Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Headline

Perubahan iklim global kini tidak hanya menjadi isu lingkungan, tetapi juga tantangan serius bagi kesehatan masyarakat. Kenaikan suhu, perubahan pola curah hujan, serta meningkatnya frekuensi bencana alam telah menciptakan kondisi yang ideal bagi penyebaran berbagai penyakit menular. Fenomena ini berkontribusi terhadap kemunculan penyakit baru (emerging infectious diseases) dan kembalinya penyakit lama (re-emerging infectious diseases) di banyak wilayah. Dampak tersebut terlihat dari meluasnya distribusi vektor penyakit seperti nyamuk dan kutu, meningkatnya risiko penularan zoonosis, serta pergeseran pola epidemiologi penyakit tropis.

Penelitian yang dilakukan oleh Filho, et al. (2025) menerangkan bahwa perubahan iklim kini diakui secara luas sebagai salah satu penyebab utama munculnya dan kembalinya penyakit menular, terutama yang berasal dari hewan ke manusia (zoonosis). Kondisi iklim yang berubah, termasuk kenaikan suhu, perubahan pola curah hujan dan intensitas cuaca ekstrem, membuat lingkungan semakin kondusif bagi vektor penyakit seperti nyamuk, kutu, dan tikus.

Dengan menggunakan pendekatan campuran, yakni analisis bibliometrik untuk memetakan literatur dan studi-kasus terpilih yang memperkuat bukti empiris, para peneliti mengidentifikasi empat klaster utama riset: aktivitas manusia & urbanisasi; faktor non-manusia seperti vektor dan reservoir; faktor lingkungan yang mempengaruhi habitat dan siklus hidup patogen; serta surveilans/integrasi pengendalian penyakit.

Salah satu insight penting yaitu urbanisasi dan perubahan penggunaan lahan semakin sering menempatkan manusia dalam kontak lebih dekat dengan satwa liar atau habitat alami yang terganggu, yakni kondisi yang meningkatkan risiko terjadinya spillover, dimana terjadi perpindahan patogen dari hewan ke manusia. Hal ini diperparah oleh iklim yang memudahkan vektor penyakit menyebab lebih luas.

Contohnya, perubahan suhu memungkinkan nyamuk‐penyebab penyakit seperti demam berdarah dan malaria bertahan hidup atau berkembang biak di wilayah yang sebelumnya terlalu dingin. Begitu pula, banjir dan kekeringan yang intens bisa memicu peningkatan penyakit yang disebabkan air atau tikus seperti leptospirosis. Penelitian ini juga menyoroti bahwa populasi yang rentan, khususnya di negara berpenghasilan rendah atau sistem kesehatannya lemah, akan menghadapi risiko yang jauh lebih besar. Kekurangan akses ke air bersih, sanitasi dan layanan kesehatan, maka dampak perubahan iklim atas zoonosis menjadi lebih nyata dan mengancam.

Kebijakan kesehatan dan perubahan iklim yang terintegrasi, seperti memperkuat sistem surveilans penyakit, investasi riset untuk memahami nexus iklim‐penyakit, serta menanamkan pendekatan One Health, yang melihat keterkaitan kesehatan manusia, hewan, dan ekosistem, direkomendasikan untuk mencegah dan mengontrol penyakit menular masa depan. 

sumber: https://onehealthoutlook.biomedcentral.com/articles/10.1186/s42522-024-00127-3

 

Upaya berhenti merokok menjadi salah satu cara pencegahan keparahan penyakit dan kematian yang efektif bagi perokok. Namun, fakta menunjukkan bahwa hal ini sangat sulit dilakukan. Faktor ketergantungan nikotin, stres, dan kurangnya dukungan menyebabkan upaya berhenti merokok sering gagal. Studi Meyer, Cervenka, Lammers, dan Furst (2022) di Amerika Serikat menunjukkan bahwa kehadiran Tobacco Treatment Specialist (TTS) atau spesialis terapi tembakau di layanan kesehatan primer dapat memberikan dampak besar terhadap keberhasilan pasien dalam berhenti merokok. TTS merupakan tenaga profesional yang memiliki keahlian dan pelatihan khusus untuk membantu individu berhenti merokok melalui pendekatan berbasis bukti ilmiah. TTS tidak hanya memberikan obat-obatan untuk membantu mengatasi ketergantungan nikotin tetapi juga melakukan konseling, menyusun rencana terapi, memberikan edukasi, dan membantu mencegah kekambuhan. Melalui latar belakang pelatihan yang ketat dan sertifikasi nasional, TTS mampu memberikan pendampingan menyeluruh bagi pasien sekaligus menjadi sumber rujukan bagi tenaga medis lain yang ingin memberikan layanan berhenti merokok yang lebih efektif.

