Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Editorial

Tidak ada satupun dokter atau petugas kesehatan lainnya yang ingin pasiennya celaka. Oleh karena itu, keselamatan pasien menjadi isu penting dan terus menerus disosialisasikan dalam lingkungan fasilitas kesehatan. Berbagai metode dan pendekatan diciptakan dan terus-menerus disempurnakan untuk mencapai titik terendah angka kejadian tak diinginkan yang masih mungkin untuk dicapai. Penggunaan teknologi dan sistem keselamatan dimaksimalkan untuk meningkatkan outcome pelayanan. Bagaimanapun juga, hambatan untuk melaksanakan pelayanan yang safe justru ada pada para klinisi yang berinteraksi dengan pasien selama mereka dirawat di RS. Hal ini disampaikan oleh Linda Butler, MD, Chief Medical Officer di Rex Hospital, Raleigh.

Kerjasama antara Patient Safety Movement Foundation dengan The Joint Commission Center for Transforming Healthcare telah menghasilkan daftar isu terpenting terkait keselamatan pasien yang harus diwaspadai di tahun 2014 mendatang, sebagaimana dilansir pada laman www.beckershospitalreview.com Susunan daftar ini tidak menunjukkan urutan kepentingan isu yang bersangkutan.

  1. Infeksi yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan
    Menurut pusat pengendalian dan pencegahan penyakit, 5% dari seluruh pasien rawat inap mengalami ini. Menurut The Association for Healthcare Research and Quality, biaya rata-rata yang ditimbulkannya mencapai puluhan ribu dolar. Kesulitan menurunkan angka infeksi ini antara lain adalah karena meningkatkan resistensi terhadap berbagai obat (multi-drugs), yang salah satunya merupakan kontribusi dari peresepan dan penggunaan antibiotik yang kurang terkendali. Diperlukan solusi jangka panjang untuk mengendalikan multi-drug resistance.

  2. Komplikasi operasi
    Meskipun kejadian tertinggalnya benda asing dalam tubuh pasca operasi, serta operasi salah sisi atau salah orang sangat jarang terjadi, namun fatal sekali bila betul-betul terjadi. Salahsatu cara menghindari benda tertinggal adalah menghitung seluruh peralatan yang digunakan sebelum dan sesudah operasi. Adanya perencanaan dan perhatian yang baik dari semua anggota tim bedah saat ini dipandang sebagai satu-satunya solusi terbaik untuk menurunkan komplikasi pasca operasi.

  3. Komunikasi handoff
    Handoff yang dilakukan dengan buruk akan menghasilkan error mayor maupun minor, yang berdampak pada meningkatnya LOS dan biaya. Menurut The Joint Commission, sejak awal data mengenai ini dikumpulkan di tahun 1990-an, isu ini telah menjadi akar penyebab utama malpraktik yang berakhir ke ranah hokum. Memperbaiki sistem komunikasi perlu ditunjang oleh budaya safety yang kuat dan hubungan kerja yang baik.

  4. Diagnosis
    Diagnosis yang tidak tepat dapat berakibat fatal bagi pasien, sebaik apapun tindakan medis dilakukan. Kejadian salah diagnosis paling sering terjadi pada congenital heart disease dan sepsis, yang berakibat fatal karena pasien sulit diselamatkan jika terlambat dideteksi. Perlu ada perbaikan cara mendiagnosis untuk mengurangi kesalahan ini.

  5. Medication errors
    Meningkatnya angka komorbiditas menyebabkan pasien perlu mengkonsumsi obat lebih banyak dibandingkan dengan satu dekade lalu. Ini tentu saja meningkatkan risiko terjadinya efek samping obat yang buruk. Oleh karena itu, penting untuk mengetahui dengan detil riwayat pengobatan pasien, proses rekonsiliasi saat pasien ditransisi (dari RS ke rumah, misalnya) serta edukasi pasien untuk mengurangi risiko ini.

