Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Headline

Kecerdasan buatan kini semakin dekat dan banyak digunakan dalam dunia medis. Penerapan kecerdasan buatan yang telah masif digunakan salah satunya melalui Chat GPT, sebuah platform dari OpenAI yang mampu menghasilkan jawaban menyerupai manusia. Studi terbaru oleh Javaid, Haleem, dan Singh (2023) menegaskan bahwa teknologi Chat GPT menawarkan peluang besar dalam perkembangan transformasi layanan kesehatan. Chat GPT dapat dimanfaatkan mulai dari edukasi pasien, pendukung keputusan klinis, dan otomatisasi administrasi yang selama ini menyita banyak waktu tenaga medis. Chat GPT juga dapat membantu pasien memahami penyakit, obat, atau prosedur medis melalui penjelasan sederhana. Apabila dilihat dari sisi keselamatan, sistem ChatGPT mampu menurunkan risiko kesalahan medis karena dapat menyediakan informasi berbasis bukti dengan cepat.

ChatGPT dapat berperan sebagai jembatan akses layanan dan sumber informasi medis awal sehingga berpotensi memperkecil kesenjangan pelayanan kesehatan. Dalam praktek praktisi kesehatan, dokter dapat menggunakan Chat GPT untuk membantu menyusun laporan medis, meringkas rekam medis, dan melakukan transkripsi dengan cepat dan akurat. Teknologi ini secara lebih lanjut dapat mendukung penelitian klinis dengan menganalisis data uji coba maupun literatur medis secara efisien. Chat GPT juga berpotensi menjadi asisten digital dokter untuk mengingatkan jadwal kontrol, menyusun rencana diet untuk pasien diabetes, atau memberikan rekomendasi awal berdasarkan riwayat medis. Selain manfaat tersebut, Chat GPT dapat mengurangi beban kerja administratif kesehatan. Melalui Chat GPT, beban kerja administratif dapat dikurangi sehingga tenaga medis memiliki lebih banyak waktu untuk berinteraksi langsung dengan pasien.

Meskipun memiliki banyak manfaat dalam mempermudah akses dan sumber informasi kesehatan, penelitian ini menegaskan bahwa ChatGPT memiliki keterbatasan. Chat GPT dapat menghasilkan informasi yang keliru atau bias jika data medisnya tidak diperbarui. Isu privasi dan etika medis juga perlu diwaspadai karena data pasien sangat sensitif. Selain itu, Chat GPT tidak bisa menggantikan tenaga medis. Keputusan klinis tetap membutuhkan penilaian, empati, serta pertimbangan etis yang hanya bisa dilakukan oleh manusia.

Penting digarisbawahi bahwa implikasi Chat GPT bagi praktisi kesehatan adalah memanfaatkan penggunaannya sebagai alat bantu bukan pengganti. Penggunaannya perlu dilengkapi dengan regulasi, standar etik, dan pembaruan data medis yang berkelanjutan. Jika dikelola dengan tepat, Chat GPT dapat menjadi mitra strategis dalam meningkatkan mutu layanan, memperluas akses, serta mendorong inovasi di dunia kesehatan

Dirangkum oleh:
Nikita Widya Permata Sari, S. Gz., MPH
(Peneliti Divisi Mutu PKMK FK-KMK UGM)

Selengkapnya:

https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S2772485923000224?via%3Dihub 

 

Setiap 4 September, kita memperingati Hari Leukemia Sedunia sebagai upaya kampanye global untuk meningkatkan kesadaran mengenai gejala, kondisi, dan pentingnya diagnosis leukemia. Saat ini, jumlah penderita yang terdiagnosis mencapai lebih dari 437.000 kasus baru setiap tahun. Leukemia sendiri merupakan kanker yang menyerang jaringan pembentuk darah, yaitu sumsum tulang yang ditandai dengan produksi sel darah putih abnormal secara berlebihan. Kondisi ini menyebabkan sumsum tulang dipenuhi sel-sel abnormal sehingga menghambat produksi sel darah normal yang sangat dibutuhkan tubuh.

Gejala leukemia seringkali tidak spesifik dan dapat menyerupai penyakit lain. Gejalanya meliputi kelelahan, nyeri sendi, infeksi berulang, demam, sesak nafas, memar, hingga perdarahan. Oleh karena itu, kepastian diagnosis hanya dapat ditegakkan melalui pemeriksaan laboratorium. Berdasarkan jenis sel darah putih yang terlibat, leukemia dibedakan menjadi mieloid atau limfatik. Sementara itu, berdasarkan laju perkembangannya, leukemia dibedakan menjadi akut atau kronis. Penting dipahami bahwa istilah akut dan kronis tidak merujuk pada tingkat keparahan penyakit, melainkan pada kecepatan perkembangannya. Leukemia akut berkembang dengan cepat tetapi berpotensi disembuhkan dengan pengobatan standar atau transplantasi sumsum tulang. Sementara itu, leukemia kronis berkembang perlahan dalam jangka panjang dan umumnya lebih sulit disembuhkan.

Pada 2025, Hari Leukemia Sedunia mengangkat tema “What does Leukemia mean to you?” atau “Apa arti leukemia bagi Anda?”. Melalui tema ini, masyarakat diajak untuk berbagi cerita tentang bagaimana mereka memaknai leukemia, sekaligus menegaskan bahwa penyakit ini adalah kondisi serius yang penting untuk dikenali, dipahami, dan ditangani secara tepat.

