Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Headline

Sebagai bagian persiapan akreditasi versi baru, rumah sakit memperbaiki sistem triase di instalasi gawat darurat (IGD). Kondisi IGD yang padat dan tidak terprediksi kerap menjadikan sumber daya yang ada terbenam dalam kepadatan pasien yang masuk (1). Kepadatan ini menurut Institute of Medicine (IOM) di Amerika Serikat dianggap sebagai krisis nasional. Kepadatan pasien IGD selain mengupayakan keselamatan pasien, juga mengancam privasi pasien, dan membuat frustasi staf IGD (2) sehingga proses triase dirasa sebagai kebutuhan dan bukan sekedar pemenuhan standar.

Triase adalah tingkatan klasifikasi pasien berdasarkan penyakit, keparahan, prognosis, dan ketersediaan sumber daya (3). Definisi ini lebih tepat diaplikasikan pada keadaan bencana atau korban masal. Dalam kegawatdaruratan sehari-hari, triase lebih tepat dikatakan sebagai metode untuk secara cepat menilai keparahan kondisi, menetapkan prioritas, dan memindahkan pasien ke tempat yang paling tepat untuk perawatan (1).

Sebagian besar rumah sakit di Indonesia masih menggunakan sistem triase "klasik". Sistem triase ini sebenarnya mengadaptasi sistem triase bencana, dengan membuat kategori cepat dengan warna hitam, merah, kuning, dan hijau. Hitam untuk pasien meninggal, merah untuk pasien gawat (ada gangguan jalan nafas, pernafasan, atau sirkulasi), kuning untuk pasien darurat, dan sisanya hijau. Sistem tiga level ini tidak cocok bagi IGD rumah sakit modern yang perlu mempertimbangkan evidence-based medicine atau kedokteran berbasis bukti.

Sejauh penelusuran yang bisa dilakukan penulis, ada beberapa sistem triase berbasis bukti yang bisa diacu. Sistem tersebut antara lain Canadian Triage and Acuity Scale (CTAS) dari Canada, Manchester Triage Scale (MTS) dari Inggris, Austraian Triage Scale (ATS) dari Australia, dan Emergency Severity Index (ESI) dari Amerika Serikat. Berbeda dengan sistem triase "klasik", sistem-sistem ini mengelompokkan pasien ke dalam lima level berjenjang. Sistem penjenjangan lima level ini lebih terpercaya dibanding dengan pengelompokan tiga level seperti pada sistem triase "klasik" (1,3).

Emergency Severity Index (ESI) dikembangkan sejak akhir tahun sembilan puluhan di Amerika Serikat. Sistem ESI bersandar pada perawat dengan pelatihan triase secara spesifik. Pasien yang masuk digolongkan dalam ESI 1 sampai ESI 5 sesuai pada kondisi pasien dan sumber daya rumah sakit yang diperlukan oleh pasien (1,3,4). ESI tidak secara spesifik mempertimbangkan diagnosis untuk penentuan level triase dan tidak memberikan batas waktu tegas kapan pasien harus ditemui dokter.

Menarik untuk membahas ESI dalam konteks IGD rumah sakit di Indonesia. Ada sedikitnya tiga alasan mengapa ESI lebih cocok diterapkan di sebagian besar IGD di Indonesia. Pertama, perawat triase dipandu untuk melihat kondisi dan keparahan tanpa harus menunggu intervensi dokter. Alasan kedua, pertimbangan pemakaian sumber daya memungkinkan IGD memperkirakan utilisasi tempat tidur. Ketiga, sistem triase ESI menggunakan skala nyeri 1-10 dan pengukuran tanda vital yang secara umum dipakai di Indonesia.

Triase ESI bersandar pada empat pertanyaan dasar (4) algoritme pada gambar 1. Kategorisasi ESI 1, ESI 2, dan ESI 5 telah jelas. Kategori ESI 2 dan ESI 3 mensyaratkan perawat triase mengetahui secara tepat sumber daya yang diperlukan. Contoh sumber daya adalah pemeriksaan laboratorium, pencitraan, pemberian cairan intravena, nebulisasi, pemasangan kateter urine, dan penjahitan luka laserasi. Pemeriksaan darah, urine, dan sputum yang dilakukan bersamaan dihitung satu sumber daya. Demikian pula CT Scan kepala, foto polos thorax, dan foto polos ekstremitas bersamaan dihitung sebagai satu sumber daya.

art-20mei-3

Anak-anak adalah populasi yang perlu mendapatkan perhatian dalam triase. Bila pada sistem yang lain belum jelas mengenai kriteria triase pasien pediatri, ESI mempunyai satu bagian tersendiri mengenai triase pada anak-anak. Bagian ini memberikan petunjuk yang jelas mengenai apa saja yang harus diperiksa ketika melakukan triase pasien anak-anak. Inilah yang tidak dijumpai pada sistem triase yang lain.

