Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Headline

Maureen Bisognano, President and CEO Institute for Healthcare Improvement dari USA mengingatkan bahwa para pemimpin dalam bidang pelayanan kesehatan seharusnya telah menggunakan cara berpikir yang berbeda dari cara berpikir tahun 1980an, dia menjelaskan perubahan cara berpikir yang terkait dengan kepuasan pasien, keterlibatan klinisi, pengendalian biaya dan pengukuran kinerja.

21apr

Pada tahun 1980an, isu kepemimpinan di dalam pelayanan kesehatan tentang kepuasan pasien terkait dengan upaya peningkatan fasilitas dan tehnologi, kemudian bergeser ke peningkatan customer service pada tahun 1990an dan lalu tahun 200an ke peningkatan pengalaman pasien (patient experience). Sedangkan pada saat ini (tahun 2010an) mengarah ke keterlibatan pasien dan keluarga dalam pelayanan kesehatan.

Mencermati hal tersebut mau tidak mau memang diakui bahwa di Indonesia perkembangan isu kepuasan pasien masih terjadi di ke 4 area tersebut. Sebagian RS banyak yang masih dalam "era tahun 1980an" (dan memang mungkin masih memerlukan tahap tersebut), hal ini terlihat dari RS yang baru mengandalkan upaya peningkatan kepuasan pasien dengan menambah fasilitas dan juga tehnologi, misalnya memberikan fasilitas kamar super mewah bagi kelas VIP, menyediakan layanan pendaftaran melalui website ataupun telefon dan sebagainya termasuk mengadakan survey kepuasan pasien melalui kuesioner.

Sangat sedikit RS yang telah berupaya meningkatkan pengalaman pasien saat mendapatkan layanan kesehatan, hal ini tercermin dari sedikitnya RS yang menggali pengalaman pasien sesaat akan pulang atau sesaat setelah mendapatkan layanan. RS sering menganggap pelayanan yang diberikan telah berjalan dengan baik karena menggunakan sudut pandang manajemen/klinisi RS bukan sudut pandang pasien.

Melibatkan pasien dalam pelayanan kesehatan bahkan lebih jarang lagi dilakukan oleh RS di Indonesia. Pengelola RS dan klinisi sering berpendapat bahwa pasien dan keluarga sulit memahami dan terlibat aktif dalam pelayanan kesehatan, sehingga nuansa "paternalistik" masih cukup kental terasa. RS Indonesia yang bercita-cita menjadi world class hospital (bukan hanya sekedar terakreditasi internasional) perlu benar-benar berupaya memberdayakan pasien/keluarga serta melibatkan mereka dalam pelayanan kesehatan.

Perubahan mental model kedua dalam peningkatan mutu terkait dengan keterlibatan klinisi. Kalau dulu tahun 1980an klinisi sering hanya dianggap sebagai pelanggan (bahkan sering dikatakan bahwa pelanggan ekternal RS ada 2, yaitu pasien dan dokter) kemudian bergeser menjadi klinisi sebagai partner bekerja (sehingga ada MOU antara RS dengan dokter) lalu bergeser lagi pada tahun 2000an kearah upaya meningkatkan engagement para klinisi (ini antara lain dengan melibatkan klinisi dalam penyusunan rencana stratejik RS hingga pengaturan remunerasi para dokter). Pada era 2010an maka isu tersebut bergeser kearah kepemimpinan klinisi.

Clinical leadership meski sudah sering diungkapkan dalam pertemuan/seminar RS di Indonesia, namun semuanya masih dalam tataran konsep, sangat jarang berbagai hal tehnis clinical leadership yang dibahas di pertemuan-pertemuan tersebut telah diterapkan, misalnya penyusunan rencana stratejik RS (termasuk rencana stratejik peningkatan mutu) lebih sering diarahkan oleh manajemen RS (bahkan sering hanya diarahkan oleh isu/aspek keuangan) tidak diarahkan dari visi para klinisi tentang perkembangan dunia kedokteran/keperawatan.

Menjamurnya RS dengan pusat-pusat keunggulan di RS baik RS khusus maupun RS umum ternyata hanya sebatas jargon, tidak benar-benar diarahkan menjadi pusat unggulan. Hal ini sedikit banyak karena hanya mendapatkan arahan dari sisi manajemen RS tidak dari para klinisi. Kadang hal ini sudah disadari oleh manajemen RS namun ternyata untuk mendapatkan perhatian dan keterlibatan klinisi sebagai leader yang juga menentukan arah perkembangan RS juga sulit (sering dengan dalih tidak punya waktu).

