Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Headline

Penulis:
dr. Hardhantyo MPH, Ph.D, FRSPH (Peneliti Divisi Manajemen Mutu, PKMK FK-KMK UGM)

Dalam upaya peningkatan kualitas pelayanan kesehatan maternal dan neonatal, penting bagi kabupaten / kota untuk memiliki sistem rujukan yang efektif dan terkoordinasi. Manual rujukan merupakan panduan yang berfungsi sebagai persiapan persalinan atau rujukan terencana bagi individu yang membutuhkan pre-emptive strategi atau strategi pencegahan. Tujuan dari manual rujukan adalah untuk mempercepat pelayanan kesehatan bagi ibu hamil, melahirkan atau bayi baru lahir yang memiliki masalah kesehatan.

Manual rujukan sangat bermanfaat pada kondisi khusus yang memerlukan penanganan segera dan tepat pada Ibu hamil maupun bayi baru lahir. Kondisi tersebut yaitu ibu hamil dengan masalah kesehatan tertentu yang memerlukan rujukan terencana agar dapat mendapatkan perawatan yang sesuai dengan kondisinya. Kedua adalah ibu hamil yang sebelumnya menjalani pemeriksaan antenatal dengan baik namun mengalami masalah saat proses persalinan, seperti komplikasi yang memerlukan intervensi medis. Ketiga, ibu yang melakukan persalinan normal namun ditemukan masalah saat masa nifas, seperti perdarahan hebat atau infeksi pasca persalinan. Keempat, bayi baru lahir yang memiliki masalah kesehatan seperti asfiksia atau kelainan bawaan yang memerlukan penanganan segera.

Melalui manual rujukan diharapkan pasien dapat tiba dengan segera di fasilitas kesehatan yang memadai untuk mendapatkan penanganan yang tepat dan tidak berputar-putar. Manual rujukan berperan penting dalam memangkas berbagai kegaduhan atau proses yang tidak perlu saat penanganan pasien, sehingga waktu yang diperlukan untuk mendapatkan perawatan dapat diminimalisir. Hal ini sangat krusial, terutama dalam kasus perdarahan pasca persalinan. Waktu emas untuk penanganan perdarahan pasca persalinan hanya berlangsung dalam waktu kurang dari dua jam setelah persalinan, di luar waktu tersebut, prognosis pasien menjadi sangat buruk. Dalam kondisi ini manual rujukan memiliki peranan penting dalam mencegah kematian.

Namun, untuk memastikan efektivitas manual rujukan, beberapa aspek perlu diperhatikan. Pertama adalah kesiapan dari tenaga dan fasilitas medis, terutama memastikan ketersediaan fasilitas PONEK sejati 24 Jam dan 7 hari dalam seminggu. termasuk petugas jaga, tenaga kesehatan masyarakat, serta tenaga layanan kesehatan di tingkat desa dan komunitas. Kedua, pendidikan dan pelatihan berkala untuk penggunaan manual rujukan perlu diberikan kepada semua petugas kesehatan yang terlibat, sehingga mereka dapat dengan baik memahami dan mengimplementasikan prosedur yang tercantum dalam manual tersebut. Ketiga adalah proses monitoring dan evaluasi sebagai bahan untuk peningkatan proses implementasi manual rujukan ini. Oleh karena itu penting bagi daerah untuk melakukan penyesuaian dan adaptasi manual rujukan sesuai dengan konteks lokal. Berbagai faktor-faktor seperti kepercayaan, norma dan preferensi kultural perlu menjadi pertimbangan dalam merancang dan mengimplementasikan manual rujukan.

Pengembangan sistem rujukan dan peningkatan mutu pelayanan kesehatan rujukan menggunakan framework dari WHO yaitu framework penilaian kinerja sistem kesehatan WHO building blocks framework. Framework ini menggunakan enam building blok untuk menentukan langkah dan indikator monitoring kegiatan yaitu layanan kesehatan yang diberikan (service delivery), tenaga kesehatan (health workforce), sistem informasi kesehatan (health information systems), akses pada pengobatan esensial (access to essential medicines), pembiayaan (financing), dan (vi) kepemimpinan (leadership).

23mei

Gambar: Kerangka kerja implementasi manual rujukan

Dokumen pengambangan manual rujukan kabupaten/Kota lebih lengkap dapat diakses melalui link berikut

tautan manual rujukan

 

Kerjasama dalam rangka implementasinya dapat menghubungi Andriani Yulianti, melalui email: This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.

