Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Editorial

Kualitas pelayanan atau Quality of Care (QOC) merupakan tujuan utama dalam upaya peningkatan sistem kesehatan di negara-negara skala menengah ke bawah (Low and Middle Countries- LMICs). Kualitas pelayanan kesehatan di berbagai aspek menjadi perhatian kita semua, demikian juga dengan berbagai upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas pelayanan tersebut. Salah satunya adalah pelayanan rawat jalan, dimana saat ini masih terdapat bukti yang menunjukkan bahwa kualitas pelayanan rawat jalan di negara-negara dengan skala tersebut masih buruk. Untuk menilai mutu pelayanan kesehatan tersebut, dilihat dari beberapa aspek, meliputi; inputs (fasilitas, staf, perlengkapan, suplai), proses (kepatuhan protokol dan standar pelayanan), dan outcomes (gejala yang muncul, usia hidup, komplikasi atau outcome yang buruk).

Di sisi lain, Universal Health Coverage (UHC) yang 'diperkenalkan' di LMICs of the Asia Pacific Region mengindikasikan munculnya masalah terkait mutu yakni rendahnya mutu pelayanan kesehatan serta diperlukannya strategi dan regulasi untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan tersebut. Berbagai penerapan strategi untuk meningkatkan pelayanan rawat jalan dilaksanakan di negara-negara ini, namun berbagai pertanyaan muncul terkait hal tersebut, seperti; apakah strategi yang diterapkan dapat meningkatkan kualitas pelayanan atau apakah strategi yang diterapkan sesuai dengan skala yang ada.

Untuk menjawab berbagai pertanyaan tersebut, maka policy brief berikut diharapkan dapat 'menelusur' permasalahan yang ada di pelayanan rawat jalan, me-review berbagai strategi peningkatan kualitas pelayanan rawat jalan, serta memberikan pedoman yang dapat dipergunakan oleh pembuat kebijakan di negara-negara skala menengah ke bawah tersebut. Secara lengkap policy brief tersebut dapat diakses di link berikut: Policy Brief: Quality of Care - What are effective policy options for governments in low- and middle-income countries to improve and regulate the quality of ambulatory care?

Selain memaparkan upaya peningkatan kualitas pelayanan di rawat jalan melalui pemaparan policy brief, minggu ini akan dimuat pula artikel terkait upaya peningkatan mutu pelayanan kesehatan melalui kewaspadaan pada proses administrasi obat dan upaya pencegahan kesalahan pemberian obat melalui pemanfaatan teknologi informasi. Seluruh paparan tersebut diharapkan dapat memberikan informasi dan memperkaya pengetahuan sehingga dapat mendukung upaya peningkatan Quality of Care di setiap lini pelayanan kesehatan (LEI).

Pelayanan kesehatan di tingkat mikro sistem sangat terkait dengan tim klinis yang berada di garis depan yang berinteraksi dengan pasien dan outcome yang dihasilkan. Berbagai aspek memerlukan perhatian di tingkat mikro sistem ini, seperti disampaikan oleh Berwick (Quality by Design: A Clinical Microsystem Approach) bahwa banyak upaya perbaikan dilakukan diantaranya yang berfokus pada pasien secara individual, dokter yang memberikan pelayanan klinis secara individual, organisasi sebagai provider, sistem pembayaran, serta aspek lainnya terkait kebijakan pelayanan kesehatan, namun masih sangat sedikit upaya untuk memahami dan mengubah unit klinis frontliner untuk 'benar-benar' memberikan perawatan.

Salah satu aspek yang di'hadapi' oleh tim frontliner adalah sistem tata kelola obat, yang juga memerlukan upaya pengelolaan yang baik dan benar. Sistem tata kelola obat yang dapat mencegah terjadinya medication error. Dua artikel minggu ini akan memaparkan upaya untuk mencegah medication error di tingkat mikro sistem yang dapat dilakukan oleh perawat. Perawat sebagai salah satu tim frontliner yang memberikan pelayanan kesehatan secara langsung kepada pasien memiliki keterkaitan dengan proses pemberian obat kepada pasien. Selain itu pada salah satu artikel yang dimuat minggu ini diuraikan pula hal-hal yang dapat dijadikan referensi dalam upaya pencegahan medication error seperti dirilis oleh American Society of Hospital Pharmacists (ASHP). Tentu saja paparan tersebut merupakan salah satu 'bagian kecil' referensi yang dapat dijadikan sumber pengetahuan dan dapat semakin dilengkapi dengan berbagai referensi ter-update agar pencegahan medication error dapat diupayakan dengan lebih optimal. (lei)

Beberapa pekan lalu kembali kita dikejutkan dengan munculnya kejadian sentinel di salah satu RS swasta besar di Indonesia, kejadian sentinel yang terkait dengan kematian pasien akibat medication error dimana obat anestesi spinal yang diberikan ternyata memiliki isi yang berbeda dengan isi yang tertera dalam kemasan obat.

