kami telah selesai mendapatkan seluruh pelayanan yang diperlukan. Total keseluruhan waktu yang dibutuhkan dari mulai pendaftaran hingga akhir pelayanan adalah sekitar 4-5 jam, dan durasi waktu tersebut dirasa cukup lama terutama bagi pasien dengan kondisi fisik yang lemah sehingga seringkali menimbulkan keluhan kelelahan dan stres bagi pasien.

Pengalaman menunggu yang kami rasakan adalah pengalaman yang sebenarnya kurang menyenangkan meskipun hal tersebut mau tidak mau kami lewati untuk mendapatkan pelayanan. Menurut Valverde dalam Purwanto (2015), menunggu merupakan suatu interaksi pertama kali yang menghubungkan pelanggan dengan suatu proses layanan. Pelanggan seringkali merasakan bahwa menunggu suatu antrian membuat ketidaknyamanan dan frustasi (stres). Menunggu antrian yang lama menyebabkan persepsi negatif terhadap produksi, kualitas pelayanan dan kepuasan pelanggan (Purwanto et al., 2015).

Pengalaman waktu tunggu yang lama tersebut dirasakan berpengeruh terhadap kepuasaan dan kualitas dari pelayanan yang kami terima. Hasil penelitian Torry (2016) mengungkapkan bahwa kepuasan pasien dipengaruhi oleh waktu tunggu yang dirasakan dan kecepatan pelayanan. Semakin lama waktu tunggu pasien maka kepuasan pasien akan semakin turun. Faktor lain lain yang mempengaruhi persepsi terhadap kualitas pelayanan rumah sakit yang menjadi dasar minat pasien memilih pelayanan kesehatan meliputi infrastruktur, kualitas petugas, perawatan klinis, prosedur administrasi, citra rumah sakit, tanggungjawab sosial rumah sakit, dan kepercayaan terhadap rumah sakit (Torry et al., 2016).

Faktor penyebab lamanya waktu tunggu yang kami rasakan di pelayanan rawat jalan sesuai dengan hasil penelitian yang menyatakan bahwa kurangnya petugas rawat jalan dan rekam medis, kurangnya sarana pendukung serta pendistribusian berkas rekam medik adalah yang paling banyak menjadi faktor penyebab lamanya waktu tunggu (Bustani et al., 2015). Hal tersebut menjadi keluhan bagi kami sebagai keluarga pasien maupun bagi pasien yang kami antar. Keluhan yang biasa dirasakan oleh pasien rawat jalan diantaranya waktu tunggu untuk periksa dokter, perilaku dan komunikasi petugas, ketersediaan berkas rekam medis, fasilitas penunjang di instalasi rawat jalan dan sistem antrian di poliklinik (Herjunianto and Dewanto, 2014). Keluhan tersebut sangat berpengaruh terhadap kepuasan yang kami rasakan. Hasil penelitian lain juga mengungkapkan bahwa faktor yang mempengaruhi kepuasan pasien selain waktu tunggu adalah keramahan petugas di poli rawat jalan, kerapian petugas, kejelasan infomasi yang diberikan petugas, keramahan dokter, kerapian dokter dan ketepatan pelayanan yang diberikan dokter (Putri et al., 2018).

Perlu dilakukan pembenahan dan intervensi sistem pelayanan di rumah sakit untuk menyadarkan pentingnya waktu tunggu pelayanan di poliklinik rawat jalan kaitannya dengan kualitas dan kepuasaan terhadap pelayanan yang diberikan kepada pasien. Pembenahan dapat dilakukan pada 4 dimensi mutu layanan yaitu dimensi tangibles seperti sarana pendukung, ketersediaan SDM dan prosedur pelayanan, dimensi responsiveness yaitu ketanggapan dan kesiapan petugas, dimensi assurance yaitu jaminan kepercayaan pasien terhadap layanan yang diberikan, serta dimensi emphaty yaitu sikap petugas yang ramah dan santun dalam memberikan pelayanan (Laeliyah and Subekti, 2017).