  6. Kegagalan menerapkan budaya keselamatan
    Budaya keselamat pasien yang kuat akan memberi peluang terdeteksinya dan dianalisisnya kesalahan lebih dini dan penyebab masalah diselesaikan sampai ke akarnya. Sayangnya masih sangat banyak klinisi yang lebih suka tidak melaporkan kejadian tidak diinginkan. Model yang disarankan oleh The Joint Commission meliputi empat langkah, yaitu: merencanakan perubahan, menginspirasi orang-orang untuk berubah, mensosialisasikan framework dan mendukung perubahan pada saat dimulai maupun setelahnya.

  7. Ketiadaan interoperabilitas
    Interoperabilitas adalah kapabilitas dari suatu produk atau sistem yang antar-mukanya diungkapkan sepenuhnya untuk berinteraksi dan berfungsi dnegan produk atau sistem lain, kini atau dimasa mendatang, tanpa batasan akses atau implementasi (http://interoperability-definition.info/id/). Definisi ini lebih mudah dipahami melalui gambar berikut.


    Sumber: http://interoperability-definition.info/id/

    Dalam hal ini, penerapan rekam medis elektronik yang canggih namun belum sempurna untuk menghindari terjadinya kesalahan. Salah satu penyebabnya adalah karena antar-vendor tidak saling berkomunikasi sehingga sulit untuk melakukan data-sharing antar sistem yang dikembangkan oleh vendor yang berbeda. Padahal, jika ada interoperabilitas yang tuntas, akan menghemat anggaran hingga USD 30 miliar setahun. Karena kebutuhan untuk data-sharing semakin meningkat, saat ini banyak vendor yang mulai melakukan investasi pada platform yang memungkinkan terjadinya interoperabilitas yang lebih baik.

  8. Pasien jatuh
    Kejadian pasien jatuh sering dialami oleh pasien lansia, meskipun pasien pada usia yang lebih muda juga berisiko terhadap hal ini. Untuk mengurangi kejadian ini, perlu ada screening pasien yang berisiko jatuh, misalnya pasien demensia, tekanan darah rendah atau yang mobilitasnya sudah berkurang. Seringkali keputusan investasi terkait hal ini dilematis; disatu sisi mengurangi jumlah perawat untuk menghemat anggaran agar bisa dialokasikan di tempat lain, namun ini berarti mengurangi pengawasan pada pasien yang dapat meningkatkan risiko safety, salah satunya adalah pasien jatuh.

  9. Adanya pilihan terapi yang lebih baik
    Sering kali penggunaan pemeriksaan atau obat-obatan yang berlebihan menjadi pangkal dari masalah keselamatan pasien. Contoh paling mudah dan banyak terjadi akhir-akhir ini adalah penggunaan produk darah yang berlebihan. Pilihan terapi yang lebih baik berpotensi untuk mengurangi harm pada pasien dan juga mengurangi biaya yang harus dikeluarkan oleh rumah sakit dalam merawat pasien.

  10. Tanda kelelahan
    Menurut The Joint Commission, 85-99% dari sinyal alarm (pada tubuh pasien) tidak memerlukan intervensi klinis. Namun, antara Januari 2009 hingga Juni 2012 komisi ini mencatat setidaknya 98 sentinel events terkait dengan kelelahan dalam mengamati alarm pasien, dan 80 diantaranya berakhir dengan kematian pasien. Menurut The Joint Commission, membuat guideline untuk untuk menyesuaikan settingan alarm dapat mengurangi masalah ini.

Sebenarnya RS secara alamiah selalu berupaya untuk mengingkatkan keselamatan pasien. Namun kenyataan berkata lain, dimana kematian pasien yang sebenarnya dapat dicegah justru meningkat. Patient Safety Movement Foundation menemukan bahwa para klinisi dan pihak lain dalam komunitas pelayanan kesehatan sering mengingkari kenyataan bahwa medical error adalah bagian dari praktek kedokteran. Perbaikan keselamatan pasien berarti menciptakan budaya keselamatan diseluruh bagian organisasi, membangun komitmen yang terukur, menciptakan solusi dan membagikan kesuksesan.

