Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Editorial

Dalam kehidupan, manusia dihadapkan pada banyak pilihan, dimana setiap pilihan tersebut mengandung arti yang berbeda-beda. Jika tujuannya berbeda-beda, tentu hasilnya akan berbeda-beda pula. Pengharapan manusia selalu bisa berada pada tingkat perubahan yaitu kemajuan. Namun untuk mendapatkan kemajuan itu tentunya bukanlah suatu cara yang mudah dan sederhana, semua itu harus dilalui dengan segala proses dan tahap demi tahap. Disinilah akan terlihat bagaimana proses tersebut berlangsung, apakah berjalan berdasarkan aturan atau menyalahi aturan yang berlaku misalnya dengan timbulnya suatu fraud (kecurangan yang disengaja).

Dari segi bisnis, segala sesuatu tindakan yang bersifat fraud bisa dikategorikan sebagai pelanggaran etika. Begitu pula dari segi hukum. Sesuatu bisa menjadi suatu bentuk korupsi bila fraud dilakukan oleh suatu intitusi pemerintah yang memiliki kewenangan.

Awal Februari 2014 lalu, media elektronik & media cetak digemparkan oleh pemberitaan mengenai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan mengincar ke program terbaru pemerintah yang dicanangkan pada Januari 2014 yaitu Jaminan Kesehatan Nasional. Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).

Dana Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang nilainya sekitar Rp 40 triliun berpotensi menimbulkan  fraud di BPJS diantaranya terjadi tumpang tindih pengawasan jaminan sosial. Akan ada lima titik potensi fraud yaitu investasi dana BPJS, investasi dana jaminan sosial, potensi korupsi saat pengalihan aset, potensi korupsi penggunaan dana operaisional dan potensi korupsi saat pembayaran di fasilitas kesehatan.

Untuk mencegah agar tidak terjadi fraud, Indonesia perlu melakukan suatu strategi. Ketua BPJS mengatakan BPJS Kesehatan sudah memiliki satuan pengawas internal untuk mencegah terjadinya penyimpangan dalam penyelenggaraan jaminan kesehatan nasional.

Dalam konsep keilmuan digariskan bahwa sebuah tindak kejahatan dalam skala yang kecil akan perlahan menjadi besar pada saat orang mulai melihat itu sebagai bagian pencarian nilai tambah yang wajar dan itu terjadi tanpa ada yang bisa mengungkapnya. Perbuatan kecurangan itu akan terus berlangsung dengan aman kecuali ada kontrol dan tindakan tegas dari pimpinan. Maka dari itu bentuk kecurangan atau tanda-tanda timbulnya fraud akan dapat diminimalisir dengan cara menerapkan sebuah sistem pengendalian intern yang kuat, dimana diberikan bentuk-bentuk penjelasan secara komprehensif kepada para karyawan tentang bagaimana pentingnya penerapan sistem pengendalian intern guna menemukan atau menghindari timbulnya kecurangan-kecurangan.

Harapannya, Indonesia bisa belajar dari Amerika Serikat karena Amerika Serikat saja yang memiliki program seperti BPJS, dimana telah ditemukan penyalahgunaan dana mencapai 10 persen atau 4,2 miliar dolar AS.

Risiko yang dialami oleh BPJS karena faktor terjadinya tindakan fraud atau kecurangan yang disengaja, dapat bersifat meteri dan non materi. Kerugian materi bisa diukur dari segi nilai finansial, sedangkan kerugian non material menyangkut menurunnya kepercayaan publik terhadap BPJS.

Pada hari Selasa lalu KPK memaparkan hasil kajian mengenai Sistem Jaminan Kesehatan Nasional di Gedung KPK Jakarta. Acara ini dihadiri oleh Wakil Ketua KPK Adnan Pandu Pradja dan Zulkarnain, Wakil Menteri Kesehatan Ali Ghufron Mukti, Direktur Utama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Fahmi Idris, Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Firdaus Djaelani, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Andin Hadiyanto dan Direktur Keuangan BPJS Kesehatan Riduan.

Kajian yang dilakukan pada Agustus-Desember 2013 ini dilakukan dengan metode prospective analysis. Hasilnya, KPK menemukan potensi masalah dalam pelaksanaan BPJS, yakni pertama, adanya konflik kepentingan dalam penyusunan anggaran dan rangkap jabatan. Penyusunan anggaran BPJS disusun Direksi BPJS dan disetujui Dewan Pengawas tanpa ada keterlibatan pemerintah dan pihak eksternal. Sedangkan anggaran Dewan Pengawas berasal dari anggaran BPJS juga.