Perubahan mental model ketiga terkait dengan upaya pengandalian biaya, sering dikatakan bahwa meningkatkan mutu otomatis akan menurunkan biaya (yang tidak perlu), pada era tahun 1980an upaya pengendalian biaya dilakukan dengan mengelola sumber daya yang dimiliki (SDM, sarana-prasarana, keuangan dsb), kemudian tahun 1990an bergeser ke pengelolaan Length of Stay lalu bergeser lagi menjadi pengelolaan waste (misalnya dengan menerapkan green hospital ataupun lean hospital), pada tahun 2010an isu pengelolaan biaya bergeser kearah redesain pelayanan (redesign care).

Berbagai RS yang telah mempersiapkan akreditasi JCI ataupun KARS versi 2012 tentu telah mengenal cara melakukan redesign pelayanan dengan melakukan Failure Mode and Effect Analysis (FMEA), ini dilakukan untuk meningkatkan keselamatan pasien, namun sebenarnya pada era tahun 2010an seharusnya RS sudah mampu melakukan redesign untuk mengendalikan biaya.

Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) per tanggal 1 Januari 2014 lalu ternyata tidak disikapi oleh RS dengan merubah/meredesign pelayanannya, pelayanan yang diberikan secara umum masih sama (bahkan sering dikatakakan hanya berganti nama dari pelayanan untuk peserta Askes atau Jamkesmas menjadi untuk peserta BPJS). Padahal seharusnya berlakunya JKN harus membuat RS melakukan perubahan fundamental dalam pelayanan kesehatanya, misalnya memberlakukan sistem remunerasi dokter berdasarkan kinerja (pay per performance) tidak lagi berdasarkan fee for service, mengembangkan manual rujukan antara RS dengan PPK I yang ada diareanya, membuat sistem reminder bagi pasien dan juga klinisi agar tetap dapat mematuhi standar pelayanan klinisi yang telah ditetapkan dan sebagainya.

Perubahan mental model terakhir menurut Bisognano adalah terkait dengan pengukuran kinerja, kalau dulu pada tahun 1980an kinerja hanya diukur sebatas kepatuhan terhadap standar akreditasi (sayangnya di Indonesia masih pada era ini), maka pada tahun 1990an sudah bergeser kepada pelaporan kinerja RS bagi publik termasuk pengukuran kepatuhan terhadap berbagai regulasi, lalu pada tahun 200an bergeser ke penggunaan data sebagai upaya peningkatan mutu (ini sudah dimulai di Indonesia dengan sistem akreditasi yang baru), serta pada tahun 2010an dengan mengkaitkan antara besarnya pembayaran dengan mutu yang dicapai.

Indonesia masih tertinggal jauh untuk isu pengukuran kinerja, seperti disebutkan diatas, kita masih seperti pada era tahun 1980an dimana kinerja RS seperti hanya dinilai dari memenuhi atau tidak standar akreditasi. Meski ada regulasi terkait dengan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah dan juga ada Standar Pelayanan Minimal (SPM) Rumah Sakit namun laporan-laporan tersebut tidak dapat diakses oleh masyarakat, bahkan dewan pengawas RS sebagai wakil dari pemilik RS sering kesulitan membaca laporan tahunan RS karena minimnya telaah dari berbagai data yang disajikan. Mengkaitkan antara besarnya pembayaran dengan mutu yang dicapai juga sama sekali belum dilakukan, sebagai contoh tarif INA-CBGs ditentukan berdasarkan regional dan kelas RS yang tidak mencerminkan mutu RS, sehingga RS yang bermutu belum tentu mendapatkan tarif yang lebih tinggi dari pada RS yang tidak bermutu.

Meskipun berbagai contoh yang diungkapkan diatas lebih banyak diambil dari RS namun sebenarnya semua hal tersebut diatas juga berlaku untuk sarana pelayanan kesehatan lain, seperti Puskesmas, praktek dokter mandiri, rumah-bersalin, apotik, laboratorium dan sebagainya.