Bagaimana dengan rumah sakit anda? Isu-isu keselamatan pasien apa yang perlu mendapat perhatian di tahun 2014 ini?

Penulis : Ni Luh Putu Eka, SKM., Mkes.

Pada tanggal 1 januari 2014, pelaksanaan UU SJSN dan BPJS akan dimulai. Dan Kebijakan ini merupakan hal yang sangat besar dalam sejarah sistem pelayanan kesehatan di Indonesia. Harapannya akan terjadi peningkatan status kesehatan masyarakat. Lalu apakah setiap kebijakan akan selalu meningkatkan status kesehatan masyarakat? Jawabannya mungkin tidak. Pengalaman dengan kebijakan jampersal untuk mengurangi kematian ibu sampai sekarang AKI masih meningkat. Dan kita tidak tahu persis alasan terjadinya peningkatan. Hal ini dikarenakan tidak mempunyai sistem monitoring kebijakan. Oleh karena itu, diperlukan penelitian terhadap kebijakan UU SJSN dan kebijakan UU BPJS.

Tujuan diadakannya penelitian ini adalah untuk melihat apakah kebijakan ini benar atau kurang benar atau mungkin keliru? Dan bagaimana pelaksanaan kebijakan ini?

Diharapkan yang dapat melakukan penelitian monitoring kebijakan UU SJSN dan UU BPJS adalah peneliti, staf dan dosen perguruan tinggi. Mengapa demikian? Dalam konteks BPJS, perguruan tinggi mempunyai SDM yang cukup meliputi ahli ilmu kedokteran, ilmu kesehatan masyarakat, ilmu sosial dan ilmu ekonomi yang sangat diperlukan untuk monitoring dan evaluasi kebijakan ini.

Manfaat untuk perguruan tinggi adalah tidak hanya menjadi penonton melainkan dapat berperan aktif untuk membantu mengembangkan kebijakan yang sangat mulia ini. Selain itu, perguruan tinggi dapat belajar dari pengalaman di lapangan untuk perbaikan kurikulum pendidikan bagi para profesional di masa yang akan datang.

Untuk sumber dana riset kebijakan, dalam jangka pendek bisa dengan mencari dan memobilisasi dana yang ada di tiap perguruan tinggi dan diberbagai sumber yang bisa dipergunakan segera karena 1 Januari 2014, penelitian ini akan berjalan. Sedangkan dalam jangka menengah & panjang, akan dialokasikan anggaran dari dana BPJS untuk komponen monitoring dan evaluasi yang dikerjakan oleh tim independen.

Oleh karena itu, prof. dr. Laksono Trisnantoro M.Sc, Ph.D (Dosen & Peneliti Pusat Kebijakan Manajemn Kesehatan FK UGM) mengajak seluruh peneliti dan dosen perguruan tinggi yang berniat untuk bergabung bersama dalam penelitian monitoring kebijakan UU SJSN dan BPJS di Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia. Untuk Proposal penelitian bisa diakses di link berikut :

http://manajemen-pembiayaankesehatan.net/index.php/component/content/article/93-pjj-monev-bpjs/1067-program-pelatihan-jarak-jauh-monev-bpjs-2014 

Pemenjaraan "dr. A" akibat meninggalnya pasien yang ditanganinya, tak pelak membawa kekhawatiran tersendiri bagi tenaga kesehatan khususnya dokter. Bagaimana tidak, dari fenomena ini, dokter seolah-olah dituntut untuk tidak boleh "gagal" dalam menangani pasien. Padahal sesungguhnya kewajiban dokter sebatas memberi upaya penyelamatan, bukan memastikan kesembuhan atau kehidupan pasien. Respon dari kondisi ini, dokter atau beberapa organisasi profesi kedokteran sudah mulai melakukan upaya-upaya "perlindungan diri".