Selengkapnya: https://www.worldleukemiaday.org/

 

Hari buta warna sedunia yang diperingati setiap 6 September merupakan upaya kampanye untuk meningkatkan kesadaran terhadap penyandang buta warna. Tanggal 6 September dipilih menjadi hari buta warna sedunia sebagai penghormatan kepada John Dalton, ilmuwan yang meneliti dan menemukan kondisi buta warna pada dirinya sendiri. John Dalton adalah seorang ilmuwan yang lahir pada 6 September 1766. Dalton adalah orang pertama yang menyadari keberadaan buta warna. Sebagai seorang ilmuwan, ia menyadari bahwa baik ia maupun saudaranya tidak dapat melihat warna dengan cara yang sama seperti orang lain.

Kondisi buta warna atau colour vision deficiency (CVD) diketahui diderita oleh 1 dari 12 laki-laki (8%) dan 1 dari 200 oleh perempuan di seluruh dunia. Secara keseluruhan, sekitar 300 juta orang di seluruh dunia, diperkirakan menderita buta warna yang jumlahnya hampir sama dengan seluruh populasi di Amerika Serikat. Umumnya, buta warna ditandai dengan gejala tidak dapat membedakan warna merah atau hijau. Kondisi buta warna mayoritas bersifat genetik yang berasal dari gen ibu. Buta warna juga dapat disebabkan oleh akibat dari penyakit lain seperti diabetes dan multiple sclerosis atau karena penuaan dan konsumsi obat-obatan.

Tujuan utama peringatan ini adalah memberikan pemahaman lebih luas bahwa buta warna tidak hanya sekadar ketidakmampuan membedakan warna merah dan hijau tetapi juga kondisi yang dapat mempengaruhi aktivitas sehari-hari, pendidikan, hingga karier seseorang. Melalui peringatan ini, diharapkan masyarakat lebih peduli dan mendukung terciptanya lingkungan yang ramah bagi penyandang buta warna di seluruh dunia.

Selengkapnya: https://www.colourblindawareness.org/ 

 

Perkembangan teknologi kesehatan saat ini semakin erat dalam kehidupan sehari-hari. Perkembangan teknologi yang telah akrab dengan kita salah satunya adalah wearable devices seperti gelang kesehatan, smartwatch, dan pakaian pintar. Awalnya, wearable devices hanya populer di kalangan masyarakat umum untuk menghitung langkah atau memantau detak jantung. Namun, penggunaannya kini sudah meluas dalam penelitian biomedis, pelayanan klinis, dan pencegahan penyakit. Review Canali, Schiaffonati, dan Aliverti (2022) menunjukkan bahwa wearables memiliki empat fungsi utama, yaitu memantau kondisi tubuh, melakukan skrining awal penyakit, mendeteksi kondisi medis secara dini, dan memprediksi risiko kesehatan di masa depan. Contohnya, smartwatch dapat membantu mendeteksi detak jantung tidak normal, memantau gejala COVID-19, dan memperkirakan risiko rawat inap pada pasien penyakit paru.

Meskipun memiliki potensi besar, penggunaan wearable devices tidak lepas dari berbagai tantangan. Isu pertama berkaitan dengan kualitas data. Perbedaan sensor dan metode pengumpulan informasi membuat hasil pengukuran tidak selalu konsisten. Padahal, data yang kurang akurat dapat berakibat serius jika dijadikan dasar keputusan medis. Isu kedua berkaitan dengan masalah akurasi estimasi. Wearable devices terkadang mengalami overestimation, misalnya peningkatan detak jantung akibat flu dapat terbaca sebagai gejala COVID-19. Hal ini dapat menimbulkan kecemasan pasien bahkan menambah beban bagi sistem kesehatan. Tantangan ketiga menyangkut kesenjangan akses yang ditunjukkan dengan tidak semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk memanfaatkan teknologi ini. Kelompok dengan kemampuan finansial dan literasi digital yang lebih baik cenderung lebih mudah memperoleh manfaat sedangkan masyarakat dengan keterbatasan akses dapat semakin tertinggal. Isu terakhir adalah keadilan dan representasi data. Saat ini, data dari wearable devices lebih banyak terkumpul dari kelompok tertentu seperti orang dewasa muda pengguna smartwatch. Sementara itu, kelompok lain seperti lansia atau anak-anak masih kurang terwakili. Akibatnya, basis data yang terbentuk dapat bias dan tidak sepenuhnya mencerminkan kondisi kesehatan populasi secara menyeluruh.

Temuan ini dapat menjadi pengingat bagi praktisi kesehatan bahwa wearable devices tidak hanya sekadar menjadi tren gaya hidup tetapi juga berfungsi sebagai alat medis potensial yang perlu dipertimbangkan dengan hati-hati. Penting untuk memastikan kualitas data terjaga, mengedukasi pasien tentang keterbatasan interpretasi data, serta mendorong kebijakan yang menjamin akses merata. Selain itu, penggunaan data juga harus diperhatikan agar informasi dapat terintegrasi dengan rekam medis elektronik sehingga memberikan manfaat maksimal dalam praktik klinis maupun kesehatan masyarakat.

Wearable devices memang membuka peluang besar menuju pelayanan kesehatan yang lebih personal, digital, dan preventif. Namun, manfaat tersebut hanya bisa tercapai jika tantangan terkait kualitas data, akurasi, kesetaraan akses, dan keadilan benar-benar diperhatikan. Praktisi kesehatan memiliki peran penting untuk menjembatani kemajuan teknologi ini agar dapat memberikan dampak positif, tidak hanya bagi kelompok tertentu tetapi juga bagi seluruh lapisan masyarakat.

Dirangkum oleh:

Nikita Widya Permata Sari, S. Gz., MPH
(Peneliti Divisi Mutu PKMK FK-KMK UGM)

Sumber:
https://journals.plos.org/digitalhealth/article?id=10.1371/journal.pdig.0000104