Oleh:
Divisi Manajemen Mutu Pelayanan Kesehatan
Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK UGM
Pengantar
Tahun 2015 merupakan tahun awal pertaruhan politik di bawah era kepemimpinan presiden baru. Transisi kepemimpinan dari Susilo Bambang Yudhoyono ke Joko Widodo akan banyak memberi perubahan pada berbagai kebijakan di sektor kunci terutama sektor kesehatan. Salah satu isu yang kurang mendapat perhatian di tahun lalu adalah terkait mutu pelayanan kesehatan. Outlook ini memberi gambaran peluang dan tantangan dalam upaya meningkatkan mutu layanan kesehatan dalam era JKN. Outlook ini ditujukan bagi pemerhati sistem kesehatan, regulator, fasilitas kesehatan, masyarakat, media massa maupun pelaksana dalam sistem JKN.
Tepat hari Kamis (1 Januari 2015) lalu, sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) "merayakan" ulang tahun pertama. Sistem ini dirancang untuk menjamin ketersediaan pelayanan kesehatan yang bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa kecuali. Dalam setahun perjalanan JKN, banyak harapan yang belum optimal tercapai termasuk aspek mutu dalam pelayanan kesehatan.
World Health Organization (WHO) pada tahun 2006 telah mengeluarkan dokumen dengan judul: Quality of Care "a Process For Making Strategic Choices in Health System". Dalam dokumen ini WHO mengidentifikasi setidaknya enam dimensi mutu pelayanan kesehatan yang perlu diwujudkan oleh setiap negara, yaitu pelayanan kesehatan yang: efektif, efisien, mudah diakses, aman, tepat waktu dan mengutamakan pasien.
Dari enam dimensi mutu (bagan 1), aksesibilitas adalah dimensi yang paling sering diukur dan diklaim keberhasilannya antara lain bahwa semua penduduk Indonesia dapat mendaftar BPJS. Meskipun kemudian akses lebih lanjut ke pelayanan kesehatan sering menjadi pertanyaan seperti yang terjadi diberbagai provinsi terpencil yang memiliki keterbatasan SDM kesehatan dan sumber daya lain. Dimensi mutu lainnya seperti efektifitas, efisiensi, aman, tepat waktu, dan mengutamakan pasien belum diukur.
Isu dan Tren
Sepanjang tahun 2014, media dihebohkan dengan berbagai isu pelayanan kesehatan dalam sistem JKN. Mulai isu tentang pasien yang ditolak berobat hingga menemui ajal, rumah sakit yang "membuang" pasien, hingga dokter kandungan yang dipenjara karena tuduhan melalaikan pasien. Apa sebab terjadinya berbagai kondisi semacam ini?
Bila dilihat melalui sudut pandang "rantai efek peningkatan mutu pelayanan kesehatan" dari Donald Berwick (bagan 2), kondisi ini disumbang oleh berbagai faktor penyebab. Mulai dari regulator, provider (level organisasi), dan tenaga kesehatan (level mikro) berperan dalam dalam terjadinya kondisi tersebut.
Pada level regulator, kebijakan yang diberlakukan dalam era JKN ini bersifat "pasang surut", dimana satu kebijakan diberlakukan namun tidak disertai dengan rangkai kebijakan lainnya. Misalnya Jaminan Kesehatan Nasional telah berupaya mengendalikan harga melalui penerapan kapitasi dan INA-CBGs, namun tidak disertai dengan pengembangan sistem remunerasi baru bagi tenaga kesehatan. Kemudian negara telah menyusun regulasi mengenai kemudahan pendaftaran peserta BPJS, namun tidak disertai dengan upaya pemerataan fasyankes dan SDM-nya. Lalu, pemerintah telah menyusun regulasi mengenai sistem rujukan namun kurang memberikan informasi kepada masyarakat terkait dengan mutu Puskesmas dibanding RS, dan kurang mendorong pengembangan sistem rujukan daerah, regional hingga nasional serta prosedur detail rujukan untuk kasus-kasus spesifik seperti KIA dan wabah.
BPJS Telah menetapkan persyaratan ijin dan akreditasi untuk provider namun tidak terlibat dalam merevisi standar perijinan dan akreditasi agar memiliki kaitan yang kuat dengan JKN. Di sisi lain, proses akreditasi RS belum memastikan adanya peningkatan mutu yang diterima oleh pasien. Sedangkan standar akreditasi Puskesmas hingga kini belum juga diterbitkan.
Pada level organisasi, tidak banyak perubahan manajerial dalam pengelolaan sarana pelayanan kesehatan. Hingga detik-detik terakhir pelaksanaan JKN, banyak RS ataupun Puskesmas tidak memiliki persiapan yang cukup, mereka masih menjalankan organisasi seperti sebelumnya. Tidak banyak perubahan yang dilakukan baik dalam pelayanan utama maupun pelayanan penunjang seperti yang diidentifikasi oleh Michel Porter dalam Model Value Chain (1985).