Upaya perlindungan diri yang cukup ekstrim adalah menarik dokter-dokter dari daerah tempatnya bertugas saat ini. Dituturkan ketua PB POGI, dr. Nurdadi, Sp.OG, dalam Diskusi Lintas Ilmu yang diselenggarakan di FK UGM, saat ini POGI akan menarik residen obgin di daerah Batam. Senada dengan Nurdadi, dr. Bhirowo, Sp.An dari SMF Anestesi RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta mengatakan bahwa semua residen anestesi dari RSUP Dr. Sardjito akan ditarik dari daerah terpencil.

Penarikan dokter-dokter residen dari daerah terpencil ini dirasa mengkhawatirkan. "Ini bahaya untuk rumah sakit di daerah terpencil," tutur direktur RSUD Bajawa, Bajawa, NTT, drg. Mercy Betu, MPH yang turut hadir dalam acara Diskusi Lintas Ilmu. Selain itu, dalam era BPJS yang akan berlangsung dalam hitungan hari, keberadaan dokter ahli hingga ke daerah terpencil sangat dibutuhkan. Bila tidak ada dokter ahli di daerah terpencil di Indonesia, maka masyarakat Indonesia di daerah terpencil tidak akan mendapat pelayanan yang layak.

Menanggapi hal ini, Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M. Sc, Ph.D, mengatakan agar dokter tidak perlu takut. "Mohon jangan ditarik semua residen tapi kita bisa bikin benteng-benteng untuk mencegah residen terkena kasus hukum." Benteng-benteng yang dimaksud Laksono adalah aspek legal dalam pelaksanaan praktek kedokteran seperti adanya SIP. Menurut Laksono, sebenarnya kasus "dr. A" ini susah sekali untuk lepas dari kasus pidana. "Tapi yang penting jangan sampai kita tarik semua karena bahaya bagi masyarakat Indonesia. Banyak ibu-ibu yang bisa mati. Laksono berharap, jangan sampai karena satu kasus, semua pelayanan berhenti dan malah akan meningkatkan kematian ibu dan bayi. "Ini merupakan tanggung jawab kita bersama. Masalah ini mohon disikapi sebagaimana mestinya," tutup Laksono.

Penulis : drg. Puti Aulia Rahma, MPH

Dalam acara pelatihan jarak jauh mengenai perbaikan proposal penelitian Monev Jaminan Kesehatan Nasional yang dilaksanakan pada 6 desember 2013 di IKM FK UGM, Dr. drg. Julita Hendrartini, MKes, AAK menjelaskan bahwa kementerian kesehatan akan mengaktifkan kembali safeguarding dibawah P2JK (Pusat Pembiayaan Jaminan Kesehatan). Beliau menambahkan bahwa terdapat bukti evidence dari penelitian mahasiswa S2 IKM FK UGM bahwa safeguarding yang dibuat oleh kemenkes beberapa tahun lalu, gagal. Direktur umum, SDM, Akademik & Riset RSA UGM ini mememberi masukan bahwa bila suatu daerah sudah memiliki jamkesda secara otomatis daerah tersebut akan melakukan monitoring dan evaluasi kecuali daerah yang belum ada jamkesdanya. Selain itu, monitoring dan evaluasi dari beberapa program seperti jamkesmas dan jampersal sudah dilaksanakan terintegrasi dengan jamkesda. Sehingga Dr. Julita pesimis dengan diaktifkannya safeguarding.

Tim Safeguarding adalah tim yang terdiri dari unsur pengarah dan tim teknis serta sekretariat safeguarding yang bertugas untuk menjaga dan menjamin kelancaran pelaksanaan program jaminan kesehatan bagi masyarakat miskin di kabupaten/kota (Depkes, 2006). Pengarah program jaminan kesehatan bagi masyarakat miskin adalah kepala dinas kesehatan kabupaten/kota. Sedangkan tim teknis diketuai oleh kepala subdin/bidang dinas kesehatan kabupaten/kota yang membidangi pembiayaan dan jaminan kesehatan atau pejabat yang ditunjuk oleh kepala dinas. Anggota tim teknis terdiri dari pejabat eselon III dan IV dari subdin dan pengelola program terkait dalam penyelenggaraan askeskin. Untuk membantu kelancaran pelaksanaan tugasnya, tim teknis dibantu oleh sekretariat tim safeguarding.

