Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Headline

Seek Value

Dalam gambar rantai nilai (value chain) yang sering digunakan dalam kuliah-kuliah Prof. Laksono, value merupakan hasil akhir yang diupayakan dapat dirasakan oleh pasien, sebuah nilai yang didapat oleh pasien/keluarga/masyarakat dari rangkaian pelayanan klinis (baik dari pra pelayanan, proses pelayanan hingga pasca pelayanan) sebuah pelayanan klinis yang didukung oleh pelayanan dari SDM, keuangan, IT, struktur organisasi dan budaya organisasi. Forum ini juga dibahas berbagai upaya yang perlu dilakukan untuk menghasilkan value yang berharga bagi pasien.

p10

Salah satu keynote yang mungkin banyak ditunggu-tunggu oleh peserta forum adalah sesi dari Donald M. Berwick, President Emeritus and Senior Fellow, Institute for Healthcare Improvement (IHI). Berwick mengingatkan bahwa value terpenting tentang kesehatan bagi masyarakat seperti yang dirumuskan oleh WHO adalah: lengkapnya status fisik, jiwa dan kesejahteraan sosial, bukan hanya terbebas dari penyakit.

Melalui value tersebut Berwick mendorong agar insan kesehatan dapat: mempertimbangkan kembali konsep sehat yang digunakan, mempertimbangkan kembali bentuk dan fungsi dari peran masing-masing dalam sistem kesehatan, menggunakan berbagai "healing tools" yang ada diluar dari batas sistem kesehatan (maksudnya tidak hanya dengan pendekatan kesehatan), menggunakan pola pikir untuk membangun kesejahteraan, memperdalam iman (agama) dan menggunakannya untuk membangun hubungan antar personal serta bersikap baik hati sebagai bentuk penyembuhan sekaligus mencerminkan kondisi kesehatan yang prima (catatan: penulis merasa bahwa ini adalah sesi Berwick yang mungkin paling bersifat petuah/wisdom, mungkin dipengaruhi dengan status emeritusnya).

Berbagai sesi lain juga mengambil fokus untuk meningkatkan value bagi pasien/masyarakat.

1. Memanfaatkan Era Digital

Stefan Biesdorf, Principal, McKinsey & Company, Inc., Germany membawakan keynote mengenai memanfaatkan era digital untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan. Biesdrof menyampaikan bahwa pasien/masyarakat saat ini sudah mengharapkan agar pelayanan kesehatan dalam era digital dapat memberikan nilai lebih, antara lain dalam bentuk kemudahan mengakses informasi, membuat perjanjian rawat jalan, membaca hasil lab dan membaca manfaat obat.

Pada saat ini Biesdorf sudah mengidentifikasi berbagai website yang menyediakan pelayanan tersebut. Biesdorf juga menyampaikan trend pengelolaan data kesehatan yang akan lebih banyak dikelola oleh pasien (baik data kesehatan dari pengukuran mandiri, data dari sarana kesehatan dan data dari jaminan kesehatan). Pengelolaan data tersebut juga akan lebih bersifat mobile seiring dengan perkembangan tehnologi gadget mobile yang semakin canggih (catatan: pengumpulan data mandiri saat ini juga semakin canggih, sudah tersedia Proteus, sebuah digital pil yang dapat ditelan dan memberikan informasi kesehatan, lalu juga monitor jantung yang terkoneksi langsung dengan gadget. Kedua tehnologi ini sudah disetuji oleh FDA).

Keynote berikutnya merupakan implementasi dari konsep yang diajukan oleh Bisdorf. Sesi dengan judul Opening the Black Box: Inviting Patients into the Medical Record dibawakan oleh Tom Delbanco, MD, MACP, Professor of General Medicine and Primary Care, Harvard Medical School Division of General Medicine and Primary Care, Beth Israel Deaconess Medical Center, USA. Delbanco menyampaikan mengenai penggunaan OpenNote sebuah program IT yang digunakan untuk menyimpan data rekam medik pasien yang dikendalikan sepenuhnya oleh pasien (bukan oleh dokter atau sarana kesehatan).