Aslinya, ESI dibuat dalam konteks IGD sebagai antar muka EMS dan pelayanan rumah sakit. Sebuah penelitian di Eropa (5) juga menambahkan fakta menarik mengenai ESI pada pasien yang datang sendiri ke IGD, kondisi yang lebih mirip dengan Indonesia. Penelitian ini menemukan bahwa sistem triase ESI ini dapat dipercaya dan diandalkan pada pasien-pasien yang datang sendiri ke IGD. Tidak ada modifikasi yang perlu dilakukan pada algoritme sistem triase ESI untuk pasien-pasien yang datang sendiri ke IGD.

Berbagai fakta di atas meyakinkan kita bahwa sistem triase ESI berpotensi diaplikasi di IGD rumah sakit di Indonesia untuk meningkatkan keselamatan pasien dan efisiensi pelayanan. Kepala IGD perlu merencanakan waktu dan strategi untuk dapat berpindah dari sistem triase "klasik" menjadi sistem triase ESI ini. Namun, alasan efisiensi sumber daya dan keselamatan pasien sudah cukup bagi IGD rumah sakit untuk merencanakan sistem yang lebih baik. Salam!

Penyusun
Robertus Arian Datusananatyo (Kepala Instalasi Gawat Darurat RS Panti Rapih)
Tulisan ini adalah opini pribadi.

Daftar Pustaka

  1. Christ M, Grossmann F, Winter D, Bingisser R, Platz E. Modern triage in the emergency department. Dtsch Arztebl Int [Internet]. 2010 Dec [cited 2013 Aug 8];107(50):892–8. Available from: http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=3021905&tool=pmcentrez&rendertype=abstract 
  2. Oredsson S, Jonsson H, Rognes J, Lind L, Göransson KE, Ehrenberg A, et al. A systematic review of triage-related interventions to improve patient flow in emergency departments. Scand J Trauma Resusc Emerg Med [Internet]. 2011 Jan [cited 2013 Aug 16];19:43. Available from: http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=3152510&tool=pmcentrez&rendertype=abstract 
  3. Mace SE, Mayer TA. Chapter 155 Triage. In: Jill M. Baren, Rothrock SG, Brennan JA, Brown L, editors. Pediatric Emergency Medicine. 1st ed. Philadephia: Elsevier Health Sciences; 2008. p. 1087–96.
  4. Gilboy N, Tanabe P, Debbie T, Rosenau AM. Emergency Severity Index (ESI): A Triage Tool for Emergency Department Care Version 4 Implementation Handbook 2012 Edition. AHRQ Publi. Rockville, MD: Agency for Healthcare Research and Quality; 2011.
  5. Elshove-Bolk J, Mencl F, van Rijswijck BTF, Simons MP, van Vugt AB. Validation of the Emergency Severity Index (ESI) in self-referred patients in a European emergency department. Emerg Med J [Internet]. 2007 Mar [cited 2013 Sep 12];24(3):170–4. Available from: http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=2660021&tool=pmcentrez&rendertype=abstract 

 

Salah satu tantangan dalam pengelolaan rumah sakit menghadapi akreditasi sistem yang baru adalah masalah keselamatan. Gerakan keselamatan pasien menjadi urat nadi sistem akreditasi rumah sakit. Walau mengadopsi sistem dari Joint Comission International (JCI), nampak bahwa Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS) ingin mengedepankan mutu dan keselamatan pasien sebagai panglima dalam akreditasi rumah sakit.

Selain keselamatan pasien, kewaspadaan terhadap kebakaran dan kebencanaan adalah bagian dari sistem akreditasi dan berkaitan langsung dengan keamanan, keselamatan, pengelolaan limbah, pengelolaan sistem utilitas (listrik, air, gas, pengatur suhu, dan lain-lain), dan pengelolaan alat medis. Berbagai titik tangkap mengenai keselamatan ini menunjukkan bahwa sarana gedung, lokasi bangunan, dan sistem pendukung kebencanaan yang ada di rumah sakit sering kali belum layak. Banyak rumah sakit di Indonesia dibangun tanpa mempertimbangkan faktor keselamatan dalam rancangannya. Dalam persiapan akreditasi, rumah sakit kemudian menyiasati berbagai kekurangan ini.