 

 

 

Sebuah study yang dilakukan oleh Lee, J. S et al. 2020 mengidentifikasi ketidakpuasan pasien terhadap layanan kesehatan melalui analisis konten dari artikel yang berasal dari surat kabar yang diterbitkan antara tahun 1990 dan 2015. Studi ini berfokus melakukan pengembangan skema pengkodean yang sistematis untuk melakukan analisis konten serta mengeksplorasi perubahan dari waktu ke waktu. Artikel diterbitkan oleh 8 surat kabar nasional besar yang ada di Korea, analisis konten ini menggunakan artikel yang secara khusus membahas ketidakpuasan pasien.

Semua artikel kemudian diberi kode menurut taksonomi pengkodean untuk melakukan analisis deskriptif. Dari hasil yang didapatkan sebanyak 794 pengaduan ditemukan dalam 338 artikel. Isi ketidakpuasan diklasifikasikan menjadi 7 kategori dan 50 subkategori. Keluhan tentang aksesibilitas, perawatan teknis, dan administrasi dalam keadaan khusus, termasuk pemogokan dan penyebaran penyakit epidemi, sedangkan keluhan tentang perawatan dan biaya antarpribadi terlihat menonjol. keluhan tentang administrasi dan lingkungasecara fisik berkurang dari waktu ke waktu, sedangkan keluhan tentang hasil pelayanan kesehatan meningkat.

Berikut ini Kategori dan subkategori ketidakpuasan pasien

Aksesibilitas

  1. Aksesibilitas geografis
  2. Aksesibilitas yang bergantung pada waktu
  3. Aksesibilitas yang bergantung pada penyakit
  4. Aksesibilitas ekonomi
  5. Kurangnya penyedia medis
  6. Kurangnya fasilitas, peralatan atau obat-obatan
  7. Waktu tunggu yang lama
  8. Pemogokan
  9. Insiden di fasilitas medis

Perawatan teknis

  1. Diagnosis dan pengobatan yang tertunda
  2. Diagnosis dan pengobatan yang salah
  3. Perawatan berlebihan
  4. Perawatan yang tidak memadai
  5. Variasi dalam praktek dokter
  6. Peningkatan risiko keselamatan pasien dengan praktik medis
  7. Perawatan oleh staf medis yang tidak memenuhi syarat
  8. Penggunaan peralatan atau perlengkapan medis yang tidak memenuhi syarat

Perawatan antarpribadi

  1. Sesi perawatan singkat
  2. Komunikasi yang buruk oleh staf medis
  3. Sikap staf medis yang tidak tepat
  4. Kurangnya pengambilan keputusan bersama
  5. Perilaku praktik yang berorientasi pada dokter atau rumah sakit
  6. Pelanggaran privasi
  7. Pelecehan verbal/fisik/seksual
  8. Penipuan
  9. Diskriminasi

Lingkungan fisik

  1. Ruang dan desain fasilitas medis
  2. Akomodasi fasilitas medis
  3. Kebersihan fasilitas medis
  4. Peningkatan risiko keselamatan pasien karena lingkungan fisik

Administrasi

  1. Janji temu yang tidak nyaman, pendaftaran, penerimaan, prosedur pelepasan
  2. Keterlambatan dalam prosedur pendaftaran dan pembayaran
  3. Komunikasi yang buruk oleh staf administrasi
  4. Sikap staf administrasi yang tidak tepat
  5. Prosedur administratif yang dipaksakan tanpa dasar hukum
  6. Pelanggaran aturan administrasi yang sah atau hak pasien
  7. kebijakan pemerintah tentang penyelenggaraan kesehatan
  8. Kompensasi yang tidak memadai untuk kecelakaan medis
  9. Ketidaksiapan rumah sakit menghadapi bencana

Hasil

  1. Kesalahan medis
  2. Efek samping perawatan
  3. Ketidakpuasan dengan efektivitas pengobatan
  4. Perkembangan penyakit karena keterlambatan perawatan

Biaya

  1. Asuransi kesehatan masyarakat
  2. Asuransi kesehatan pribadi
  3. Biaya pengobatan yang tidak dapat diganti
  4. Biaya tambahan oleh fasilitas medis
  5. Prosedur administrasi yang tidak wajar terkait biaya medis
  6. Kebijakan pemerintah mengenai biaya kesehatan
  7. Biaya tinggi, tidak ditentukan

Lee, J. S., Kim, J. W., Shin, Y. K., Kim, T. J., & Do, Y. K. (2020).
Patient dissatisfaction with health care: a content analysis of newspaper articles between 1990 to 2015. Quality Improvement in Health Care, 26(1), 35-45.