Terlepas dari pihak mana penyebab kejadian ini dapat muncul, namun kejadian ini mengingatkan kita semua bahwa sarana pelayanan kesehatan termasuk rumah sakit (RS) selalu memiliki risiko dalam memberikan pelayanan kesehatannya. Meski RS telah menerapkan berbagai standar dalam mencegah risiko tersebut muncul namun para pimpinan dan staf tidak boleh lengah sedikit pun, seluruh standar tersebut harus senantiasa dipelihara dan dipantau kepatuhan penerapannya dilapangan.

Paling tidak ada 3 kegiatan dalam manajemen risiko dalam layanan kesehatan, yaitu identifikasi risiko, analisa risiko dan pengelolaan risiko. Identifikasi risiko perlu dilakukan dalam setiap tahap pelayanan kehatan, termasuk pada kasus tersebut diatas adalah pada saat penerimaan obat dari rekanan, bahkan tidak tertutup kemungkinan untuk melakukan penilaian terhadap proses produksi obat oleh rekanan, proses penilaian ini dapat dilakukan oleh pihak ketiga yang ditunjuk oleh RS atau dilakuan oleh institusi regulator terkait.

Analisa risiko terkait dengan menilai seberapa sering risiko tersebut dapat muncul, seberapa parah apabila terjadi dan bagaimana tingkat kesulitan dalam mendeteksinya, risiko yang sering terjadi, berdampak besar apabila terjadi dan sulit dideteksi merupakan risiko yang harus segera dikelola. Namun bila sebaliknya maka risiko tersebut tidak perlu ditindak lanjuti, dapat dianggap sebagai risiko yang dapat diterima.

Meskipun demikian, risiko yang sangat jarang terjadi namun berdampak besar hingga menyebabkan pasien meninggal haruslah dikelola dengan baik. Pengelolaan meliputi menghilangkan penyebab munculnya risiko, merancang ulang (redesign) hingga mencari sumber pembiayaan (asuransi) apabila risiko tersebut muncul. (HD)

Minggu terakhir bulan Februari 2015 lalu, publik dikejutkan dengan berita tertukarnya obat anestesi yang menyebabkan meninggalnya dua pasien di salah satu rumah sakit swasta di Indonesia. Tentu saja berita terjadinya medication error yang dapat menyebabkan terjadinya suatu Kejadian Tidak Diinginkan (KTD) masih kerap kita dengar, baca, atau lihat di berbagai sarana pelayanan kesehatan. Namun, tetap saja berita tersebut kembali membuat kita terhenyak dan mempertanyakan banyak hal, seperti; bagaimana prosedur yang diterapkan, proses tata kelola obat di rumah sakit, hingga dugaan kejadian lainnya yang dapat menyebabkan obat anestesi Buvanest Spinal tertukar dengan asam Tranexamic.

Kejadian tersebut tentu saja sangat mengejutkan tetapi sekaligus dapat dijadikan sebagai suatu peringatan baik bagi praktisi kesehatan dan lembaga kesehatan yang berperan sebagai provider pelayanan kesehatan agar kejadian serupa tidak terulang kembali di tempat lain. Meski pihak provider harus semakin berhati-hati, pada kenyataannya medication error yang terjadi di kasus ini diduga disebabkan oleh proses kesalahan yang terjadi di pihak vendor penyedia obat dimana vendor tersebut merupakan salah satu perusahaan skala nasional yang kredibel di Indonesia. Hal ini semakin mengejutkan karena ternyata sumber terjadinya medication error tidak hanya dapat bersumber dari pihak provider pelayanan kesehatan namun juga dapat bersumber dari vendor penyedia obat-obatan itu sendiri. Satu 'pekerjaan rumah' lagi bagi provider pelayanan kesehatan untuk menentukan strategi antisipasi agar kejadian medication error yang bersumber dari vendor dapat dicegah, dan menentukan langkah 'cepat' apa yang harus segera diambil oleh pihak provider pelayanan kesehatan ketika terjadi suatu KTD akibat medication error sehingga kejadian tersebut tidak 'sempat' terulang untuk pasien yang lain.

Medication error serta berbagai upaya pencegahannya masih menjadi topik yang 'layak' dibahas dan didiskusikan terus menerus, salah satunya sebagai upaya untuk menerapkan quality improvement di sarana pelayanan kesehatan. Peran berbagai pihak, baik pasien, provider, dan vendor sangat menentukan agar tidak terjadi medical error termasuk didalamnya medication error. Untuk itu selama empat minggu ke depan, akan kembali diulas berbagai artikel, strategi, dan pengalaman di berbagai tempat terkait dengan upaya pencegahan medication error ini. (lei)