Salah satu perencanaan yang komprehensif dalam hal kebencanaan sering disebut sebagai hospital disaster plan atau sering disingkat dengan HDP. Dokumen HDP sering hanya berhenti pada penyusunannya saja dan lupa diuji coba untuk melihat kelayakan penerapannya. Banyak yang lupa, bahwa perencanaan sering kali berbeda dengan kenyataan di lapangan. Simulasi bencana, dengan demikian, sebenarnya adalah bagian tidak terpisahkan dari penyusunan HDP.

Rumah Sakit Panti Rapih, tempat penulis berkarya, juga memiliki HDP. Kami menyebutnya rencana penanggulangan bencana rumah sakit, atau kami singkat sebagai RPBRS. Dokumen RPBRS ini merupakan kerja bersama seluruh unit kerja di RS Panti Rapih dikoordinasi oleh panitia pembina keselamatan dan kesehatan kerja (P2K3) dan tim manajemen risiko. Dalam penyusunannya, tim peningkatan mutu dan keselamatan pasien (PMKP) dan komite pengendalian infeksi rumah sakit (KPIRS) juga ikut berkiprah.

Dalam menyusun RPBRS, seluruh unit kerja diminta membuat perencanaan apa yang akan dilakukan ketika terjadi bencana. Setelah perencanaan unit terkumpul, dibantu suatu draft, dokumen disusun. Penyusunan dokumen diikuti dengan rapat dan diskusi. Rapat dan diskusi menghasilkan kesepakatan bersama. Salah satu contoh kesepakatan bersama yang dicapai lewat rapat dan diskusi adalah penetapan jalur evakuasi, pembukaan titik kumpul aman, dan zona pelayanan triase. Pendek kata, RPBRS kami merupakan pemberdayaan seluruh unit.

Dokumen RPBRS mengatur perencanan sistem komando saat bencana, evakuasi pasien rawat inap, kelanjutan perawatan pasien di titik kumpul aman, pengelolaan pengunjung dan keluarga pasien, prioritisasi penanganan korban dari luar rumah sakit, aktivasi sistem pendukung pelayanan, dan asesmen bangunan dan sistem utilitas. Rencana tersebut kemudian disosialisasikan ulang kepada seluruh unit kerja, dengan dua cara. Cara pertama dilakukan di unit kerja masing-masing. Tim RPBRS berkeliling ke seluruh unit kerja untuk bicara mengenai RPBRS dan tugas secara spesifik apa yang dibebankan pada unit kerja tersebut. Cara kedua adalah dengan cara klasikal. Cara klasikal diberikan kepada para kepala unit kerja saat pertemuan dan pada karyawan baru atau baru diangkat.

Setelah fase sosialisasi selesai, kami adakan simulasi. Simulasi besar yang diadakan 6 April 2014 yang lalu bekerja sama dengan Akademi Keperawatan Panti Rapih (memperagakan pasien internal dan eksternal) dan Detasemen Perbekalan dan Angkutan (Denbekang) IV-44-02 di bawah Pangdam IV Diponegoro. Simulasi ini bertujuan menguji RPBRS dan menetapkan perencanaan untuk perbaikan di masa depan. Pada simulasi ini, kami memilih bencana gempa dan memakai situasi gempa tahun 2006.

Dalam simulasi ini, tim manajemen risiko menempatkan evaluator-evaluator di berbagai titik penting di RS Panti Rapih dan membuat asesmen mengenai jalannya simulasi. Ada beberapa catatan penting paska simulasi yang telah dibuat, misalnya mengenai kualitas triase, waktu yang dibelanjakan untuk identifikasi pasien, alur pasien saat evakuasi, pelayanan pasien di titik kumpul aman, dan lain-lain.

Salah satu contoh masalah dalam perencanaan adalah mengenai identifikasi pasien eksternal. Kami merencanakan untuk menuliskan dua identitas (nama dan tanggal lahir) pada gelang dan memberikan label triase. Kami mengingat bahwa identifikasi yang benar adalah sasaran pertama dari keenam sasaran keselamatan pasien. Logikanya, akan lebih aman bagi pasien bila identitas tersebut telah dibereskan sebelum pasien dilayani di zona pelayanan triase merah, kuning, dan hijau.

Pada kenyataannya, sistem ini ternyata memakan waktu lama pada waktu triase. Akibatnya, aliran pasien eksternal sangat terhambat, dan pasien menumpuk banyak di zona pelayanan triase. Kami masih berupaya mencari solusi agar identifikasi dapat dilakukan dengan cepat dan sedini mungkin tanpa harus membebani zona triase dengan antrian pasien yang sedemikian panjang.