Oleh karena itu, KPK merekomendasikan untuk merevisi UU 24/2011 dan melibatkan pihak eksternal dalam persetujuan dan pengelolaan dana operasional BPJS. Selain itu, KPK juga meminta pemerintah segera mengangkat Dewan Pengawas dan Direksi BPJS yang bersedia untuk tidak rangkap jabatan.

Kedua, perihal adanya potensi kecurangan (fraud) dalam pelayanan. Rumah sakit berpotensi menaikkan klasifikasi atau diagnosis penyakit dari yang seharusnya (upcoding) dan atau memecah tagihan untuk memperbesar nilai penggantian (unbundling). Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh klaim lebih besar dari yang seharusnya dibayarkan BPJS.

Atas temuan ini, KPK mengimbau agar program dilaksanakan dengan prinsip clean and good governance serta berhati-hati dalam pengelolaan anggaran agar mengedepankan kemanfaatan yang besar bagi masyarakat.

Ketiga, terkait pengawasan yang masih lemah. Pengawasan internal tidak mengantisipasi melonjaknya jumlah peserta BPJS yang dikelola, dari 20 juta (dulu dikelola PT Askes), hingga lebih dari 111 juta peserta. Seharusnya ruang lingkup yang beribah perlu diiringi dengan perubahan sistem dan pola pengawasan agar tidak terjadi korupsi. Sedangkan pengawasan eksternal, KPK melihat adanya ketidakjelasan area pengawasan. Saat ini, ada tiga lembaga yang mengawasi BPJS, yakni DJSN, OJK dan BPK. Namun substansi pengawasannya belum jelas.

Rekomendasi KPK menunjukkan bahwa pengawasan publik juga diperlukan. Oleh karena itu, KPK meminta agar CSO dan akademisi dilibatkan dalam pengawasan JKN. Sistem teknologi informasi juga perlu diperkuat.

Atas temuan potensi korupsi, Direktur Utama BPJS Fahmi Idris menyatakan siap bekerja sama lebih jauh dengan KPK, termasuk sosialisasi potensi korupsi kepada seluruh jajarannya. Peran pencegahan itu, juga harus diperkuat dengan pengawasan. Fahmi setuju bila ada usulan revisi UU No. 24/2011 tentang BPJS agar ada kejelasan peran pengawas eksternal secara substansi. "Kami memang memerlukan pengawas pihak ketiga agar jangan sampai ada masalah di kemudian hari."

Namun begitu, ia juga menekankan bahwa sebagai lembaga baru, BPJS memiliki sistem baru. Karena itu butuh sosialisasi dan penyadaran kepada pihak terkait, termasuk Puskesmas dan rumah sakit yang memberikan layanan kepada masyarakat. "Jangan ada yang coba-coba merekayasa diagnosis utama dan tambahan untuk mendapatkan klaim yang lebih besar. Kita harus kawal bersama."

Dewan Komisioner OJK, Firdaus Djaelani menyatakan bahwa pihaknya telah berkoordinasi dan menandatangani nota kesepahaman (MoU) dengan DJSN mengenai pengawasan eksternal pada 24 Desember 2013. "Kami telah berbagi peran koordinasi dan pengawasan," kata Firdaus.

Ruang lingkup pengawasan OJK meliputi kesehatan keuangan, penerapan tata kelola yang baik, pengelolaan dan kinerja investasi, penerapan manajemen risiko, pendeteksian dan penyelesaian kejahatan keuangan (fraud), evaluasi aset dan liabilitas, kepatuhan pada ketentuan perundang-undangan, keterbukaan informasi kepada masyarakat (public disclosure), perlindungan konsumen, rasio kolektibilitas iuran, monitoring dampak sistemik, dan aspek lain yang merupakan fungsi, tugas, dan wewenang OJK berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Sedangkan DJSN melakukan monev pada perkembangan pencapaian tingkat kepesertaan, kelayakan manfaat, efektivitas penarikan dan kecukupan iuran, implementasi kebijakan investasi, kesehatan keuangan, kesepadanan aset dan liabilitas (kewajiban yang harus dilakukan pada pihak lain), informasi kepada masyarakat (public disclosure), realisasi rencana kerja dan anggarannya, dan aspek lain yang merupakan fungsi, tugas, dan wewenang DJSN berdasarkan peraturan perundang-undangan.