Tugas tim safeguarding kabupaten/kota adalah merencanakan dan melaksanakan kegiatan yang berkaitan dengan sosialisasi dan penyuluhan, memantau, membina dan evaluasi program, menerima pengaduan masyarakat serta mengelola laporan dari rumah sakit kabupaten/kota dan puskesmas. Untuk menjalankan kegiatan tersebut, tim safeguarding mendapat dana dari dana safeguarding dekonsentrasi (depkes, 2006).

Evaluasi Pelaksanaan Safeguarding

Pada tahun 2007 & 2008, mahasiswa S2 IKM FK UGM melakukan penelitian mengenai evaluasi pelaksanaan kebijakan safeguarding di Provinsi Kalimantan tengah dan Provinsi Jambi. Hasil penelitian menjelaskan bahwa tugas tim safeguarding yang dilaksanakan hanya melakukan sosialisasi dan penyuluhan program askeskin.
Kegiatan tim safeguarding belum berjalan dengan baik karena (1) SDM yang belum memadai, (2) tugas rangkap dari tim safeguarding, (3) belum adanya modul teknik sosialisasi dan penyuluhan program askeskin tingkat kabupaten, (4) dana yang belum memadai.

Kegiatan

Provinsi Kalimantan Tengah Tahun 2007

Provinsi Jambi Tahun 2008

Keterangan

SDM Tim Safeguarding

13 orang

5 orang

 

Sosialisasi dan penyuluhan program askeskin

Dilakukan satu kali ke seluruh kepala puskesmas dan bendaharawan PJKMM puskesmas

Dilakukan satu kali di tingkat kabupaten dengan peserta seluruh kepala puskesmas

Sosialisasi kepada masyarakat dibebankan kepada puskesmas (Menurut PJKMM)

Membina & Evaluasi program

  • Belum melakukan pemantauan langsung ke Puskesmas melainkan dilakukan dengan evaluasi laporan bulanan dari puskesmas.
  • Pembinaan ke puskesmas dengan diskusi mengenai upaya mengatasi hambatan-hambatan pelaksanaan PJKMM di puskesmas.
  • Belum pernah dilaksanakan pemantauan, hanya bersifat peninjauan dan bukan berupa kegiatan sosialisasi program serta mengevaluasi program dan dilakukan setahun sekali. 
 

Menerima pengaduan masyarakat miskin

Tidak ada pengaduan dari masyarakat miskin

Tidak ada laporan pengaduan masyarakat  miskin yang disampaikan ke dinkes

Faktor tidak adanya pengaduan masyarakat karena puskesmas dan rumah sakit tidak mempunyai kotak saran.

Mengelola laporan dari rumah sakit dan puskesmas

Setiap puskesmas setiap bulan melaporkan pada tim safeguarding berkaitan dengan tingkat utilisasi dan penggunaan dana PJKMM kegiatan pelayanan gakin. Dan menerima laporan dari RSUD Kasongan.

Pencatatan dan pelaporan : laporan program askeskin dari rumah sakit dan puskesmas yang dikirimkan ke dinas kesehatan sering terlambat

 

Jadwal kerja

Tidak di teliti

Tidak memiliki karena Tim tidak memahami tugas dan fungsi safeguarding

 

Daftar Pustaka :
Depkes. 2006. Pedoman Pelaksanaan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Miskin
M.Ridwan. 2008. Evaluasi Pelaksanaan Kebijakan Safeguarding Program Jaminan Kesehatan Masyarakat Miskin Kajian di Kabupaten Tebo Provinsi Jambi. Universitas Gadjah Mada. Tesis. Yogyakarta
Parluhutan. 2007. Implementasi Kebijakan Safeguarding di Kabupaten Katingan Provinsi Kalimantan Tengah. Universitas Gadjah Mada. Tesis. Yogyakarta