Berbagai perkembangan mental model tersebut direkam oleh Bisognano selama menjalani kariernya sebagai pengelola RS dan juga saat ini sebagai konsultan RS, meski diambil dari pengalaman negara maju namun setidaknya bagi RS Indonesia yang ingin benar-benar menjadi world class hospital berbagai perkembangan tersebut perlu dicermati, perlu dilakukan lompatan jauh kedepan (quantum leap) bagi RS yang ingin mengejar ketertinggalannya dari era 1980an menjadi ke era 2010an. Selamat ber-quantum leap.

(Hanevi Djasri, Paris 9 April 2014)

"Striving for excellence" adalah bagian penting dari sikap profesional, yaitu berusaha sekuat tenaga untuk mengutamakan mutu, bekerja sebaik mungkin meski terdapat berbagai hambatan, berupaya mencapai yang terbaik (bukan nomor dua terbaik), bekerja dengan semangat dan dengan perasaan senang dan bangga serta juga ikut senang dan bangga kepada orang lain yang bekerja dengan excellence.

Pemahaman ini penulis dapatkan ketika mendengarkan sesi keynote 1 dari Maureen Bisognano, President and CEO, Institute for Healthcare Improvement, USA. Sesinya penuh dengan semangat menyelesaikan masalah, tidak hanya berbicara teori dan identifikasi masalah namun lebih banyak kepada solusi baik yang telah dilakukan maupun yang masih dalam bentuk usulan. Sesinya penuh dengan "striving for excellence"

Tanpa bermaksud mengecilkan para pembicara serupa didalam negeri, para pembicara di forum ini yang sebagian besar berasal dari Eropa dan Amerika, memang terbiasa dengan budaya kerja keras untuk mencapai sesuatu yang luar biasa. Budaya ini mempengaruhi gaya pembicara dimana pada forum ini sebagian besar pembicara mengungkapkan berbagai inovasi dan hasil yang didapat. Hal ini (mungkin) berbeda dengan budaya kita yang sering menerima pencapaian rata-rata sehingga sering pembicara kita sekedar menceritakan teori ataupun permasalahan.

Bisognano mengusulkan berbagai inovasi yang relatif baru dalam upaya peningkatan mutu, namun sebelumnya ia menyampaikan perubahan mental model yang seharusnya sudah dialami bagi para pemimpin bidang kesehatan dari tahun 1980an hingga tahun 2010an baik yang terkait dengan kepuasan pasien, keterlibatan klinisi, pengendalian biaya dan pengukuran kinerja (penulis akan menyusun artikel mengenai hal ini dan akan segera dimuat di web www.mutupelayanankesehatan.net )

Perubahan mental model para leadership tersebut sepertinya diusulkan oleh Bisognano dengan latar belakang yang sama dengan terbitnya Affordable Care Act atau juga sering disebut sebagai Obamacare, yaitu masalah mutu dan biaya (pada titik ini penulis merasa bangga juga sebagai bangsa Indonesia yang sudah memiliki Jaminan Kesehatan Nasional, yang akan mencakup seluruh rakyat indonesia, yang memiliki nasional single payer healthcare", yang memiliki sistem pembayaran prospektif payment yang seharusnya dapat mendorong mutu dan efisiensi).

Untuk keluar dari masalah tersebut IHI telah mengajukan konsep Triple Aim, dimana para profesional dibidang kesehatan diharapkan dapat menempatkan diri pada titik ditengah segitiga IHI yaitu sebagai koordinator yang dapat membuat keseimbangan antara status kesehatan masyarakat, kepuasan pasien dalam pelayanan kesehatan dan biaya kesehatan (penulis akan menyusun artikel mengenai hal ini dan akan segera dimuat di web www.mutupelayanankesehatan.net )

Untuk dapat mencapai Triple Aim tersebut Bisognano mengusulkan agar pengelola pelayanan kesehatan menggunakan pendekatan "Escape Velocity", sebuah istilah yang diambil dari penerbangan roket di luar angksa, yaitu batas kecepatan yang dibutuhkan sebuah roket untuk dapat keluar dari orbitnya. Dalam mutu pelayanan kesehatan, pendekatan ini digunakan untuk mencari upaya yang dapat membuat tingkat mutu melejit keluar orbit yang bisa-bisa saja menjadi excelent, sebuah peningkatan mutu yang bukan sekedar naik 10% namun peningkatan mutu yang bisa mencapai 10 x lipat (metode ini diadopsi dari dunia pendidikan, baca lebih lanjut pada berita-berita dengan kata kunci "turning classroom upside down" atau "flipped education").