"Kami juga tekankan pada seluruh stakeholder untuk menjadi whistle blower. Kami menerima pengaduan dari manapun," tegas Firdaus.
Dengan aset sekitar 10 triliun rupiah, diperkirakan BPJS akan mengelola dana jaminan sosial mencapai 38- 40 triliun rupiah per tahun yang berasal dari dana iuran mandiri peserta, modal awal APBN sebesar 500 miliar rupiah dan bantuan pemerintah sebesar lebih dari 19 triliun rupiah.

Penting bagi KPK untuk mengingatkan di masa awal BPJS beroperasi, agar berhati-hati dalam pelaksanaannya sehingga tidak terjebak dalam tindak pidana korupsi karena uang yang dikelola cukup besar. Sebab, hasil kajian KPK telah menemukan celah potensi yang harus diwaspadai. Hal ini menjadi begitu penting, mengingat bidang kesehatan merupakan salah satu national interest dalam renstra KPK 2011-2015 dan menjalankan amanat Pasal 14 Undang Undang 30 tahun 2002 tentang KPK.

Sumber: http://www.kpk.go.id/id/berita/siaran-pers/1692-kpk-dorong-bpjs-benahi-celah-potensi-korupsi 

 

Diskusi dengan tema: Mengapa Fraud di Jaminan Kesehatan Nasional Dapat Masuk ke Hukum Pidana dan Tindakan Pidana Korupsi?, telah diselenggarakan oada Selasa (25/2/2014). Diskusi tersebut digelar di gedung Granadi, Jakarta. Pemapar materi dari Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK UGM, dengan pembahas dari BPJS, PERSI, IDI, Lembaga Anti Fraud Asuransi Indonesia dan Pusat Jaminan Kesehatan Kemenkes serta moderator dari Yayasan Martabat.

Beberapa pembahas menyatakan bahwa fraud di Jaminan Kesehatan Nasional sudah terjadi. Sejak masa berlakunya Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), fraud sudah terjadi dalam berbagai bentuk. Penindakan baru berjalan pada kasus-kasus yang cenderung pada penggunaan dana jaminan yang besar. Kasus-kasus pelayanan yang tarifnya relatif kecil belum ditindak. Namun hal yang telah disadari yaitu berbagai bentuk fraud ini secara akumulasi jumlahnya bisa banyak. Dana BPJS berisiko digunakan untuk tindakan yang merugikan negara dan pembayar iuran. Skenario yang mungkin terjadi adalah yang C dimana di Indonesia ada fraud, BPJS berusaha mencegah, dan ada penegakan hukum.

Para pembahas sepakat bahwa fraud misanyal UpCoding merupakan strategi yang illegal bagi RS untuk berkembang. Fraud merupakan tindakan yang dapat dituntut pidana atau perdata sesuai dengan perjanjian. Memang disadari bahwa sebagian akar masalah timbulnya fraud adalah sistem di INA-CBG yang belum memuaskan dan ketidaksiapan sistem Jaminan Kesehatan Nasional. Tarif INA-CBG (sebagian) dirasakan tidak cukup dan dapat memicu berbagai fraud. Namun rendahnya tarif ini tidak boleh menjadi pembenaran untuk tindakan fraud. Fraud di Jaminan Kesehatan Nasional tetap merupakan tindakan pidana, dan tindakan pidana ini berdasarkan kesengajaan serta perlu pembuktian. Diharapkan dalam proses pencegahan fraud, ada perbaikan sistem INA-CBG sehingga dapat memuaskan seluruh pihak yang terlibat.

Pembuktian fraud tidak mudah karena memerlukan bahan bukti. Dalam hal pembuktian, di Indonesia saat ini belum banyak tenaga ahli yang mampu untuk mendeteksi, dan mencegah fraud. Tenaga ahli ini disebut sebagai investigator, kemudian diskusi tersebut telah mencapai usulan bahwa di Indonesia perlu investigator yang bekerja di rumah sakit dan BPJS untuk keperluan pencegahan dan penindakan internal. Sementara itu untuk penindakan hukum, perlu ada investigator yang bekerja di lembaga aparat hukum. Hal ini dirasa perlu karena tanpa ada penegakan hukum, dikhawatirkan godaan untuk melakukan fraud sangat besar sehingga pencegahan tidak cukup. Pengalaman di berbagai negara, walaupun klaim yang dibayarkan sudah cukup, ternyata masih terjadi fraud. Tenaga investigator harus mendapat pelatihan khusus.