Konsep OpenNote memastikan pasien dapat mengakses seluruh catatan yang dibuat oleh dokter, perawat dan klinisi lain (catatan: informasi lebih lanjut dapat dilihat di http://www.myopennotes.org ). Meski saat ini banyak klinisi dan pengelola sarana kesehatan tidak setuju dengan konsep tersebut (berdalih dengan konsep kerahasiaan data pasien), namun Delbanco mengingatkan bahwa konsep ini sudah dilirik oleh berbagai pemain didunia digital (seperti google, amazon dan microsoft) dan mereka memiliki kemampuan untuk merubah "permainan" dimana nantinya RS dan para dokter nantinya akan "terpaksa" mengikuti aturan baru.

Atas dasar itu Delbanco menganjurkan agar regulatorlah yang harus membuat inisiasi untuk konsep ini (catatan: Penulis berharap agar konsep ini dapat dibahas oleh tim dari BPJS, apakah dapat dikembangkan di Indonesia, sehingga pasien dan BPJS dapat memiliki catatan kesehatan yang baik sehingga juga dapat melakukan evaluasi mutu dan biaya dengan baik).

p11

 

2. Mengembangkan Value-Based Payment

Pada sesi ini penulis merasa bahwa antara Indonesia dan USA tidak terlalu berbeda jauh, bila dikaitkan dengan perjuangan untuk mengembangkan sistem kesehatan, termasuk sistem pembiayaan kesehatan yang mendorong mutu dan sekaligus efisiensi biaya (catatan: tema ini bahkan cukup mendominasi karena banyaknya pembicara dari USA). Sesi ini membahas mengenai pelaksanaan dan evaluasi konsep bundled payment yang akan merubah konsep pembayaran fee-for-service menjadi value-based payment model.

Sesi ini disampaikan oleh Carolyn Simpkins, MD, PhD, Clinical Director, North America, BMJ dan Joanne M. Conroy, M.D, Chief Health Care Officer, Association of American Medical Colleges (AAMC), USA. Mereka menyampaikan bahwa di USA dengan adanya Obamacare menuntut perubahan pengelolaan Medicare dan Madicaid, perubahan yang menuntut adanya uji coba model pembiayaan dan pelayanan yang baru (catatan: penting dicatat bahwa bahkan di USA perubahan model pembiayaan dilakukan uji coba dahulu sebelum diterapkan. Mereka melakukan uji coba di 10 RS pendidikan yang mengajukan diri secara sukarela untuk menerapkan BPCI/Bundled Payment for Clinical Improvement).

Penerapan BPCI ini merupakan bagian dari ACA untuk membuat pelayanan kesehatan lebih baik, efisien dan akuntabel. Upaya lain adalah dengan membangun National Quality Strategi, membangun Health Information Technology dan membangun Patient Centered Outcome Research Institute (catatan: menurut penulis ketiga hal ini juga perlu dikembangkan di Indonesia, terutama National Quality Strategi. di USA dana untuk membangun ketiga hal ini berasal dari pengurangan biaya di Medicare-Medicaid serta dengan menigkatkan pajak terutama untuk keluarga kaya raya).

Pada saat ini BPCI ditargetkan untuk 48 kondisi penyakit yang secara total menghabiskan biaya kesehatan hingga 70% (catatan: ini berarti mereka menggunakan rumus Pareto) sebagai catatan tambahan di USA 10% populasi yang berisiko tinggi menghabiskan 52% biaya, 30% populasi dengan peningkatan risiko menghabiskan 39% sedangkan 60% yang berisiko biaya hanya menghabiskan 9% pembiayaan.

Mereka menyimpulkan bahwa reformasi sistem kesehatan di USA belum selesai, masih membutuhkan banyak regulasi pemerintah, market forces dan berbagai uji-coba untuk membuat sistem kesehatan mereka lebih baik dan efisien (catatan: kalau di USA saja masih belum selesai apalagi di Indonesia, penulis berharap bahwa pengelola JKN dapat mengagendakan hal serupa)

3. Meningkatkan Mutu dan Mengurangi Biaya

Sesi ini dibuka dengan mengutip tulisan Michael Porter dari Havard University yang mengatakan bahwa "jalan terbaik untuk mengurangi biaya adalah dengan meningkatkan mutu". Dibawakan oleh James Mountford, Director of Clinical Quality, UCL Partners dan John Moxham, Director of Clinical Strategy, King's Health Partners, Academic Health Sciences Centre, keduanya dari England. Sesi mereka berjudul Leading on value for patient benefit - simultaneously improving quality and cost across systems.