Usulan inovasi lain dari Bisognano adalah mengkaitkan mutu dengan keuangan melalui Time-Driven Activity Based Costing (TD-ABC) yang saat ini sedang diujicobakan oleh IHI bekerjasama dengan Prof Kaplan dari Havard University untuk operasi penggantian sendi untuk meningkatkan outcome sekaligus menurunkan biaya (catatan: Banyak sekali metode-metode quality improvement yang disampaikan dalam forum ini oleh pembicara dari atau yang berafiliasi dengan IHI, penulis menangkap kesan bahwa IHI menggunakan forum ini juga sebagai media promosi untuk membangun "bisnis" mereka yaitu sebagai partner quality improvement. Mungkin IHQN dan PKMK bisa menggunakan pendekatan IHI ini terutama untuk memastikan seluruh kegiatan tercatat dan tersosialisasi dengan baik).

Berbagai usulan tersebut kemudian dijabarkan dalam bentuk implementasi oleh berbagai pembicara lain yang penulis ikuti, yaitu:

1. Peningkatan Outcome Pelayanan Kasus-Kasus Kronis.

Vickie Kaminski, President and CEO, Eastern Health, Newfoundland and Labrador and Chair, Atlantic Healthcare Collaboration (AHC) Executive Committee, Canadian Foundation for Healthcare Improvement, Canada menyampaikan mengenai membangun kolaborasi untuk tatalaksana diabetes melitus antara keluarga dengan sistem kesehatan. Kaminski menjelaskan bahwa model yang mereka kembangkan terdiri dari Integrated Chronic Care Service, Community Health Teams dan Diabetes Management Centre.

Peningkatan outcome untuk diabetes juga disampaikan oleh Claes-Göran Östenson, Professor, Endocrinology, Karolinska Institutet, Sweden. Ostenson mengatakan ada 7 faktor yang dapat membuat tatalaksana diabetes berhasil, yaitu: fokus pada target outcome pasien (HbA1c, BP, Lipid), upaya segera untuk membantu pasien dengan outcome yang tidak baik, kinerja unit diabetes selalu dipantau, akses yang mudah kesumber informasi bagi pasien, ada tindak lanjut dan umpan balik dari hasil pengukuran mutu, peningkatan mutu berkelanjutan serta membangun rasa memiliki untuk program diabetes.

p4

Sedangkan Wendy Nicklin, President and CEO, Accreditation Canada, Canada menyampaikan program akreditasi untuk unit stroke. Nicklin menyatakan Kanada telah mengembangkan sistem akreditasi untuk penyakit stroke. Program akreditasi ini dikembangkan bersama dengan Canadian Stroke Network dangan fokus kepada Canadian Best Practice Recommendation for Stroke Care (ini seperti Pedoman Nasional Praktek Kedokteran/PNPK yang dikeluarkan oleh organisasi profesi. catatan: memang merupakan tantangan tersendiri untuk memastikan PNPK benar-benar dijalankan dilapangan, sehingga akreditasi seperti ini mungkin dapat membantu). Program akreditasi ini difokuskan untuk menilai clinical excellence, mutu, keselamatan dan inovasi. Penilaian dilakukan tiap 2 tahun. (informasi lebih lengkap dapat dilihat di www.strokebestpractices.ca 

Pembicara berikutnya adalah Kathy Elliott, Programme Director, NHS Improving Quality, England. Elliott menyampaikan mengenai Achieving improved cancer outcomes - a pathway approach, engaging primary care and partners. Elliot mengatakan bahwa Inggris cukup berhasil meningkatkan outcome pasien dengan cancer karena beberapa upaya berikut: Shared purpose, clinical leadership, open approches, relationships and networking, patien and public focus serta sustaining a focus.

Keempat pembicara ini seakan menegaskan bahwa untuk mencapai mutu yang telah mereka capai memang diperlukan sikap "strive for excellent" tidak saja dari leader tapi dari seluruh staf, sebuah budaya bersama.

2. Deliver Value by Desain

Pembica pertama adalah Anthony M. DiGioia III, MD, Medical Director, PFCC Innovation Center and the Bone and Joint Center, Magee-Womens Hospital of UPMC, USA yang membahas mengenai Deliver value by design with PFCC (Patient and Family Center Care): improve outcomes while reducing costs. DiGioia mengatakan bahwa value pelayanan kesehatan adalah outcome pelayanan kesehatan (yang penting bagi pasien) dibagi dengan biaya.