Penelitian yang dilakukan oleh Meyer dan rekan-rekannya melibatkan berbagai tenaga kesehatan seperti dokter, perawat, dan asisten medis di fasilitas layanan primer. Hasilnya menunjukkan bahwa 85% staf mengetahui keberadaan TTS dan lebih dari setengahnya (55%) telah memanfaatkan perannya dalam praktik klinik. Sebagian besar staf menggunakan layanan TTS untuk rujukan kunjungan lanjutan berhenti merokok (54%) diikuti oleh konsultasi cepat (21%) dan pengelolaan obat (21%). Hampir semua responden menyatakan bahwa keberadaan TTS memberikan manfaat yang signifikan bagi pelayanan terutama karena memungkinkan pasien mendapatkan bimbingan yang lebih fokus dan berkelanjutan tanpa harus dirujuk ke tempat lain. Studi ini juga menemukan bahwa kehadiran TTS dapat membantu meningkatkan indikator kualitas kesehatan terutama pada pasien dengan penyakit kronis seperti diabetes.

Bagi pasien, kemudahan mendapatkan layanan berhenti merokok di tempat yang sudah dikenal seperti klinik keluarga menjadi nilai tambah tersendiri. Mereka merasa lebih nyaman karena sudah terbiasa dengan staf dan lingkungan klinik. Faktor kedekatan dengan tenaga medis, kemudahan penjadwalan, serta rasa percaya terhadap rekomendasi dokter keluarga membuat mereka lebih termotivasi untuk berhenti merokok. Beberapa pasien bahkan menyebutkan bahwa kehadiran TTS di fasilitas layanan primer membuat proses berhenti merokok terasa lebih mudah karena dukungan yang mereka terima terasa lebih personal dan berkelanjutan. Selain itu, keberadaan TTS bagi tenaga kesehatan juga memberikan manfaat besar. Konsultasi antar profesional yang dapat dilakukan dengan cepat memudahkan pengambilan keputusan terkait terapi dan pengelolaan obat. TTS juga membantu mengurangi beban kerja dokter dan perawat dalam memberikan konseling sekaligus memastikan bahwa pasien menerima intervensi sesuai pedoman berbasis bukti.

Secara keseluruhan, studi ini menegaskan bahwa integrasi TTS ke dalam layanan kesehatan primer membawa manfaat nyata bagi pasien, tenaga kesehatan, dan sistem pelayanan kesehatan. Kolaborasi multidisiplin yang terbentuk membuat layanan berhenti merokok menjadi lebih efektif, efisien, dan manusiawi. Pendekatan ini menunjukkan bahwa langkah kecil seperti menghadirkan seorang spesialis dalam lini pertama pelayanan dapat memberikan dampak besar bagi kesehatan masyarakat dan menjadi contoh yang patut diterapkan di berbagai negara termasuk di Indonesia.

Disarikan oleh:
Nikita Widya Permata Sari, S. Gz., MPH
(Peneliti Divisi Mutu PKMK FK-KMK UGM)

Selengkapnya:
https://www.cambridge.org/

Setiap 16 Oktober, diperingati sebagai Hari Pangan Sedunia yang merupakan bentuk komitmen global untuk mengatasi tantangan ketahanan pangan dan gizi. Tahun 2025, peringatan hari pangan bertepatan dengan ulang tahun ke-80 Food and Agriculture Organization (FAO) dengan tema “Hand in Hand for Better Foods and a Better Future”. Tema ini menyerukan kolaborasi lintas sektor untuk menciptakan sistem pangan yang berkelanjutan dan inklusif. Melalui tema yang diangkat, FAO menekankan pentingnya kerja sama antara pemerintah, organisasi internasional, sektor swasta, masyarakat sipil, dan individu untuk menciptakan sistem pangan yang lebih baik. Sistem pangan yang lebih baik diharapkan dapat mewujudkan akses pangan sehat dan bergizi serta praktik pertanian ramah lingkungan. Secara lebih lanjut, sistem pangan juga diharapkan dapat menjadi inklusif dan berkelanjutan melalui pemberdayaan masyarakat, pengurangan pemborosan pangan, dan peningkatan efisiensi rantai pasokan.

Berdasarkan laman website FAO, peringatan Hari Pangan Sedunia 2025 akan diisi dengan berbagai kegiatan. Contohnya seperti peresmian Museum Pangan dan Pertanian FAO di Roma yang bertujuan mendidik masyarakat tentang pentingnya sistem pangan berkelanjutan. Selain itu, diselenggarakan ceramah dan diskusi panel bertema “FoodS FutureS: Conversations for a Better World” untuk membahas masa depan pangan dan pertanian melalui perspektif empat pilar utama FAO. Kegiatan lokal seperti pameran, konser, lomba lari, dan aksi pengumpulan pangan juga dilaksanakan untuk meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam mewujudkan ketahanan pangan global di lebih dari 150 negara.

Meskipun bidang pangan pada praktiknya telah menghasilkan banyak banyak kemajuan, masih terdapat tantangan besar dalam mencapai ketahanan pangan termasuk perubahan iklim, konflik, dan ketimpangan ekonomi. Oleh karena itu, Hari Pangan Sedunia 2025 menjadi momentum penting untuk memperkuat komitmen bersama dalam menciptakan sistem pangan yang lebih baik bagi masa depan. Peringatan ini mengingatkan kita akan pentingnya kolaborasi dalam mewujudkan sistem pangan yang berkelanjutan, inklusif, dan adil.

