Best practice di suatu daerah ada kalanya dapat dijadikan acuan dalam menentukan suatu kebijakan atau strategi perbaikan. Tidak terkecuali pada proses perbaikan mutu gizi pasien. Proses perbaikan mutu dapat dilakukan baik di tingkat pasien sampai di tingkat regulator.
Sebelumnya telah dipaparkan upaya perbaikan mutu gizi pasien dilihat dari sisi pasien, tingkat mikro, dan tingkat organisasi, maka minggu ini akan dipaparkan artikel yang memuat hasil penelitian yang dilakukan di United of Kingdom yang menguraikan manfaat dari pengukuran dan pendokumentasian tinggi dan berat pasien dalam upaya pengelolaan gizi pasien khususnya bagi pasien yang memiliki risiko malnutrisi.
Artikel lain yang dimuat minggu ini juga akan menampilkan hasil penelitian yang dilakukan dengan membandingkan tujuh instrumen screening gizi untuk pasien rawat inap usia lanjut dengan dua metode penilaian gizi lainnya.
Berbagai referensi hasil penelitian maupun penerapan pelayanan gizi yang baik untuk pasien tersebut diharapkan dapat memberikan masukan perbaikan, tidak hanya di tingkat mikro namun juga sampai di tingkat regulator. Seperti halnya salah satu contoh kebijakan tentang tenaga gizi yang telah dituangkan dalam Permenkes No. 26 Tahun 2013 Tentang Penyelenggaraan Pekerjaan dan Praktik Tenaga Gizi, dimana telah ditetapkan pengaturan bagi tenaga gizi agar hasil kerjanya dapat meningkatkan status kesehatan yang optimal baik dalam kondisi sehat maupun sakit. Atau dapat juga bentuk kebijakan atau ketentuan yang ditetapkan dituangkan dalam berbagai elemen persyaratan akreditasi seperti Akreditasi JCI, dimana penatalaksanaan gizi pasien menjadi salah satu item yang harus ada dalam form terintegrasi pasien.
Kesimpulan yang dapat diambil dari empat minggu paparan terkait pelayanan gizi ini adalah bahwa perbaikan mutu perlu terus dilakukan baik di tingkat pasien, pada proses mikro, di tingkat organisasi, maupun di lingkungan organisasi pelayanan kesehatan itu sendiri. (lei)