Pengalaman RS Panti Rapih dalam menyusun dan mensimulasikan RPBRS dapat menjadi pelajaran berharga bagi rumah sakit lain. Tentunya bukan demi keberhasilan akreditasi rumah sakit saja. Lebih penting untuk memastikan sistem keselamatan di rumah sakit dapat berjalan dengan baik lewat perencanaan yang matang. Ingat kata Benjamin Franklin, salah satu founding fathers negeri Paman Sam yang pernah menasihati kita, "By failing to prepare, you are preparing to fail". Gagal mematangkan rencana berarti kita merencanakan kegagalan. Salam keselamatan!

Robertus Arian Datusanantyo
Kepala Instalasi Gawat Darurat RS Panti Rapih
Catatan: Tulisan ini adalah opini pribadi.

art-20meiTono Rustiono, Direktur Perencanaan dan Pengembangan BPJS Indonesia, dalam paparannya di Seminar Nasional Perumahsakitan Surabaya Hospital Expo "Perubahan Konsep Bisnis Pelayanan Rumah Sakit Setelah Pemberlakuan Akreditasi Versi 2012 dan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)" menjelaskan progress pelaksanaan Sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di Indonesia. Menurut data terbaru Maret 2014 menunjukkan bahwa berdasarkan jenis kepesertaan, jumlah peserta aktif yang berasal dari Penerima Bantuan Iuran (PBI) adalah 91.405.279 dan peserta aktif Non PBI sebesar 27.402.580. Sementara peserta yang menunggak adalah 2.194.721 peserta, jadi total kepesertaan BPJS adalah 121.002.583 peserta.

Dari sisi tantangan kepesertaan, harapan pemerintah adalah penambahan peserta yang signifikan sebagai tanda suksesnya implementasi cakupan layanan kesehatan semesta, selain itu diharapkan juga terjadi risk pooling dan subsidi silang antar peserta. Data kepesertaan di atas menunjukkan adanya tingkat kepesertaan yang cukup tinggi pada triwulan 1 tahun 2014 sebagai awal berjalannya BPJS, dan ditengarai munculnya potensi Adverse Selection pada peserta mandiri. Untuk mengatasi hal itu, BPJS telah melakukan upaya-upaya berikut, pertama dengan memperbaiki risk pooling dengan mengadvokasi pendaftaran peserta mandiri sehat dan meningkatkan taraf kesehatan peserta existing dengan menggalakkan program promotif preventif selain dengan meningkatkan kualitas social marketing.

Terkait masalah distribusi serta kecukupan fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan, hal yang menjadi harapan BPJS adalah tercukupinya fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan serta yang terpenting adalah terdistribusi merata sehingga diperoleh equity of access terhadap layanan kesehatan yang bermutu. Khusus untuk masalah fasilitas dan tenaga kesehatan, fakta yang dihadapi sekarang adalah peningkatan cakupan peserta yang tidak diimbangi dengan pemerataan peningkatan jumlah faskes dan distribusi tenaga kesehatan. Hal ini menjadi sorotan terutama di daerah perifer. Sementara ini menurut Tono, yang dilakukan adalah dengan meningkatkan kerjasama dengan dokter praktek perorangan sebagai PPK tingkat 1, pengaturan sistem rujukan, serta upaya peningkatan mutu pelayanan dengan kerjasama organisasi profesi.

Ketika disampaikan pertanyaan, apakah BPJS mempunyai upaya yang terstruktur dan sistematis terhadap pencegahan fraud dalam upaya kendali mutu dan kendali biaya, mengingat potensinya yang besar dalam implementasi JKN di Indonesia. Tono menjelaskan, bahwa upaya itu dilakukan dengan meneruskan kebijakan PT Askes dalam hal validitas peserta, pengendalian oleh Verifikator BPJS, dan saat ini sedang disusun pola baru kendali biaya BPJS.

BPJS terlihat belum mempunyai upaya khusus yang terstruktur dan sistematis dalam kendali biaya khususnya dalam pencegahan fraud. Faktanya, hal ini sudah menjadi tugas kita bersama dalam membantu dan mengingatkan stakeholder di dalam BPJS untuk meningkatkan kendali mutu dan kendali biaya dalam implementasi JKN di Indonesia.

Selain itu, sistem rujukan merupakan satu hal penting dimana saat ini masih terjadi kebingungan di kalangan fasilitas kesehatan karena tidak mempunyai pedoman yang jelas tentang mekanisme dan sistem rujukan, sehingga diperlukan penelitian, pengaturan, dan penerapan yang efisien sebagaimana diamanatkan Undang-Undang.