Monntford menjelaskan bahwa mereka meningkatkan mutu dan sekaligus mengurangi biaya (dengan studi kasus endokarditis, hepatitis B dan stroke) dengan terlebih dahulu menyusun indikator outcome klinis (catatan: meski saat ini di Indonesia sudah ada standar pelayanan minimal/SPM RS, namun indikator yang ada belum mencakup indikator proses dan outcome pelayanan klinis untuk kondisi/penyakit spesifik) lalu dibagi dengan rata-rata biaya untuk setiap siklus pelayanan sehingga mendapatkan apa yang mereka sebut sebagai Value Score (Value = outcomes/cost).

Dari hasil value score tersebut mereka kemudian masuk ke siklus PDSA: menyusun learning hypotheses, melakukan analisa, membuat daftar improvement dan melakukan uji coba perbaikan. Diharapkan melalui siklus ini biaya pelayanan kesehatan dapat diturunkan dan mutu dapat ditingkatkan.

Pembicara lain yang membahas hal ini adalah Lucy A. Savitz, PhD, MBA, Director of Research and Education, Institute for Healthcare Delivery Research, Intermountain Healthcare, USA. Membawakan presentasi dengan judul Reducing cost, improving quality: life cycle model for sustainability. Meski judul ini terlihat menjanjikan, namun sayang ternyata hanya berisi mengenai teori tanpa memberikan contoh implementasi (mungkin ini satu-satunya presentan yang hanya bicara teori dalam forum ini).

4. Peran WHO dalam Meningkatkan Value Terpenting bagi Pasien: Safety

Dibawakan oleh Itziar Larizgoitia, Head of Innovations, Patient Safety Programme, World Health Organization, Switzerland sesi ini berjudul International harmonisation of patient safety reports: minimal information model for incident reporting. Sesi ini sangat menarik karena di Indonesia sepengetahuan penulis laporan mengenai keselamatan pasien di rumah sakit tidak mudah didapat baik saat masih dikoordinir oleh Komite Keselamatan Pasien di Rumah Sakit (KKPRS-PERSI) hingga saat ini oleh Komite Nasional Keselamatan Pasien di Rumah Sakit (KNKPRS).

Larizgoitia menyampaikan perkembangan model laporan keselamatan pasien yang telah dilakukan oleh WHO dan diharapkan dapat dijadikan pedoman oleh seluruh negera yang dikenal sebagai MIMPS (Minimal Information Model for Patient Safety) yang saat ini sudah masuk ke tahap uji coba dan validasi setelah sebelumnya melalui tahap analisa oleh Universitas St Etienne (untuk top-down analysis), Universitas Tokyo (untuk bottom-up analysis) dan Jaringan institusi di Denmark, Belgia, Canada dan Australia (untuk expert review).

Pembicara selanjutnya adalah Maarten de Wit, Senior Inspector, Dutch Healthcare Inspectorate, the Netherlands yang menyampaikan pengalamannya sebagai regulator dalam menggunakan model WHO dalam laporan keselamatan. Lembaga de Wit memiliki kewenangan untuk menilai keselamatan dan mutu sarana pelayanan kesehatan termasuk menutup sarana pelayanan kesehatan apabila tidak memenuhi syarat (catatan: dulu Indonesia juga memiliki lembaga inspektorat disetiap provinsi melalui kewenangan Kanwil Kesehatan).

Hasil yang didapat dengan mengadopsi model tersebut adalah hampir semua RS telah memiliki sistem laporan keselamatan pasien dan telah melaporkan kejadian sentinel maupun KTD (catatan: jumlah RS di Belanda hanya 93 buah, bandingkan dengan Jawa Tengah yang memiliki lebih dari 200 RS). Dari laporan yang diterima selama 8 bulan terakhir de Wit mendapatkan ada 575 laporan keselamatan pasien yang memudahkannya menyusun kebijakan/regulasi untuk perbaikan.

 

Dwidjo Susilo, dkk., melakukan penelitian mengenai ketidakadilan kesehatan di Indonesia. Penelitian ini dilatarbelakangi adanya perbedaan yang besar, baik secara geografis, demografis, dan ekonomi di Indonesia. Pelaksanaan desentralisasi memiliki dampak yang luar biasa pada sistem kesehatan nasional. Desentralisasi memungkinkan pembangunan yang efektif dan pelaksanaan semua kebijakan tergantung pada kemampuan kepala daerah. Kondisi ini mempengaruhi kesehatan masyarakat sekaligus menyebabkan ketidakadilan kesehatan di Indonesia.