Pengelolaan manajemen pelayanan klinis (clinical care) sebagai pelayanan utama tidak banyak berubah, pelayanan masih diberikan seperti sebelumnya, pendekatan tim, penerapan clinical governance, penerapan continium of care masih belum banyak dilakukan. Pelayanan penunjang seperti pengelolaan SDM sebagai tulang punggung utama sarana pelayanan kesehatan tidak banyak mengalami perubahan, perhitungan jumlah SDM terlambat mengantisipasi peningkatan jumlah pasien, perhitungan remunerasi juga tidak berubah masih banyak yang berbasis fee for service. Pengelolaan keuangan juga belum menghitung secara cermat posisi keuangan RS terhadap pola INA CBGs ataupun Puskesmas dengan kapitasinya. Penggunaan IT juga tidak dimanfaatkan secara maksimal.
Minimnya intervensi regulasi maupun manajerial membuat berbagai alat peningkatan mutu di dalam aspek teknis pelayanan kesehatan juga tidak banyak diterapkan, atau diterapkan tanpa terkait dengan upaya peningkatan mutu dalam JKN.
Dalam buku Quality by Desain: A Clinical Microsystem Approach (Nelson, Batladen dan Godfrey, 2007) disebutkan berbagai tools peningkatan mutu klinis di tingkat mikro, seperti penerapan siklus PDSA/PDCA, FMEA, RCA, Audit Medik/Klinik, Clinical Pathways, penggunaan indikator klinis dan sebagainya. Berbagai indikator ini telah dijalankan oleh berbagai RS namun belum terkait langsung dengan JKN, BPJS pun belum mengintegrasikan berbagai tools tersebut kedalam program evaluasinya.
Dampak dari ketiadaan upaya perbaikan di tingkat mikro membuat adanya perilaku para klinisi yang bekerja tidak sesuai SOP. Tenaga-tenaga kesehatan ini juga menurunkan standar pelayanan yang diberikan kepada pasien akibat adanya persepsi tarif INA CBG's yang rendah. Sistem kapitasi "menciptakan" mindset tenaga kesehatan untuk "lebih rajin" merujuk pasien dan kurang giat bekerja (money oriented). Bahkan, ada juga yang sampai melakukan kecurangan dalam pelayanan kesehatan (fraud). Sepanjang tahun 2014 lalu potensi fraud layanan kesehatan sudah terdeteksi banyak terjadi di rumah sakit. Bukan tidak mungkin di tahun 2015 fraud akan semakin besar. Ini berpotensi meningkatkan biaya kesehatan dan menurunkan mutu pelayanan kesehatan.
Kegiatan-kegiatan maupun perilaku yang dilakukan oleh regulator hingga level mikro sistem berdampak secara tidak langsung kepada pasien, selaku pengguna layanan kesehatan. Boleh dikatakan saat tahun 2014, pasien merasa senang dan terbantu dengan adanya JKN ini. Mereka berbondong-bondong untuk menjadi peserta BPJS. Namun, di balik respon baik pasien untuk menjadi peserta BPJS, mereka tidak serta merta paham hak dan kewajiban sebagai peserta. Beberapa pasien BPJS diketahui diminta untuk membeli obat di luar rumah sakit, ditolak secara halus di rumah sakit dengan alasan bahwa pelayanan yang dibutuhkan tidak ditanggung BPJS, hingga benar-benar tidak dilayani di rumah sakit dengan optimal. Bila kejadian ini berlangsung terus, bukan tidak mungkin peserta akan kecewa dan tidak percaya lagi dengan sistem ini. Bahkan, bukan tidak mungkin, pasien-pasien yang paham dan proaktif dapat melakukan tuntutan kepada provider.
Menjawab Tantangan Ke depan
Seluruh pihak yang terlibat dalam pelaksanaan sektor kesehatan perlu bekerja sama untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan yang lebih baik. Mulai dari level regulator hingga level mikro untuk menjamin pelaksanaan program JKN yang lebih baik. Masing-masing pihak perlu melakukan terobosan untuk menjawab tantangan yang terjadi di tahun 2015 ini (mengisi titik-titik pada bagan 2 diatas).
Regulator perlu memperbaiki standar dan proses perijinan,, sertifikasi mutu serta keselamatan, mengembangkan sistem dan melakukan upaya pemerataan fasyankes dan SDM-nya, memberikan informasi kepada masyarakat dan media masa mengenai tingkat mutu sarana pelayanan kesehatan, mengembangkan sistem rujukan daerah, regional hingga nasional. Sistem perijinan dan akreditasi tersebut juga harus dibuktikan dapat memberikan dampak perbaikan baik ditingkat organisasi, tingkat mikro dan yang utama perbaikan pelayanan yang dirasakan oleh pasien/masyarakat.