Oleh: Moh. Ainul Yaqin, dr, MARS (This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.)

John Moxham dan James Mountford, keduanya dari Inggris, mengatakan pada konfrensi internasional BMJ baru lalu bahwa pada saat ini pelayanan kesehatan dituntut tidak saja dapat memberikan pelayanan yang efektif, aman dan efisien, namun juga pelayanan kesehatan yang sesuai dengan nilai-nilai yang diharapkan oleh pasien.

art5mei1

Value dalam pelayanan kesehatan didefinisikan sebagai outcome pelayanan kesehatan (baik outcome klinis dan kepuasan pasien) dibagi dengan biaya untuk menyedikan pelayanan tersebut.

Pada saat ini sarana pelayanan kesehatan tidak memiliki data yang memadai terkait dengan outcome dan biaya pelayanan yang diberikan. Disisi lain juga tidak ada dorongan dari sistem pembiayaan kesehatan untuk mendorong sarana pelayanan kesehatan meningkatkan nilai yang didapatkan oleh pasien.

Seperti banyak dilakukan oleh RS kita dalam menghadapi JKN, maka pengendalian biaya yang sering dilakukan adalah dalam bentuk penghematan biaya, namun perlu dipahami bahwa menurut rumus diatas pengehematan biaya hanyalah merupakan sebagian dari upaya meningkatkan value.

Pemotongan biaya (cost-cutting) selain sulit dilakukan juga sering justru menurunkan value. Kegiatan cost-cutting juga sering bertolak belakang dengan kegiatan untuk melakukan inovasi dan meningkatkan outcome dan value.

Disisi lain meningkatkan outcome sering sekaligus menurunkan biaya, misalnya memberikan pelayanan yang tepat sejak awal atau melakukan upaya deteksi dini sehingga tatalaksana yang baik sering sekali lebih murah dari pada tatalaksana yang tidak tepat.

Hal tersebut seperti yang dikatakan oleh Prof. Michael Potter dari Havard: "The most powerful way to drive costs down is to improve outcomes (early and correct diagnosis and treatment, fewer complications, faster and sustained recovery)"

Bagaimana menggabungkan indikator mutu dengan indikator biaya?

Cleveland Clinic di USA memberikan contoh bagaimana mereka menggabungkan kedua indikator tersebut untuk menggasilkan indikator value. Pertama mereka menetapkan dahulu indikator outcome berdasarkan apa yang mereka anggap penting bagi pasien. Penetapan indikator outcome tersebut mereka gali dari review literatur, diskusi kelompok terarah dan survey yang melibatkan pasien sebelum masuk kedalam pembahasan oleh sekelompok klinisi untuk menghasilkan indikator outcome. Secara umum indikator outcome yang mereka gunakan terdiri dari: survival, recovery, time to recovery, sustainability of recovery dan long-term consequences of therapy.

art5mei1

Untuk penyusunan indikator biaya lebih sulit karena secara tradisional data biaya yang ada di RS umumnya terkait dengan biaya pelayanan yang hanya digunakan/diperlukan oleh manajer RS dan sering klinisi tidak merasa memiliki atau mempercayai data biaya tersebut. Atas dasar ini maka Claveland Clinic berusaha untuk membahas indikator biaya ini bersama klinisi dengan menggunakan pengertian bahwa biaya adalah seluruh biaya yang dikeluarkan untuk seluruh 'cycle of care' dan berdasarkan pada 'particular medical condition'.

Berdasarkan pendekatan tersebut maka didapatkan bahwa klinisi kemudian dapat mempercayai data biaya, memandang bahwa data biaya terkait dengan aspek klinis serta mereka dapat mengidentifikasi upaya efiensi biaya dari sisi pelayanan klinis.
Langkah terakhir adalah menggabungkan antara indikator outcome dengan indikator biaya untuk menghasilkan indikator value

art5mei1

Contoh yang mereka tunjukan adalah value yang didapat dari indikator outcome dan biaya dari penatalaksanaan endokarditis yang membandingkan antara biaya rata-rata penatalaksanaan endokarditis dengan LOS, serta antara breakdown biaya penatalaksanaan endokarditis dengan waktu tunggu operasi, sebagai berikut:

Mudah-mudahan ada RS di Indonesia yang dapat memulai mengukur value pelayanan kesehatan yang mereka berikan seperti di Cleveland Clinic ini.

Dilaporkan oleh: Hanevi Djasri dari BMJ International Forum for Quality and Safety, Paris.