Penelitian ini bertujuan untuk memberikan analisis situasi di Indonesia, dengan fokus pada pelatihan tentang faktor sosial penentu kesehatan/ social determinants of health (SDH) di Indonesia serta untuk mengidentifikasi kesenjangan yang ada. Penelitian dilakukan dengan cara mengumpulkan informasi tentang kurikulum SDH terkait di sekolah-sekolah kesehatan masyarakat melalui mesin pencari di internet. Peneliti juga juga mewawancarai 15 informan kunci di tingkat nasional dan lokal untuk mengembangkan wawasan yang lebih luas terkait masalah SDH di Indonesia. Informan ini dikategorikan dalam pengambil keputusan, donor, LSM, WHO, dan ahli SDH. Informan diwawancarai menggunakan pedoman wawancara 'kategori – spesifik' yang disusun oleh tim dari Universitas Umea .

Hasil penelitian menunjukan bahwa istilah SDH tidak banyak digunakan atau dipahami di Indonesia. SDH tidak diajarkan secara eksplisit kepada setiap lulusan sekolah kesehatan masyarakat di Indonesia. SDH hanya diajarkan sebagai sebuah komponen dalam program yang berbeda. Seminar-seminar dengan tema SDH juga jarang diselenggarakan di Indonesia. Pengetahuan tentang SDH di Indonesia sangat tidak memadai. Ini tidak hanya terbatas pada mereka yang bekerja di sektor kesehatan tetapi juga mereka yang bekerja di sektor lain. Selain itu, data dan peraturan tingkat nasional tidak cukup untuk secara efektif menunjukkan SDH sehingga dibutuhkan data dan intervensi yang diperlukan di tingkat kabupaten .

Berdasarkan penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa saat ini belum ada kursus khusus terkait SDH yang tersedia walaupun topik SDH sudah dimasukkan ke dalam pelatihan-pelatihan yang diselenggarakan di sekolah-sekolah kesehatan masyarakat. Pelatihan intensif dan lebih terstruktur terkait SDH diperlukan untuk memastikan pemahaman yang baik tentang SDH di Indonesia bagi para peneliti dan pemangku kebijakan di semua sektor dan di semua tingkatan.

Sumber: http://www.biomedcentral.com/1471-2458/14/S1/O2 

"Striving for excellence" adalah bagian penting dari sikap profesional, yaitu berusaha sekuat tenaga untuk mengutamakan mutu, bekerja sebaik mungkin meski terdapat berbagai hambatan, berupaya mencapai yang terbaik (bukan nomor dua terbaik), bekerja dengan semangat dan dengan perasaan senang dan bangga serta juga ikut senang dan bangga kepada orang lain yang bekerja dengan excellence.

Pemahaman ini penulis dapatkan ketika mendengarkan sesi keynote 1 dari Maureen Bisognano, President and CEO, Institute for Healthcare Improvement, USA. Sesinya penuh dengan semangat menyelesaikan masalah, tidak hanya berbicara teori dan identifikasi masalah namun lebih banyak kepada solusi baik yang telah dilakukan maupun yang masih dalam bentuk usulan. Sesinya penuh dengan "striving for excellence"

Tanpa bermaksud mengecilkan para pembicara serupa didalam negeri, para pembicara di forum ini yang sebagian besar berasal dari Eropa dan Amerika, memang terbiasa dengan budaya kerja keras untuk mencapai sesuatu yang luar biasa. Budaya ini mempengaruhi gaya pembicara dimana pada forum ini sebagian besar pembicara mengungkapkan berbagai inovasi dan hasil yang didapat. Hal ini (mungkin) berbeda dengan budaya kita yang sering menerima pencapaian rata-rata sehingga sering pembicara kita sekedar menceritakan teori ataupun permasalahan.

Bisognano mengusulkan berbagai inovasi yang relatif baru dalam upaya peningkatan mutu, namun sebelumnya ia menyampaikan perubahan mental model yang seharusnya sudah dialami bagi para pemimpin bidang kesehatan dari tahun 1980an hingga tahun 2010an baik yang terkait dengan kepuasan pasien, keterlibatan klinisi, pengendalian biaya dan pengukuran kinerja .