Referensi

  • Bustani, N.M., Rattu, A.J. and Saerang, J.S.M. (2015), “Analisis Lama Waktu Tunggu Pelayanan Pasien Rawat Jalan di Balai Kesehatan Mata Masyarakat Propinsi Sulawesi Utara”, Jurnal E-Biomedik, Vol. 3, pp. 872–883.
  • Herjunianto and Dewanto, A. (2014), “Pengaruh Waktu Tunggu terhadap Wait Satisfaction Pasien di Instalasi Rawat Jalan RSAL dr . Ramelan”, Jurnal Aplikasi Manajemen, Vol. 12 No. 2, pp. 248–257.
  • Laeliyah, N. and Subekti, H. (2017), “Waktu Tunggu Pelayanan Rawat Jalan dengan Kepuasan Pasien Terhadap Pelayanan di Rawat Jalan RSUD Kabupaten Indramayu”, Jurnal Kesehatan Vokasional, Vol. 1 No. 2, pp. 102–112.
  • Purwanto, H., Hidayat, T., Studi, P., Manajemen, M., Sakit, R., Kedokteran, F., Brawijaya, U., et al. (2015), “Faktor Penyebab Waktu Tunggu Lama di Pelayanan Instalasi Farmasi Rawat Jalan RSUD Blambangan”, Jurnal Kedokteran Brawijaya, Vol. 28 No. 2, pp. 159–162.
  • Putri, V.J., Firdaus and Adriansyah, A.A. (2018), “Hubungan Waktu Tunggu Pelayanan Dengan Kepuasan Pasien BPJS Di Poli Rawat Jalan Rumah Sakit Islam Ahmad Yani Surabaya”, Global Health Science Journal, Vol. 3 No. 4, pp. 387–393.
  • Torry, Koeswo, M. and Sujianto. (2016), “Faktor yang Mempengaruhi Waktu Tunggu Pelayanan Kesehatan kaitannya dengan Kepuasan Pasien Rawat Jalan Klinik penyakit dalam RSUD Dr . Iskak Tulungagung”, Jurnal Kedokteran Brawijaya, Vol. 29 No. 3, pp. 252–257.

Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FKKMK UGM bekerjasama dengan LAFAI telah menyelenggarakan seminar berjudul “Regulasi Baru tentang Pencegahan Kecurangan JKN: Kapan Terbit? Bagaimana Kesiapan Sistem Pendukungnya?” pada tanggal 30 Mei 2019. Ada 33 peserta yang berasal dari fasilitas kesehatan dan dinas kesehatan. Narasumber dari PKMK FKKMK UGM, KPK dan Sekretaris Jendral Kementrian Kesehatan yaitu Puti Aulia Rahma, drg.,MPH., CFE, Erlangga Dwiprasetyo, dan Heru Arnowo SH.,MH.

Puti Aulia Rahma menyampaikan sistem anti fraud berdasarkan best practice dari European commission dan Amerika Serikat, adapun poin-poin yang disampaikan:

  1. Siklus program anti fraud direkomendasikan oleh European commission tahun 2013 berdasarkan hasil kajian kesehatan bahwa siklus program anti fraud dimulai dari membangun kesadaran, membangun alur pelaporan, melakukan deteksi, melakukan investigasi, menetapkan dan memberikan sanksi
  2. Setiap pihak yang terlibat dalam pelayanan kesehatan berpotensi melakukan fraud
  3. Akses ke ilmu pengetahuan dapat menjadi media untuk membangun kesadaran, seperti upaya yang telah dilakukan oleh CMS yang telah menerbitkan buku saku bagi klinis dan leaflet tentang bahaya fraud sehingga memungkinkan jika indonesia akan menyusun buku serupa
  4. Harus ada wadah untuk melaporkan fraud, seperti pelaporan fraud terpadu yang dimiliki oleh inspektorat jendral AS. Setiap Faskes bisa saling melaporkan. Indonesia punya lapor.go.id namun tidak bisa menampung laporan criminal sementara fraud criminal sehingga perlu page lapor khsus seperti punya inspektorat jendral AS
  5. Sumber deteksi fraud dapat menggunakan rekam medis atau sarana pengaduan

Heru Arnowo menyampaikan draft permenkes terbaru sebagai pengganti permenkes 36 tahun 2015, adapun poin-poin yang disampaikan:

  1. Pencegahan kecurangan bertujuan untuk prevention, deterrence, disruption, identification, dan civil action prosecution
  2. Prinsip sistem pencegahan kecurangan ada 4 yaitu penyusunan kebijakan dan pedoman, budaya pencegahan fraud, kendali mutu dan kendali biaya, dan pembentukan tim pencegahan dan kecurangan
  3. Implementasi pencegahan kecurangan dilakukan di peserta, BPJS Kesehatan, FKTP, FKRTL, fasilitas kesehatan lainnya, penyedia obat dan alkes, pemberi kerja, pemangku kepentingan lainnya
  4. Alur penyelesaian kecurangan dilakukan secara berjenjang, mulai dari Faskes/BPJS Kesehatan/pemberi kerja/peserta ke kabupaten, provinsi sampai tingkat pusat/instansi pembina

Erlangga Dwisaputro menyampaikan tentang sanksi bagi pelaku kecurangan, adapun poin-poin yang disampaikan:

  1. Alur penyelesaian fraud akan dilakukan secara berjenjang, jika fraud tidak bisa tertangani di bagian bawah atau pada level Faskes/peserta/BPJSK/pemberi kerja maka secara langsung permasalahan fraud akan terekskalasi ke atas hingga pada level pusat
  2. Pada level pusat, fraud yang ditangani hanya fraud yang serius, yaitu:
    • Frekuensi dugaan kecurangan dilakukan berulang kali dengan frekuensi lebih dari 1 (satu) kali dalam kurun waktu 1 (satu) sampai 3 (tiga) bulan;
    • Dugaan kecurangan terjadi di lebih dari 5 (lima) lokus berbeda dalam kurun waktu 1 (satu) sampai 3 (tiga) bulan;
    • Potensi nilai kerugian minimal sebesar Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar);
    • Tidak adanya tindak lanjut atas peringatan dan/atau sanksi yang dikenakan BPJS Kesehatan dan/atau Kementerian Kesehatan dalam kurun waktu yang ditentukan dan telah diberikan peringatan; dan/atau
    • Dampak kehilangan reputasi atau timbulnya publisitas buruk di media nasional dan tuntutan hukum jika kecurangan dibiarkan.
  3. Kriteria pelanggaran dibagi menjadi kecurangan yang menimbulkan kerugian kurang dari Rp 50.000.000 (ringan), kerugian Rp 50.000.000- Rp 500.000.000 (sedang) dan lebih dari Rp 500.000.000 (berat).
  4. Ancaman sanksi diberikan pada tiap pelanggaran berupa:
    • sanksi teguran lisan untuk kategori pelanggaran ringan.
    • sanksi teguran tertulis untuk kategori pelanggaran ringan dan/atau pelanggaran sedang.
    • sanksi pengembalian kerugian akibat tindakan kecurangan kepada pihak yang dirugikan untuk kategori pelanggaran ringan, pelanggaran sedang, dan/atau pelanggaran berat.
    • sanksi tambahan denda administratif untuk kategori pelanggaran ringan, pelanggaran sedang, dan/atau pelanggaran berat.
    • sanksi tambahan pencabutan izin untuk kategori pelanggaran berat.
  5. Isi regulasi didasarkan pada hasil piloting
  6. Piloting dilakukan untuk menguji dan memperbaiki draft pedoman, memperbaiki sistem, memperbaiki regulasi JKN, dan sebagai rekomendasi memberikan sanksi
  7. Objek piloting dilakukan pada layanan katarak, pelayanan fisioterapi, data kredensialing, klaim non kapitasi,potensi perpindahan kepesertaan PBI yang tidak sesuai prosedur, dan potensi pembayaran norma kapitasi yang tidak sesuai dengan ketersediaan tenaga medis

Rekomendasi

  1. Kemenkes perlu menyusun PNPK sebagai standar pemberian layanan di Faskes
  2. Tenaga klinis aktif memberikan pelayanan sesuai dengan PPK yang telah sepakati bersama
  3. Faskes secara reguler melakukan Audik klinis dalam upaya mengukur mutu layanan yang diberikan kepada pasien
  4. BPJS Kesehatan secara reguler melakukan audit data klaim pada data-data yang anomali
  5. Akademisi/profesi membantu meningkatkan kemampuan personil tim anti fraud