Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Editorial

Minggu lalu, pelaksanaan Sistem Jaminan Kesehatan Nasional (SJSN) telah memasuki 100 hari dan mutu pelayanan kesehatan menjadi sorotan berbagai pihak. Kendali mutu pelayanan dirasakan harus diperbaiki agar masyarakat mendapat pelayanan yang prima. Masalah yang masih menjadi kendala adalah sebaran peserta terdaftar di fasilitas pelayanan kesehatan primer belum merata. Masih ada puskesmas atau klinik yang pesertanya banyak, sementara tenaga dokternya hanya satu. Ada pula puskesmas yang pesertanya sangat sedikit. Hal ini akan sangat mempengaruhi mutu layanan yang diterima peserta (Kompas.com)

Escape Velocity menjadi salah satu pendekatan yang digunakan oleh Institute for Healthcare Improvement (IHI) untuk mencapai 10x lipat peningkatan mutu melalui penetapan standar tertinggi dan bertekad bulat untuk mencapainya. Salah satunya yang dilakukan  IHI yaitu mendorong bergesernya anggaran kesehatan ke pelayanan kesehatan primer sebesar 20% pada tahun 2020.

Apabila di Indonesia ingin mencapai 10x lipat peningkatan mutu maka perlu ditetapkan lompatan mutu pelayanan kesehatan yang diinginkan dan standar tertinggi yang ingin dicapai misalnya membuat seluruh masyarakat di Indonesia terjamin aksesnya di pelayanan kesehatan primer, sekunder dan tersier. Untuk mengetahui masyarakat di Indonesia telah terjamin aksesnya, pasien perlu dilibatkan salah satunya melalui survey kepuasan pasien.

Survey kepuasan pasien menjadi salah satu cara pengukuran kinerja dari suatu layanan kesehatan sehingga peningkatan mutu bisa tercapai. Dengan peningkatan mutu otomatis akan menurunkan biaya (yang tidak perlu).

Di tengah hiruk pikuk kampanye partai politik, media nasional dikejutkan adanya penculikan bayi di salah satu RS di Jawa Barat.Walaupun akhirnya bayi bisa ditemukan dan penculik dapat tertangkap, kejadian ini selayaknya tidak terjadi di RS manapun di Indonesia.

Kejadian ini harus menjadi pelajaran bagi RS di seluruh Indonesia, bahwa penculikan bayi dapat terjadi di RS. Oleh karena itu perlu dilakukan langkah langkah untuk mencegah hal ini terjadi dan menetapkan sebuah prosedur yang terstruktur jika penculikan terlanjur terjadi.

Tindakan pencegahan yang dapat diterapkan sebenarnya cukup sederhana, tidak selalu memerlukan biaya yang tinggi untuk pengadaan CCTV atau penggunaan access control pada setiap pintu ruangan perawatan. Tindakan pencegahan minimal adalah dengan edukasi kepada pasien dan keluarga serta meningkatan komitmen seluruh pegawai dalam menggunakan kartu identitas pegawai.

Edukasi yang diberikan kepada keluarga adalah edukasi tentang identitas pegawai RS, prosedur rawat gabung bayi dan prosedur serah terima bayi dari keluarga dengan petugas kesehatan. Berdasarkan hal tersebut maka identitas pegawai yang jelas sangat penting dalam tindakan pencegahan ini. Disinilah perlunya komitmen seluruh pegawai RS untuk selalu menggunakan Kartu Identitas Pegawai sesuai kebijakan RS. (Hendra Firmansyah, Pusat Jantung Terpadu RSCM)

Kondisi sehat yang dialami manusia tidak semata-mata terkait dengan apa yang terjadi di dalam tubuh manusia. Faktor-faktor di luar tubuh, seperti faktor sosial juga berperan penting terhadap kesehatan manusia. Faktor-faktor sosial yang mempengaruhi kesehatan manusia dikenal dengan istilah social determinants of health (SDH). Social determinants of health, menurut WHO, adalah kondisi sosial yang mempengaruhi kesempatan seseorang untuk memperoleh kesehatan. Faktor-faktor seperti kemiskinan, kekurangan pangan, ketimpangan sosial dan diskriminasi, kondisi masa kanak-kanak yang tidak sehat, serta rendahnya status pekerjaan merupakan penentu penting dari terjadinya penyakit, kematian, dan ketidakseimbangan kesehatan antar maupun di dalam sebuah negara.