DiGioia juga menggunakan TDABC yang dapat menghitung biaya dengan tepat dengan mengidentifikasi baik biaya personal, ruangan, peralatan dan bahan habis pakai (TDABC ini dapat dipelajari lebih lanjut "How to Solve the Cost Crisis in Health Care di Havard Business Review 2011).

Pembicara selanjutnya adalah Beverley FitzsimonsFellow in Health Policy, the King's Fund, England yang membawakan presentasinya dengan judul Deliver value by design - Patient and family centred care. FItzsimons menceritakan pengalamannya menggunakan konsep PFCC bahwa untuk mencapai outcome yang luar biasa, diperlukan leadership dan budaya, perhatian dari staff, partnership, realibility care dan evidenced based care.

Fitzsimons kemudian menjelaskan 6 langkah dari PFCC yang juga sudah disampaikan oleh DiGioia yaitu: mengidentifikasi pengalaman pasien, menetapkan pedoman, mengevaluasi kondisi dilapangan, mengembangkan working group, menyebarluaskan visi tentang pengalaman pasien yang ideal serta mengidentifikasi project PFCC untuk dijalankan.

3. Indikator Mutu Nasional.

p5Sesi ini menghadirkan pembicara dari 2 negara yaitu Belanda dan Swedia yang diposisikan untuk beradu argumentasi, yaitu Ian Leistikow, MD PhD, dan Jan Maarten van den Berg, keduanya adalah Senior Inspector, Dutch Healthcare Inspectorate, the Netherlands serta Fredrik Westander, Consultant, Regional Health Care Quality Comparisons, Swedish Association of Local Authorities and Regions (SALAR), National Board of Health and Welfare, Sweden.

Perdebatan terkait dengan berbagai opsi: apakah memilih prioritas menetapkan daftar indikator yang ideal atau membangun sistem pengukuran indikator dahulu, apakah tercapainya indikator yang terpenting atau proses peningkatan mutu yang lebih baik, apakah fokus kepada beberapa indikator dulu atau langsung menyediakan daftar lengkap indikator, apakah fokus kepada benchmarking atau pada quality improvement.

Kedua negara mengambil opsi yang berbeda, namun tentunya mereka mengambil kesimpulan bahwa dua kutub perbedaan opsi tersebut sebenarnya sama-sama penting.

 

 

Maureen Bisognano, President and CEO Institute for Healthcare Improvement dari USA menggunakan istilah "Escape Velocity" untuk menggambarkan upaya yang diperlukan agar tingkat mutu pelayanan kesehatan dapat melejit tinggi tidak hanya sekedar naik secara bertahap. Istilah tersebut diambil dari penerbangan roket di luar angksa, yaitu batas kecepatan yang dibutuhkan sebuah roket untuk dapat keluar dari orbitnya.

Dalam mutu pelayanan kesehatan, pendekatan tersebut digunakan untuk mencari upaya yang dapat membuat tingkat mutu melejit keluar orbit yang biasa-biasa saja menjadi excelent, sebuah peningkatan mutu yang bukan sekedar naik 10% namun peningkatan mutu yang bisa mencapai 10 x lipat.

Bagaimana cara mendapatkan escape velocity? Berikut usulan dari Bisognano:

Upaya luar biasa untuk melejitkan mutu pelayanan kesehatan memerlukan ide-ide baru, inspirasi dan kerjasama kolektif dari semua komponen dalam sistem pelayanan kesehatan. Kita harus sama-sama berani menatap langit (maksudnya berani menetapkan standar tertinggi dan bertekad bulat mencapainya).

Keberanian dan kebulatan tekad tersebut akan mempercepat perubahan, mendorong kerjasama antar masyarakat untuk membuat sesuatu yang mustahil menjadi mungkin. Hal ini diperlukan karena banyak hal yang membuat kita tetap pada "orbit" yang sama, seperti permainan atau kebuntuan politis, keterbatasan pemikiran, tarik menarik antara peningkatan volume dengan value, dan berbagai tantangan kompleks lainnya.