Perubahan mental model para leadership tersebut sepertinya diusulkan oleh Bisognano dengan latar belakang yang sama dengan terbitnya Affordable Care Act atau juga sering disebut sebagai Obamacare, yaitu masalah mutu dan biaya (pada titik ini penulis merasa bangga juga sebagai bangsa Indonesia yang sudah memiliki Jaminan Kesehatan Nasional, yang akan mencakup seluruh rakyat indonesia, yang memiliki nasional single payer healthcare", yang memiliki sistem pembayaran prospektif payment yang seharusnya dapat mendorong mutu dan efisiensi).

Untuk keluar dari masalah tersebut IHI telah mengajukan konsep Triple Aim, dimana para profesional dibidang kesehatan diharapkan dapat menempatkan diri pada titik ditengah segitiga IHI yaitu sebagai koordinator yang dapat membuat keseimbangan antara status kesehatan masyarakat, kepuasan pasien dalam pelayanan kesehatan dan biaya kesehatan (penulis akan menyusun artikel mengenai hal ini dan akan segera dimuat di web www.mutupelayanankesehatan.net )

Untuk dapat mencapai Triple Aim tersebut Bisognano mengusulkan agar pengelola pelayanan kesehatan menggunakan pendekatan "Escape Velocity", sebuah istilah yang diambil dari penerbangan roket di luar angksa, yaitu batas kecepatan yang dibutuhkan sebuah roket untuk dapat keluar dari orbitnya. Dalam mutu pelayanan kesehatan, pendekatan ini digunakan untuk mencari upaya yang dapat membuat tingkat mutu melejit keluar orbit yang bisa-bisa saja menjadi excelent, sebuah peningkatan mutu yang bukan sekedar naik 10% namun peningkatan mutu yang bisa mencapai 10 x lipat (metode ini diadopsi dari dunia pendidikan, baca lebih lanjut pada berita-berita dengan kata kunci "turning classroom upside down" atau "flipped education").

Usulan inovasi lain dari Bisognano adalah mengkaitkan mutu dengan keuangan melalui Time-Driven Activity Based Costing (TD-ABC) yang saat ini sedang diujicobakan oleh IHI bekerjasama dengan Prof Kaplan dari Havard University untuk operasi penggantian sendi untuk meningkatkan outcome sekaligus menurunkan biaya (catatan: Banyak sekali metode-metode quality improvement yang disampaikan dalam forum ini oleh pembicara dari atau yang berafiliasi dengan IHI, penulis menangkap kesan bahwa IHI menggunakan forum ini juga sebagai media promosi untuk membangun "bisnis" mereka yaitu sebagai partner quality improvement. Mungkin IHQN dan PKMK bisa menggunakan pendekatan IHI ini terutama untuk memastikan seluruh kegiatan tercatat dan tersosialisasi dengan baik).

Berbagai usulan tersebut kemudian dijabarkan dalam bentuk implementasi oleh berbagai pembicara lain yang penulis ikuti, yaitu:

1. Peningkatan Outcome Pelayanan Kasus-Kasus Kronis.

Vickie Kaminski, President and CEO, Eastern Health, Newfoundland and Labrador and Chair, Atlantic Healthcare Collaboration (AHC) Executive Committee, Canadian Foundation for Healthcare Improvement, Canada menyampaikan mengenai membangun kolaborasi untuk tatalaksana diabetes melitus antara keluarga dengan sistem kesehatan. Kaminski menjelaskan bahwa model yang mereka kembangkan terdiri dari Integrated Chronic Care Service, Community Health Teams dan Diabetes Management Centre.

Peningkatan outcome untuk diabetes juga disampaikan oleh Claes-Göran Östenson, Professor, Endocrinology, Karolinska Institutet, Sweden. Ostenson mengatakan ada 7 faktor yang dapat membuat tatalaksana diabetes berhasil, yaitu: fokus pada target outcome pasien (HbA1c, BP, Lipid), upaya segera untuk membantu pasien dengan outcome yang tidak baik, kinerja unit diabetes selalu dipantau, akses yang mudah kesumber informasi bagi pasien, ada tindak lanjut dan umpan balik dari hasil pengukuran mutu, peningkatan mutu berkelanjutan serta membangun rasa memiliki untuk program diabetes.

