Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Editorial

Menteri Kesehatan RI (dr. Nafsiah Mboi SpA, MPH) telah menetapkan Peraturan Menteri Kesehatan No 49 Tahun 2013 tentang Komite Keperawatan Rumah Sakit. Peraturan tersebut menyatakan bahwa setiap rumah sakit harus membentuk komite keperawatan. Komite keperawatan ini bukan merupakan wadah perwakilan dari staf keperawatan, melainkan organisasi non struktural dengan keanggotaan yang terdiri dari tenaga keperawatan (perawat dan bidan).

Komite Keperawatan dibentuk oleh direktur rumah sakit dan bertanggungjawab kepada direktur rumah sakit. Susunan organisasi komite Keperawatan rumah sakit terdiri dari ketua komite keperawatan, sekretaris komite keperawatan dan subkomite. Untuk subkomite terdiri dari subkomite (1) kredensial, (2) mutu profesi dan (3) etika dan disiplin profesi. Keanggotaan komite keperawatan ditetapkan oleh direktur RS dengan mempertimbangkan sikap profesional, kompetensi, pengalaman kerja, reputasi dan perilaku. Sedangkan untuk jumlah personil keanggotaan komite keperawatan disesuaikan dengan jumlah tenaga keperawatan di rumah sakit.

Wewenang Komite Keperawatan sesuai pasal 12 meliputi (1) memberikan rekomendasi rincian kewenangan klinis, (2) memberikan rekomendasi perubahan rincian kewenangan klinis, (3) memberikan rekomendasi penolakan kewenangan klinis tertentu, (4) memberikan rekomendasi surat penugasan klinis, (5) memberikan rekomendasi tindak lanjut audit keperawatan dan kebidanan, (6) memberikan rekomendasi pendidikan keperawatan dan pendidikan kebidanan berkelanjutan, dan (7) memberikan rekomendasi pendampingan dan memberikan rekomendasi pemberian tindakan disipllin.

Pendanaan

Pelaksanaan kegiatan komite keperawatan didanai dengan anggaran rumah sakit dan kepengurusan komite keperawatan berhak memperoleh insentif sesuai dengan aturan dan kebijakan rumah sakit.

Pembinaan dan Pengawasan

Sebagai bentuk peningkatan kinerja Komite Keperawatan dalam menjamin mutu pelayanan keperawatan dan kebidanan serta keselamatan pasien di rumah sakit, dilakukan pembinaan dan pengawasan terhadap komite keperawatan. Bentuk pembinaan dan pengawasan berupa (1) advokasi, sosialisasi dan bimbingan teknis; (2) pelatihan dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia, (3) monitoring dan evaluasi.

Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan komite keperawatan dilakukan oleh Menteri, Badan Pengawas Rumah sakit provinsi, dewan pengawas rumah sakit, kepala dinas kesehatan provinsi, kepala dinas kesehatan kabupaten/kota, dan perhimpunan/asosiasi perumahsakitan dengan melibatkan organisasi profesi yang terkait sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing.

Struktur Organisasi Komite Keperawatan

edi-2des

Peraturan Menteri Kesehatan No 49 tahun 2013 tentang Komite Keperawatan Rumah sakit bisa di download disini

 

Minggu lalu pada tanggal 6-9 November 2013 baru saja selesai diselenggarakan perhelatan akbar Persatuan Rumah Sakit Indonesia (PERSI) dalam bentuk Seminar XII PERSI di Jakarta. Seminar dengan tema "Kesiapan Perumahsakitan Menghadapi Implementasi Jaminan Kesehatan Nasinonal 2014: Aspek Implementasi, Pengendalian Mutu dan Biaya Rumah Sakit" diikuti oleh lebih dari 1.000 peserta dengan lebih dari 50 pembicara dalam dan luar negeri.

Nuansa optimisme untuk memperjuangkan agar pelaksanaan JKN dapat berjalan lancar terasa cukup kuat baik dari para pembicara maupun peserta, meski para pembicara dan peserta juga banyak memberikan catatan pekerjaan rumah (PR) yang harus dilakukan oleh masing-masing stakeholder kesehatan untuk mendukung pelaksanaan JKN yang akan mulai diterapkan pada Januari 2014.

Pekerjaan rumah tersebut antara lain kesiapan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dalam melakukan proses kredensialing dan menjamin mutu dan perlindungan konsumen, karena implementasi UU SJSN dan UU BPJS berpeluang untuk menimbulkan permasalahan terkait dengan peserta/masyarakat/pasien, baik terkait hubungan pemerintah, pemberi kerja, BPJS maupun dengan penyelenggara pelayanan kesehatan.

Rumah Sakit sebagai salah satu provider utama BPJS juga memiliki tugas untuk dapat menyusun strategi operasional di era universal health coverage (UHC) ini, yaitu strategi yang memiliki inti strategi pada mutu dan biaya dengan 6 langkah strategi: Mempelajari dan menganalisa tarif INA-CBGs, Memahami persepsi dari JKN terkait rujukan dan sitem pembayaran; Membangun proses pembelajaran; Mengembangkan sistem kompensasi untuk para klinisi; Membangun jejaring kerjasama dengan fasyankes lain; dan Menjaga dan memperluas "premium market"

Peran Komite Medik dalam mengendalikan mutu pelayanan medis di RS juga menjadi PR yang cukup besar, yaitu bagaimana agar komite medik di berbagai RS dapat mendorong pemerintah menerbitkan Keputusan Menteri Kesehatan tentang Pedoman Cara Penyusunan Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) dan Panduan Praktik Klinis (PPK); Mendorong pemerintah dan organisasi profesi untuk mengidentifikasi kasus-kasus untuk dijadikan PNPK; dan juga Mendorong RS membuat PPK.