Contoh keberanian dan kebulatan tekad dari IHI adalah untuk: 1) Menciptakan suatu kontrak sosial tentang kesehatan yang dapat menjadi pedoman pengambil keputusan dalam setiap sektor dalam masyarakat. 2) Mendorong bergesernya anggaran kesehatan ke pelayanan kesehatan primer/masyarakat sebesar 20% pada tahun 2020. 3) Membuat 100 juta penduduk miskin dan tidak berdaya dapat kembali sehat dan sejahtera. 4) Menciptakan 10.000 komunitas yang dapat meng-eliminasi masalah kesehatan yang dapat dicegah (preventable health).

Dalam konteks di Indonesia jika kita ingin melejitkan mutu pelayanan kesehatan, maka terlebih dahulu perlu ditetapkan lompatan mutu pelayanan kesehatan seperti apa yang diinginkan dan standar setinggi apa yang dicapai. Menggunakan berbagai dimensi mutu, maka standar mutu tersebut dapat ditetapkan seperti: Membuat seluruh masyarakat di Indonesia terjamin akses kepada pelayanan kesehatan primer, sekunder dan tersier; Menyediakan pelayanan world class untuk 10 penyakit terbanyak (dibuktikan dengan tercapainya indikator klinis baik proses maupun outcome); Menurunkan angka kejadian yang tidak diharapkan; Membuat keseimbangan antara biaya kuratif dengan biaya perventif dan promotif; dan sebagainya.

Setelah itu perlu ditetapkan 4-5 strategi yang dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan, menyebarluaskan visi tentang lompatan mutu tersebut, lalu menghimpun para "pemain" yang tepat yang dapat mengatasi masalah.

Pertanyaan utama bila ini akan diterapkan di Indonesia adalah: Siapa yang akan memulai? Dan mungkin yang terpenting adalah siapa yang akan menjadi follower awal?

Pertanyaan tersebut penting karena sering sekali berbagai inovasi untuk melejitkan mutu pelayanan kesehatan telah dimulai namun sayangnya tidak dilanjutkan oleh barisan follower, misalnya program Sister Hospital yang bertujuan untuk melejitkan mutu pelayanan obstetri dan neonatal emergency komprehensif (PONEK) telah dimulai oleh FK-UGM dan telah diikuti (dalam bentuk kerjasama) oleh berbagai sentra pendidikan kedokteran lain, namun saat ini belum menjadi gerakan masal dimana sentra pendidikan kedokteran ataupun RS besar dapat melakukan kegiatan ini secara mandiri.

Contoh lain adalah penyusunan manual rujukan KIA yang telah dimulai di Provinsi NTT dan DIY yang bertujuan untuk menata agar rujukan ibu dan bayi dapat terselenggara dengan mulus dan dapat memberikan dampak penurunan kematian ibu dan bayi karena keterlambatan atau ketidaktepatan merujuk.

(Hanevi Djasri, Paris 9 April 2014)

Mencetuskan revolusi? ini mungkin bagian yang paling menarik, penulis merasa bahwa mengikuti forum ini seperti masuk ke supermarket mutu dan keselamatan pasien, ada sekian banyak konsep, pengalaman, hasil, evaluasi, rencana hingga ide dan inovasi untuk peningkatan mutu. Pastinya tidak semua perlu (dan tidak sanggup) untuk "dibeli" perlu dipilih secara cermat sesuai kebutuhan lalu menggunakannya.

Dari berbagai sesi yang diikuti terdapat berbagai ide untuk mencetuskan revolusi dalam bidang mutu dan pelayanan kesehatan

1. Melakukan Analisa Cost Effectiveness

Edward Broughton, Director of Research and Evaluation, University Research Co., LLC (URC), USA membawakan sesi dengan judul "are you sure your improvements are cost-effective?". Hasil analisa cost-effectivenss dapat menginisiasi adanya perbaikan, baik bila ternyata upaya peningkatan mutu kita tidak cost efektif ataupun sebaliknya.

Broughton menjelaskan bahwa cost effective adalah cost dibagi dengan effect, sedangkan cost effective analysis adalah cost effective dari sebuah intervensi dibandingkan dengan baseline (misalnya tidak dilakukan intervensi) atau dengan intervensi lain yang berbeda. Namun Broughton juga menjelaskan bahwa analisi ini juga tergantung dengan perspektif siapa yang digunakan, time-frame yang digunakan serta efektifitas unit mana yang digunakan.