p4

Sedangkan Wendy Nicklin, President and CEO, Accreditation Canada, Canada menyampaikan program akreditasi untuk unit stroke. Nicklin menyatakan Kanada telah mengembangkan sistem akreditasi untuk penyakit stroke. Program akreditasi ini dikembangkan bersama dengan Canadian Stroke Network dangan fokus kepada Canadian Best Practice Recommendation for Stroke Care (ini seperti Pedoman Nasional Praktek Kedokteran/PNPK yang dikeluarkan oleh organisasi profesi. catatan: memang merupakan tantangan tersendiri untuk memastikan PNPK benar-benar dijalankan dilapangan, sehingga akreditasi seperti ini mungkin dapat membantu). Program akreditasi ini difokuskan untuk menilai clinical excellence, mutu, keselamatan dan inovasi. Penilaian dilakukan tiap 2 tahun. (informasi lebih lengkap dapat dilihat di www.strokebestpractices.ca 

Pembicara berikutnya adalah Kathy Elliott, Programme Director, NHS Improving Quality, England. Elliott menyampaikan mengenai Achieving improved cancer outcomes - a pathway approach, engaging primary care and partners. Elliot mengatakan bahwa Inggris cukup berhasil meningkatkan outcome pasien dengan cancer karena beberapa upaya berikut: Shared purpose, clinical leadership, open approches, relationships and networking, patien and public focus serta sustaining a focus.

Keempat pembicara ini seakan menegaskan bahwa untuk mencapai mutu yang telah mereka capai memang diperlukan sikap "strive for excellent" tidak saja dari leader tapi dari seluruh staf, sebuah budaya bersama.

2. Deliver Value by Desain

Pembica pertama adalah Anthony M. DiGioia III, MD, Medical Director, PFCC Innovation Center and the Bone and Joint Center, Magee-Womens Hospital of UPMC, USA yang membahas mengenai Deliver value by design with PFCC (Patient and Family Center Care): improve outcomes while reducing costs. DiGioia mengatakan bahwa value pelayanan kesehatan adalah outcome pelayanan kesehatan (yang penting bagi pasien) dibagi dengan biaya.

DiGioia juga menggunakan TDABC yang dapat menghitung biaya dengan tepat dengan mengidentifikasi baik biaya personal, ruangan, peralatan dan bahan habis pakai (TDABC ini dapat dipelajari lebih lanjut "How to Solve the Cost Crisis in Health Care di Havard Business Review 2011).

Pembicara selanjutnya adalah Beverley FitzsimonsFellow in Health Policy, the King's Fund, England yang membawakan presentasinya dengan judul Deliver value by design - Patient and family centred care. FItzsimons menceritakan pengalamannya menggunakan konsep PFCC bahwa untuk mencapai outcome yang luar biasa, diperlukan leadership dan budaya, perhatian dari staff, partnership, realibility care dan evidenced based care.

Fitzsimons kemudian menjelaskan 6 langkah dari PFCC yang juga sudah disampaikan oleh DiGioia yaitu: mengidentifikasi pengalaman pasien, menetapkan pedoman, mengevaluasi kondisi dilapangan, mengembangkan working group, menyebarluaskan visi tentang pengalaman pasien yang ideal serta mengidentifikasi project PFCC untuk dijalankan.

3. Indikator Mutu Nasional.

p5Sesi ini menghadirkan pembicara dari 2 negara yaitu Belanda dan Swedia yang diposisikan untuk beradu argumentasi, yaitu Ian Leistikow, MD PhD, dan Jan Maarten van den Berg, keduanya adalah Senior Inspector, Dutch Healthcare Inspectorate, the Netherlands serta Fredrik Westander, Consultant, Regional Health Care Quality Comparisons, Swedish Association of Local Authorities and Regions (SALAR), National Board of Health and Welfare, Sweden.

Perdebatan terkait dengan berbagai opsi: apakah memilih prioritas menetapkan daftar indikator yang ideal atau membangun sistem pengukuran indikator dahulu, apakah tercapainya indikator yang terpenting atau proses peningkatan mutu yang lebih baik, apakah fokus kepada beberapa indikator dulu atau langsung menyediakan daftar lengkap indikator, apakah fokus kepada benchmarking atau pada quality improvement.

Kedua negara mengambil opsi yang berbeda, namun tentunya mereka mengambil kesimpulan bahwa dua kutub perbedaan opsi tersebut sebenarnya sama-sama penting.