Social determinants of health memang tidak secara langsung mempengaruhi kesehatan manusia, seperti bakteri atau virus menyebabkan penyakit pada manusia. Kondisi-kondisi sosial yang dialami seseorang berdampak pada kesempatan orang tersebut untuk mendapatkan kondisi sehat. Sebagai contoh, masyarakat yang hidup di daerah-daerah terpencil di Indonesia mengalami kesulitan untuk mendapatkan layanan kesehatan karena kondisi jalan buruk dan tidak ada sarana transportasi yang memadai untuk menuju fasilitas kesehatan. Kelompok masyarakat yang hidup di daerah terpencil lainnya bahkan mengalami kesulitan mendapat layanan kesehatan karena tidak tersedianya fasilitas kesehatan disekitar tempat tinggal mereka. Kedua kelompok masyarakat ini merupakan kelompok masyarakat yang kurang beruntung untuk mendapat kondisi sehat. Kelompok lainnya adalah kelompok masyarakat yang tinggal di kota-kota besar dengan jumlah pendapatan tinggi. Kelompok masyarakat ini sangat leluasa untuk memilih layanan kesehatan yang mereka inginkan. Mereka dapat juga melakukan "doctor shopping" atau "belanja dokter", memilih dokter spesialis atau dokter terbaik, untuk menangani sakit yang mereka derita. Kelompok masyarakat ini sangat beruntung dan leluasa sekali untuk mendapat kondisi sehat.

Ketimpangan dalam kesempatan memperoleh kondisi sehat adalah fokus utama dalam pembelajaran maupun penelitian terkait SDH ini. Sayangnya, wawasan terkait SDH ini masih belum secara luas dan dalam dipahami oleh peneliti dan pemangku kebijakan di Indonesia. Sebabnya, dalam penelitian yang telah dilakukan oleh Dwijo Susilo, dkk., saat ini belum ada kursus khusus terkait SDH yang tersedia walaupun topik SDH sudah dimasukkan ke dalam pelatihan-pelatihan yang diselenggarakan di sekolah-sekolah kesehatan masyarakat.

Wawasan terkait SDH ini sangat penting untuk dipahami di Indonesia, terutama dalam era BPJS ini. Penelitian-penelitian dengan topik SDH juga perlu digalakkan di Indonesia sehingga kita dapat memiliki data yang memadai terkait ketimpangan sosial untuk mendapatkan kesehatan yang terjadi di masyarakat. Bila sudah memiliki data yang lengkap dan akurat tentang kondisi sosial terkait kesehatan yang ada di Indonesia, bukan tidak mungkin intervensi yang dilakukan oleh pemerintah akan lebih tepat sasaran dan memberi dampak optimal.

Indikator mutu keperawatan di Indonesia sampai saat ini belum secara resmi ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan, namun beberapa indikator mutu keperawatan telah disusun dalam bentuk drafT sebagai Pedoman Indikator Mutu Pelayanan Keperawatan Klinik di Sarana Kesehatan yang sebenarnya telah mulai disusun sejak tahun 2008 oleh Kementerian Kesehatan. Paling tidak rancangan indikator pelayanan keperawatan tersebut meliputi enam indikator mutu yaitu: (1) Keselamatan pasien yang meliputi dekubitus, kejadian jatuh, kesalahan pemberian obat dan cidera akibat restrain, (2) Kenyamanan, (3) Pengetahuan, (4) Kepuasan pasien, (5) Self care dan (6) Kecemasan.

Keenam jenis indikator mutu tersebut merupakan outcome dari pelayanan keperawatan, yang sudah dirancang oleh Kementerian Kesehatan, namun karena perbedaan sifat pelayanan, maka diperlukan penyesuaian di tingkat rumah sakit. Hingga saat ini, belum ditetapkan sistem pelaporan yang diatur di tingkat rumah sakit maupun tingkat nasional sehingga pengumpulan data indikator mutu pelayanan keperawatan tidak dapat dilakukan dengan baik.

Berkaca pada pengalaman di negara maju seperti Amerika, mereka membentuk National Quality Forum (NQF) sejak tahun 2004 yang kemudian telah meNetapkan 15 standar nasional untuk digunakan dalam mengevaluasi asuhan keperawatan. Standar-standar tersebut dikenal sebagai 15 NQF. Mereka juga memiliki sistem database keperawatan nasional yaitu The National Database of Nursing Quality Indicators (NDNQI) yang memberikan laporan per triwulan dan tahunan meliputi indikator struktur, proses, dan hasil untuk mengevaluasi asuhan keperawatan pada tingkat unit (Kurtzman & Corrigan, 2007 cit. Montalvo, 2007).

Pelayanan keperawatan merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan di rumah sakit yang harus menjaga mutu pelayanan kesehatan secara umum. Pelayanan keperawatan sering dijadikan tolak ukur citra pelayanan sebuah rumah sakit di mata masyarakat, sehingga menuntut adanya indikator mutu pelayanan keperawatan yang jelas di rumah sakit. Hal tersebut yang menjadi dasar kuat untuk mengatakan bahwa indikator mutu keperawatan menjadi hal yang mutlak harus ada dan diimplementasikan di rumah sakit.