Selengkapnya: https://www.fao.org/world-food-day/en 

 

Setiap tanggal 29 September, dunia memperingati Hari Jantung Sedunia (World Heart Day). Peringatan ini menjadi momentum global untuk mengingatkan akan pentingnya menjaga kesehatan jantung. Penyakit jantung dan pembuluh darah atau penyakit kardiovaskular (CVD) masih menjadi penyebab kematian tertinggi di dunia. Menurut data WHO, penyakit kardiovaskular menyebabkan sekitar 19,8 juta kematian pada tahun 2022, atau sekitar 32% dari seluruh kematian global. Dari angka tersebut, 85% di antaranya disebabkan oleh serangan jantung (Ischemic Heart Disease) dan stroke. Yang lebih mengkhawatirkan, lebih dari 75% kematian akibat CVD terjadi di negara berpenghasilan menengah dan rendah, termasuk Indonesia.

Penelitian telaah literatur yang dilakukan oleh Abouzid et al. (2024) menyoroti bahwa kesenjangan dalam pelayanan jantung kritis tetap menjadi tantangan besar bagi sistem kesehatan global. Dalam literatur ini, penulis mengumpulkan bukti dari studi antara Januari 2000 hingga Mei 2023 untuk mengidentifikasi disparitas akses dan hasil dari intervensi jantung kritis di berbagai populasi. Mereka menemukan bahwa faktor sosial ekonomi, asuransi, akses geografis, ras dan etnis, hambatan bahasa dan budaya, serta kesenjangan literasi kesehatan berkontribusi signifikan terhadap ketidaksetaraan tersebut.

Salah satu hambatan utama yang diungkap adalah aspek pembiayaan kesehatan: populasi tanpa asuransi atau dengan cakupan asuransi terbatas sering mengalami penundaan diagnosis maupun keterbatasan akses ke tindakan lanjutan. Tercatat bahwa kelompok masyarakat berpenghasilan rendah atau tinggal di daerah terpencil cenderung sulit menjangkau fasilitas kardiologi khusus atau pusat jantung. Hambatan geografis, termasuk jarak, transportasi, dan infrastruktur yang buruk, juga menjadi penghambat akses terhadap layanan kritis jantung.

Penelitian menunjukkan bahwa variabel ras dan etnis mempengaruhi akses dan hasil perawatan jantung kritis. Beberapa populasi etnis atau ras minoritas dilaporkan memiliki angka mortalitas lebih tinggi atau komplikasi lebih besar dibanding kelompok mayoritas, yang disinyalir karena kombinasi hambatan sistemik dan determinan sosial. Di samping itu, hambatan budaya dan bahasa memperparah situasi ketika pasien atau keluarga tidak memahami bahasa medis atau tidak merasa nyaman berkomunikasi dengan petugas kesehatan.

Disparitas dalam hasil klinis juga menemukan bahwa pasien dari kelompok rentan ini lebih mungkin mengalami hasil yang kurang baik, seperti komplikasi pasca operasi, durasi rawat inap lebih lama, atau kematian yang lebih tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa bukan hanya akses yang timpang, tapi kualitas dan keberlanjutan layanan juga berbeda menurut latar belakang sosial dan kondisi pasien.

Untuk mengatasi ketidaksetaraan tersebut, para peneliti merekomendasikan intervensi lintas sektor yang mencakup perluasan akses layanan, pengurangan hambatan finansial, dan perluasan cakupan asuransi kesehatan. Pendekatan pelayanan yang berfokus pada pasien (patient-centered) juga dianggap vital, termasuk mendengarkan kebutuhan dan preferensi pasien, serta memperkuat sistem komunikasi antara pasien dan penyedia layanan.

Teknologi juga dianggap sebagai bagian dari solusi, seperti telemedicine dan teknologi jarak jauh, bisa menjembatani kesenjangan akses, terutama bagi pasien yang tinggal jauh dari pusat layanan. Namun, penggunaan teknologi ini harus disesuaikan dengan kondisi lokal dan mempertimbangkan tantangan seperti akses internet, kemampuan menggunakan perangkat, dan kesiapan sistem kesehatan setempat.

Penulis juga menekankan perlunya penelitian lebih lanjut, khususnya studi longitudinal dan riset implementasi, untuk mengevaluasi strategi intervensi yang sudah diterapkan serta dampaknya dalam jangka panjang. Selain itu, keterlibatan pasien dan advokasi kebijakan menjadi penting agar suara kelompok rentan bisa terwakili dalam perumusan strategi pelayanan jantung.

Secara keseluruhan, penelitian ini memperingatkan bahwa meskipun kemajuan teknologi dan medis telah membuka banyak kemungkinan dalam pelayanan jantung kritis, tanpa tindakan proaktif untuk mengatasi hambatan sosial dan sistemik, kemajuan tersebut bisa memperlebar jurang ketidaksetaraan dalam kesehatan jantung di masyarakat global.

Selengkapnya dapat diakses melalui:
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/39119413/