 

 

Phantom billing adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan praktik penerbitan tagihan oleh penyedia layanan kesehatan yang tidak sah atau tidak pantas, atau disebut juga klaim palsu yang merupakan klaim atas layanan yang tidak pernah dilakukan/diberikan kepada pasien, seperti: 1) Penagihan tindakan medik operatif yang tidak pernah dilakukan; dan Penagihan obat/alat kesehatan di luar paket INA-CBG yang tidak diberikan kepada pasien (Permenkes 16 tahun 2019). Dalam konteks jaminan kesehatan nasional, praktik ini dapat berdampak pada kesehatan masyarakat secara dan mutu layanan kesehatan yang diberikan, karena mengurangi kepercayaan publik pada sistem kesehatan dan menghambat akses ke perawatan yang sesuai.

Sebuah studi literatur review yang dilakukan oleh Ratu CA & Anggraeni DF, 2023 mengenai fenomena phantom billing dalam Jaminan Kesehatan Nasional melihat kejadian phantom billing, faktor penyebab dan dampaknya, bagaimana sistem pencegahan fraud di Indonesia serta pembelajaran dari sistem pencegahan fraud di negara lain. Studi literatur dilakukan dengan mengumpulkan data dari beberapa artikel, jurnal, textbook, dan regulasi terkait phantom billing dalam JKN. Phantom billing dapat disebabkan karena kurangnya akurasi pengkodean, adanya kesempatan, adanya rasionalisasi atau adanya kemampuan untuk melakukan fraud.

Secara keseluruhan, fenomena phantom billing adalah masalah yang kompleks dalam sistem jaminan kesehatan nasional. Namun, dengan strategi yang tepat dan kerjasama antara otoritas kesehatan, penyedia layanan kesehatan, dan masyarakat, praktik ini dapat diatasi dan kepercayaan publik pada sistem kesehatan dapat ditingkatkan.

Selengkapnya

 

Sumber:

  • Ratu CA, Anggraeni DF. Fenomena Phantom Billing dalam Jaminan Kesehatan Nasional: Literature Review.
  • Kemenkes. 2019. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019 tentang Pencegahan dan Penanganan Kecurangan (Fraud) serta Pengenaan Sanksi Administrasi terhadap Kecurangan (Fraud) dalam Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI

 

 

Hari TBC Sedunia (HTBS) pada 24 Maret 2023 menjadi momen yang tepat untuk mengajak keterlibatan multi-sektor. Tanggal ini ditetapkan oleh WHO dengan merujuk pada pertama kali Robert Koch menemukan bakteri TBC (Mycobacterium tuberculosis). Peringatan HTBS adalah kesempatan untuk meningkatkan kampanye dengan penyebarluasan informasi terkait TBC serta mendorong semua pihak untuk terlibat aktif dalam pencegahan dan pengendalian TBC. TBC di Indonesia Indonesia sendiri berada pada posisi kedua dengan jumlah kasus TBC terbanyak di dunia setelah India, diikuti oleh China. Pada tahun 2020, Indonesia berada pada posisi ketiga dengan beban jumlah kasus terbanyak, sehingga tahun 2021 jelas tidak lebih baik.

Kasus TBC di Indonesia diperkirakan sebanyak 969.000 kasus TBC (satu orang setiap 33 detik). Angka ini naik 17% dari tahun 2020, yaitu sebanyak 824.000 kasus. Insidensi kasus TBC di Indonesia adalah 354 per 100.000 penduduk, yang artinya setiap 100.000 orang di Indonesia terdapat 354 orang di antaranya yang menderita TBC. Situasi ini menjadi hambatan besar untuk merealisasikan target eliminasi TBC di tahun 2030. Angka keberhasilan pengobatan TBC pun masih sub-optimal pada 85 persen, di bawah target global untuk angka keberhasilan pengobatan 90 persen. Mengakhiri epidemi TBC menjadi salah satu target penting dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals) yang harus dicapai bersama dengan tujuan-tujuan lainnya oleh suatu negara untuk dapat sejahtera dan setara.