Regulator juga perlu mengembangkan sistem anti fraud dalam pelayanan kesehatan dengan cara: penyusunan Permenkes mengenai Upaya Pencegahan, Deteksi dan Penindakan Fraud dalam JKN; mendorong penyusunan dan pengesahan Pedoman Nasional Praktek Kedokteran (PNPK) dari berbagai organisasi profesi; mendorong penyusunan dan implementasi Clinical Pathway di RS sebagai salah satu upaya efisiensi dan mencegah fraud layanan kesehatan; Blended learning anti fraud bagi Dinkes di samping bagi RS; Realisasi pembentukan lembaga anti fraud di level sarana pelayanan kesehatan, BPJS dan Kemenkes/Dinkes; mendorong penggunaan IT untuk melakukan pencegahan, deteksi, dan penindakan fraud di internal RS dan BPJS; serta membangun kemitraan dengan berbagai pihak untuk mendukung terbentuknya sistem Pencegahan, Deteksi, dan Penindakan Fraud dalam era JKN.
Pada level organisasi, perlu dipastikan penerapan clinical governance dan penerapan continium of care sebagai basis pelayanan klinis. Memastian pelayanan penunjang seperti pengelolaan SDM terkait dengan perhitungan jumlah SDM dan perhitungan remunerasi. Perhitungan secara cermat posisi keuangan RS terhadap pola INA CBGs ataupun Puskesmas dengan kapitasinya. Penggunaan IT untuk mengukur dan meningkatkan mutu pelayanan. Memastikan berbagai tools peningkatan mutu klinis dapat diterapkan di RS dan Puskesmas, seperti penerapan siklus PDSA/PDCA, FMEA, RCA, Audit Medik/Klinik, Clinical Pathways, penggunaan indikator klinis dan sebagainya.
Berbagai tools tersebut memang tidak secara langsung berpengaruh terhadap program JKN yang saat ini berjalan. Namun, dengan pemanfaatan tools ini diharapkan faskes dapat mengoptimalkan pelayanan yang diberikan kepada pasien JKN sehingga meningkatkan kepercayaan peserta terhadap program JKN ini. Selain itu, tools peningkatan mutu klinis seperti audit medik/ klinik dan clinical pathways membantu mengidentifikasi pelayanan medis yang tidak sesuai dan tidak efisien. Dengan penggunaan tools mutu ini kejadian-kejadian tidak diharapkan dalam pelaksanaan JKN dapat diminimalisir.
Terakhir, namun juga terpenting dari sisi akuntabilitas JKN adalah perlunya menetapkan indikator mutu untuk setidaknya enam dimensi mutu pelayanan kesehatan yaitu: efektif, efisien, mudah diakses, aman, tepat waktu dan mengutamakan pasien. Kemudian melakukan proses pengukuran secara periodik dan analisa serta sosialisai kepada berbagi pihak terkait.
Tim Penyusun: PKMK FK UGM
- dr. Hanevi Djasri, MARS – Kepala Divisi Manajemen Mutu
- Nusky Syaukani, S.Sos – Peneliti Divisi Manajemen Mutu
- drg. Puti Aulia Rahma, MPH – Peneliti Divisi Manajemen Mutu
- Andriani Yulianti, SE, MPH – Peneliti Divisi Manajemen Mutu
- Armiatin, SE, MPH – Peneliti Divisi Manajemen Mutu
- Eva Tirtabayu, S.Kep, MPH – Peneliti Divisi Manajemen Mutu
- Lucia Evi I, SE – Peneliti Divisi Manajemen Mutu
- dr. M. Hardhantyo Puspowardoyo – Peneliti Divisi Manajemen Mutu
- Elisa Sulistyaningrum, S.Gz, MPH, Dietisien – Peneliti Divisi Manajemen Mutu
Catatan: Apa yang telah PKMK lakukan selama ini?
Untuk mendukung perbaikan mutu pelayanan kesehatan di Indonesia, Divisi Mutu PKMK telah terlibat secara aktif dalam pengembangan, penerapan dan evaluasi berbagai upaya peningkatan mutu dalam berbagai tingkat intervensi baik regulasi, manajemen maupun tehnis.
Pada tahun 2014 Divisi Mutu PKMK terlibat dalam: Pengambangan dan penerapan sistem rujukan baik di Provinsi DKI Jakarta, DIY dan NTT; Pengembangan sistem outsourcing tenaga kesehatan melalui Program Sister Hospital di NTT; Penyusunan Pedoman Pencegahan, Deteksi, dan Penindakan Fraud di Rumah Sakit bersama BUK Kementerian Kesehatan; Menyelenggarakan berbagai blended learning (gabungan antara pelatihan konvensional dengan e-learning) anti fraud untuk peneliti dan dosen; manajer dan staf rumah sakit; serta untuk pimpinan dan staf BPJS; hingga mendampingi kegiatan identifikasi potensi fraud di RS.