Untuk meningkatkan kemampuan bangsa untuk mencegah, mendeteksi, dan menindak fraud Indonesia perlu menyusun sebuah kelompok. Kelompok ini akan melakukan kegiatan penelitian, pertemuan-pertemuan ilmiah, pelatihan dan diseminasi ilmu, melakukan kunjungan belajar ke negara lain, dan mengembangkan forum komunikasi. Pertemuan ini akan diteruskan dengan penelitian di berbagai Propinsi dan pertemuan ilmiah lainnya. (Laksono Trisnantoro)

Fraud pelayanan kesehatan merupakan faktor dominan yang menyebabkan melambungnya biaya pelayanan kesehatan di Amerika Serikat. Di Indonesia walaupun belum dapat dibuktikan, namun sistem Jamkesmas yang saat ini dilanjutkan dalam JKN sudah menunjukan adanya gejala fraud.

Fraud atau kecurangan pelayanan kesehatan merupakan bentuk kriminal "kerah putih" yang canggih dan membawa dampak terhadap sistem pembayaran kesehatan publik maupun swasta. Definisi fraud adalah kesengajaan melakukan kesalahan terhadap kebenaran untuk tujuan mendapatkan sesuatu yang bernilai atas kerugian orang lain, sebuah upaya penipuan untuk memperoleh keuntungan pribadi.

Dalam pelayanan kesehatan, fraud adalah segala bentuk kecurangan dan ketidakwajaran yang dilakukan berbagai pihak dalam mata rantai pelayanan kesehatan untuk memperoleh keuntungan sendiri yang (jauh) melampaui keuntungan yang diperoleh dari praktek normal.

Masalah fraud di Indonesia akan memperburuk ketimpangan geografis dalam JKN. Fasilitas pelayanan kesehatan di Indonesia terkonsentrasi di daerah maju, sehingga fraud akan menyedot dana BPJS. Beberapa faktor lain juga akan membuat fraud akan meningkat, antara lain: persepsi pemberi pelayanan akan besaran INA CBG yang dianggap rendah; IT di RS belum siap untuk memperoleh data fraud (data fraud yang ditemukan PT. Askes saat ini masih jauh di bawah 1%); pemberantasan fraud masih belum mempunyai kekuatan hukum: KPK belum memikirkan sampai penyelidikan; Otoritas Jasa Keuangan masih dalam situasi observasi; dan motivasi mencari "keuntungan ekonomi" merupakan naluri dasar manusia.

Berdasarkan hal tersebut, maka muncul kekhawatiran besar bahwa kerugian negara diperkirakan akan bertambah namun bukti sulit didapat. Untuk itu, diperlukan berbagai program pelatihan yang dapat menambah jumlah tenaga ahli yang mampu mencegah fraud di jaminan kesehatan.

Pelatihan tersebut harus dapat meningkatkan pemahaman mengenai bentuk fraud dan upaya pencegahannya, meningkatkan kemampuan dalam menyusun proposal riset kebijakan tentang fraud, menyusun kurikulum anti fraud dalam program pendidikan S1 Kedokteran, program pendidikan dokter spesialis, dan fellows serta dapat menjadi dasar awal untuk kerjasama dengan BPJS dan OJK, serta KPK dalam pencegahan dan pengurangan fraud.

Salah satu pelatihan tersebut saat ini sudah dimulai dijalankan, yaitu melalui metode "blended learning", suatu metode pelatihan yang menggabungkan antara pelatihan jarak jauh (e-learning) serta tatap muka (workshop atau seminar). Pelatihan ini direncanakan akan diikuti oleh berbagai individu yang berasal dari: FK Universitas Airlangga, FK Universitas Andalas, FK Universitas Brawijaya, FK Universitas Gadjah Mada, FK Universitas Indonesia-RSCM (Departemen CEEBM), FK Universitas Maranatha, FK Universitas Mulawarman, FKM Universitas Halu Oleo, FKM Universitas Sriwijaya, Kementerian Kesehatan RI (Biro Perencanaan), RS Akademik UGM, RS Parung Bogor, RSUD Bima, RSUD Saiful Anwar, RSUD Soetomo Surabaya, RSUD Ulin Banjarmasin. Informasi lebih jauh tentang pelatihan ini dapat dilihat disini