 

 

 

Dalam INTREC Course yang dilaksanakan sejak 1 April lalu di Hotel Santika Yogyakarta, Dr. Nicholas Henschke dari University of Heidelberg menyatakan bahwa kesehatan adalah hal yang berikatan erat dengan kehidupan manusia. Dalam keseharian, ada banyak faktor sosial yang mempengaruhi derajat kesehatan manusia. Faktor-faktor tersebut dapat berkontribusi dalam terjadinya ketidakseimbangan kesehatan diantara kelompok sosial. Faktor-faktor tersebut juga dapat mempengaruhi kesehatan baik secara langsung maupun tidak langsung. Semua faktor ini saling terkait satu sama lain dan dapat berakumulasi sepanjang kehidupan manusia. Faktor-faktor sosial yang berpengaruh dalam kesehatan ini disebut dengan istilah social determinants of health (SDH).

Social determinants of health, menurut WHO, adalah kondisi sosial yang mempengaruhi kesempatan seseorang untuk memperoleh kesehatan. Faktor-faktor seperti kemiskinan, kekurangan pangan, ketimpangan sosial dan diskriminasi, kondisi masa kanak-kanak yang tidak sehat, serta rendahnya status pekerjaan merupakan penentu penting dari terjadinya penyakit, kematian, dan ketidakseimbangan kesehatan antar maupun di dalam sebuah negara.

Dalam SDH, ada dua hal berbeda yang dapat menggambarkan ketimpangan sosial terkait derajat kesehatan masyarakat yaitu inequality dan inequity. Inequality in health merupakan konsep normatif dan merujuk pada ketidakseimbangan yang dianggap tidak adil sebagai hasil dari berbagai proses sosial. Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap health inequalities adalah: 1) faktor sosial ekonomi atau faktor materi seperti anggaran belanja pemerintah dan distribusi pendapatan serta sumber daya lain di masyarakat, 2) faktor psikologi seperti stres, keterasingan, hubungan sosial dan dukungan sosial, dan 3) faktor perilaku dan gaya hidup.

Inequity in health atau ketidakadilan dalam aspek kesehatan merupakan sebuah dugaan empiris dan merujuk pada perbedaan status kesehatan antar kelompok yang berbeda. Sedangkan, health equity berarti ketiadaan ketidakadilan dan pencegahan perbedaan status kesehatan diantara kelompok sosial. Health equity juga terkait dengan nilai-nilai kesetaraan dan keadilan. Dalam health equity, kesehatan merupakan sumber daya yang penting dan bernilai untuk perkembangan manusia yang membantu manusia untuk meraih potensi mereka dan berkontribusi secara positif untuk masyarakat.

Dalam menggali adanya inequity dan inequality in health, diperlukan sebuah riset terkait SDH. Ada 3 pendekatan dan prinsip dalam riset SDH ini, yakni: 1) berfokus pada kelompok yang paling kurang beruntung. Ini bertujuan untuk meningkatkan kesehatan dari kelompok yang paling kurang beruntung. Pendekatan ini juga dapat meningkatkan kesehatan bagi mereka yang kurang beruntung meskipun kesenjangan kesehatan antara yang kaya dan miskin tidak berubah; 2) mempersempit kesenjangan kesehatan. Ini bertujuan untuk meningkatkan kesehatan mereka yang kurang beruntung dengan meningkatkan keluaran kesehatan mereka agar setara dengan kelompok yang beruntung. Ini memerlukan pengaturan target untuk mengurangi perbedaan dalam keluaran kesehatan; dan 3) mengurangi kesenjangan sosial. Ini termasuk menurunkan perbedaan dan membuat aspek kesehatan menjadi lebih adil disemua jenjang.

Untuk mengukur SDH dan inequalities in health, diperlukan data yang memadai untuk dapat membantu kita memahami inequalities in health dan untuk membantu kita mengidentifikasi target dan intervensi yang tepat untuk mengatasinya. Data yang dimaksud adalah: 1) data mengenai kematian, kesakitan, kesehatan dan penggunaan layanan kesehatan, dan 2) informasi mengenai bagaimana indikator pelayanan tersebut dipolakan diseluruh kelompok demografis dan sosioekonomi serta diseluruh area geografis yang berbeda.

Oleh: drg. Puti Aulia Rahma, MPH dan Andriani Yulianti, SE, MPH