Broughton menggunakan perhitungan ICER (Incremental Cost Effectiveness Ratio) dengan membandingkan antara perbedaan biaya dibagi dengan perbedaan efek. Hasil perhitungan dapat digunakan untuk menentukan apakah sebuah intervensi benar dapat meningkatkan mutu dan mengurangi biaya (sehingga bisa diperluas) atau justru tidak meningkatkan mutu namun justru menambah biaya (sehingga perlu dicari intervensi lain (catatan: di Indonesia banyak sekali upaya peningkatan mutu yang telah dilakukan, seperti perubahan standar akreditasi RS, penerapan standar PONEK, perubahan struktur organisasi komite medis, pembangunan RS akademik milik universitas, dsb. Namun belum pernah dilakukan cost-effectiveness analysis)

2. Melakukan Inovasi

Selama bergabung dengan PKMK FK-UGM, penulis telah mengalami/terlibat dalam berbagai inovasi dalam kebijakan dan manajemen kesehatan, namun demikian IHI (Institute for Healthcare Improvement) memiliki lebih banyak lagi inovasi-inovasi yang sering sekali merupakan inovasi baru. Bagaimana cara mereka membuat inovasi tersebut dijawab oleh Kedar Mate, Vice President dan Lindsay Martin, Executive Director keduanya dari Institute for Healthcare Improvement (IHI).

Mate menjelaskan bahwa inovasi dapat berasal dari lembaga penelitian atau industri lain, inovasi "bi-directional", inovasi disruptive hingga inovasi dari lead user. Mate kemudian menjelaskan mengenai berbagai bentuk inovasi tersebut dan contoh-contohnya (catatan: dapat dipelajari lebih lanjut di http://www.ihi.org/resources/Pages/IHIWhitePapers/default.aspx).

Martin kemudian menjelaskan mengenai penerapan konsep tersebut di IHI, yaitu dengan menerapkan apa yang mereka sebut sebagai 90 days learning cycle, dimana siklus ini terdiri dari melakukan scaning isue-isue penting, memilih dan melaksanakan fokus yang akan diintervensi lalu melakukan merangkum dan menyerahkan hasil intervensi. Martin kemudian menjelaskan tahap-tahap tersebut dan contoh aplikasinya (catatan: dapat dipelajari lebih lanjut di http://www.ihi.org/about/Documents/IHI%20Innovation%20Summary.pdf)

3. Membangun Networking

Sebagai koordinator IHQN (Indonesian Healthcare Quality Network) penulis bercita-cita agar IHQN dapat menjadi jejaring kerjasama yang benar-benar dapat mempertemukan berbagai kepentingan dan sumber daya dalam upaya peningkatan mutu. Salah satu ide revolusi untuk hal tersebut disampaikan oleh Simon Berry, CEO, ColaLife and Project Manager, Kit Yamoyo Transition to Scale (KYTS), ColaLife, UK and Zambia.

p8

Berry menceritakan bagaimana ia membangun jejaring kerjasama untuk berpartisipasi menurunkan angka kematian balita akibat diare di Zambia (catatan: Zambia terletak di Afrika Selatan, berbatasan dengan Congo, Tanzania dan Malawi). Jejaring kerjasama tersebut berawal dari pengamatan sederhana pada tahun 1985, yaitu fakta bahwa mendapatkan 1 botol Coca-Cola diberbagai pedalaman Zambia jauh lebih mudah dari pada mendapatkan 1 paket obat diare bagi balita.

Ide dasar dari Berry (bertempat tinggal di Inggris) adalah menyertakan paket obat diare dalam krat (wadah botol-botol) Coca-Cola untuk didistribusikan bersama. Ide tersebut pertama kali di-share pada tahun 2008 melalui Facebook, yang kemudian mendapat tanggapan dari penelliti di Canada dan juga dari Havard dan Unicef. Networking kemudian semakin berkembang dengan kegiatan penggalangan dana (bersepeda keliling Perancis mendapatkan 6.000 poundsterling) sehingga dapat melakukan kunjungan perdana ke Zambia pada tahun 2010.

Berdasarkan hasil penelitian awal maka kemudian Berry mendapatkan dukungan lebih luas pada tahun 2011 baik dari Unicef, UK-Aid, Johns Hopkins dan berbagai industri (seperti Johnson&Johnson dan Honda) sehingga dapat merealisasikan ide tersebut secara lebih luas untuk menurunkan kematian balita akibat diare di Zambia.

p9