Seminar juga membahas peran kolegium mengenai salah satu isu sensitif, yaitu tentang jasa medis di era JKN, bagaimana kolegium dapat memastikan bahwa mutu pelayanan kesehatan merupakan tuntutan profesi dan tidak berkaitan dengan kompensasi (sesuai kode etik dan sumpah dokter), namun juga disisi lain bagaimana agar layanan profesional dokter dibayar secara profesional dan berkeadilan sesuai amanat UU Praktik Kedokteran.

Berbagai contoh PR tersebut apabila dikerjakan dengan baik tentu dapat menjawab pertanyaan diatas, apakah RS siap menghadapi implementasi JKN 2014?, dengan jawaban "SIAP". Namun tentu hal ini juga berlaku kebalikannya, suatu hal yang tidak kita harapkan.

Berbagai perubahan telah siap menyambut kita pada tahun 2014, pemilihan umum, pemilihan presiden dan yang saat ini paling banyak dibahas dalam masyarakat kesehatan Indonesia: Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional. Meski menimbulkan banyaknya kegalauan dari berbagai pihak, terkait besarnya tarif kapitasi ataupun INA-CBG, kemungkinan melonjaknya jumlah pasien, moral hazard dan sebagainya, namun sebuah momen perubahan pasti memiliki/memberikan peluang untuk mewujudkan sebuah perbaikan.

"While all changes do not lead to improvement, all improvement requires change. The ability to develop, test, and implement changes is essential for any individual, group, or organization that wants to continuously improve. (Institute of Healthcare Improvement, 2013)". Menjaga agar perubahan tidak sekedar hanya menjadi sebuah perubahan, namun perubahan yang menghasilkan perbaikan membutuhkan upaya sungguh-sungguh untuk melakukan inovasi, uji-coba dan penerapan secara konsisten. Terlebih dalam dunia kesehatan yang sangat kompleks ini.

Forum Mutu IHQN ke 9 yang diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 19-20 November 2013 menggunakan tema "Meningkatkan Daya Saing Layanan Kesehatan Berbasis Managed Care: Melalui Penerapan Standar Mutu Internasional dan Evaluasi Mutu" bertujuan untuk mengidentifikasi dan membahas berbagai perubahan/persiapan yang perlu dilakukan untuk menjamin bahwa penerapan Jaminan Kesehatan Nasinonal benar-benar dapat meningkatkan akses masyarakat kepada pelayanan kesehatan yang bermutu, tidak sekedar meningkatkan akses namun tidak meningkatkan mutu pelayanan kesehatan.

Forum mutu akan menyajikan berbagai wawasan dan pengalaman upaya peningkatan mutu baik dari dalam dan luar negeri. Pembicara dari PT. Askes ataupun dari PT. Semen Gresik akan membahas upaya peningkatan mutu pelayanan kesehatan yang dapat difasilitasi oleh lembaga pembiayaan kesehatan termasuk perusahaan. Pembicara dari Kementerian Kesehatan RI, Dinas Kesehatan DKI, Adinkes dan PERSI akan membahas upaya regulasi yang dapat meningkatkan mutu. Pembicara dari pengelola fasilitas kesehatan seperti dari Mayo Clinic, RSCM dan Eka Hospital akan membahasnya dari sudut manajemen rumah-sakit. Pembahasan juga akan diperkuat dari FK-UGM dan FK-UNS yang akan membahas peran akademisi dalam peningkatan mutu pelayanan kesehatan.

Banyak yang dapat kita lakukan, banyak yang dapat berperan serta, mari kita bekerjasama menggunakan momen perubahan JKN untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan di Indonesia.

Catatan: klik disini untuk informasi lebih lanjut tentang forum mutu

63 tahun lalu tepatnya 24 Oktober 1950, berdirilah organisasi profesi dokter satu-satunya di Indonesia yang kita kenal dengan nama Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Sehingga setiap tanggal 24 Oktober, Indonesia memperingati Hari Dokter Nasional. Peringatan tahun ini diwarnai dengan diperolehnya Rekor Dunia oleh 1.061 dokter yang bermain angklung bersama di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung. Namun ada juga yang memperingati Hari Dokter Nasional dengan berdemo menyuarakan isi hati para dokter mengenai rendahnya tunjangan di daerah pelosok.

Masih jelas dalam ingatan kita di akhir September lalu, publik di kagetkan dengan prakteknya dokter spesialis asing di sebuah rumah sakit pemerintah di Tangerang selatan. Sehingga membuat PB IDI menyatakan akan membentuk Satgas Penertiban Praktek Kedokteran Dokter Asing atau SP2KDA. Apakah dengan melakukan hal tersebut adalah bentuk "kuratif" pada tidak akan datang lagi nya dokter asing ke Indonesia?

Selain pemberitaan dokter asing, pemberitaan di media pun masih dalam kasus yang sama yaitu memberitakan mengenai kurangnya dokter di daerah dan insentif dokter yang rendah di daerah terpencil. Belum lagi di Era SJSN tahun 2014, pelayanan kesehatan akan berpindah dari kuratif menjadi promotif dan preventif sehingga menjadi tantangan bagi dokter karena di mindset masyarakat, dokter bertugas untuk menyembuhkan pasien. Sehingga perlu adanya pengenalan pada masyarakat mengenai dokter keluarga / dokter layanan primer. Selain itu, salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mencegah datangnya dokter asing adalah memperbaiki pendidikan kedokteran mulai dari kurikulum dan tenaga pengajarnya. Karena untuk menghasilkan mahasiswa kedokteran yang bermutu, dunia pendidikan kedokteran haruslah memiliki tenaga pengajar yang memiliki kapasitas yang baik sebagai pengajar.