Pentingnya TBC untuk dieliminasi dikarenakan: 1) TBC merupakan penyakit menular. Arus globalisasi transportasi dan migrasi penduduk antar negara membuat TBC menjadi ancaman serius, 2) Pengobatan TBC tidak mudah dan sebentar, 3) TBC yang tidak ditangani hingga tuntas menyebabkan resistansi obat, 4) TBC menular dengan mudah, yakni melalui udara yang berpotensi menyebar di lingkungan keluarga, tempat kerja, sekolah, dan tempat umum lainnya. jumlah kasus TBC yang ditemukan dan dilaporkan ke SITB tahun 2022 ialah sebanyak 717.941 kasus dengan cakupan penemuan TBC sebesar 74% (target: 85%). Pasien TBC yang belum ditemukan dapat menjadi sumber penularan TBC di masyarakat sehingga hal ini menjadi tantangan besar bagi program penanggulangan TBC di Indonesia.

Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Chawla et al, 2020 didapatkan bahwa skrining kontak serumah untuk penemuan kasus aktif TB adalah alat yang layak dan efisien yang berpotensi menghasilkan diagnosis dan pengobatan TB aktif lebih awal, sehingga dapat meminimalkan keparahan dan penurunan penularan. Ini juga dapat berkontribusi terhadap peningkatan hasil pengobatan, gejala sisa kesehatan, dan konsekuensi sosial dan ekonomi dari TB. Gennet et al, 2020 dalam penelitiannya juga menyampaikan bahwa fasilitas kesehatan diharapkan memiliki panduan pengguna TB terbaru, slide mikroskopis yang cukup, area pengambilan dahak yang terpisah, persediaan obat yang cukup, memberikan pendidikan kesehatan tentang TB, pengetahuan tentang penyebab TB dan dokumentasi buku register TB yang lebih baik yang akan meningkatkan kualitas pelayanan yang diberikan untuk pasien TB.

Di sisi lain, studi Gennet menunjukkan bahwa tidak ada pelatihan in-service terkini yang diberikan tentang TB untuk Puskesmas, cadangan reagen laboratorium dan manajemen partisipatif dan sistem insentif. Selain itu, sebagian besar petugas kesehatan memiliki pengetahuan yang terbatas tentang faktor risiko TB, strategi penemuan kasus TB, dan strategi tindak lanjut pasien TB. Penyediaan obat-obatan, peralatan laboratorium dan reagen secara terus-menerus, ketersediaan pedoman terkini di fasilitas kesehatan, memberikan pelatihan terkini untuk petugas kesehatan tentang TB dan dokumentasi yang tepat dapat meningkatkan kualitas pelayanan TB yang diberikan kepada pasien.

Selain itu, pentingnya kolaborasi seluruh pihak dalam eliminasi TBC, Penyakit TBC tidak hanya berdampak pada sektor kesehatan, tetapi juga pada aspek sosial dan ekonomi masyarakat. Menjangkau setiap orang denganTBC dan memastikan setiap pasien diobati sampai sembuh membutuhkan pendekatan yang melampaui sektor kesehatan. Sebagai salah satu upaya mewujudkan Cakupan Kesehatan Semesta, keberhasilan eliminasi TBC ditentukan pada kontribusi dan kolaborasi lintas sektor oleh multi-pihak dan seluruh lapisan masyarakat secara berkesinambungan. Setiap sektor mempunyai peran penting dan semua perlu mengambil bagian untukmenyukseskan target eliminasi TBC sebelum tahun 2030.

Sumber:

  • Kementerian Kesehatan RI. Panduan Kegiatan Hari Tubberkulosis Sedunia tahun 2023, Tim Kerja Tuberkulosis, Jakarta.
  • Genet, C., Andualem, T., Melese, A., Mulu, W., Mekonnen, F., & Abera, B. (2020). Quality of care for tuberculosis patients in public health facilities of Debre Tabor town, Northwest Ethiopia. PloS one, 15(6), e0234988.
  • Chawla, S., Gupta, V., Gour, N., Grover, K., Goel, P. K., Kaushal, P., ... & Ranjan, R. (2020). Active case finding of tuberculosis among household contacts of newly diagnosed tuberculosis patients: A community-based study from southern Haryana. Journal of Family Medicine and Primary Care, 9(7), 3701.