Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Editorial

Menteri kesehatan kembali mengeluarkan peraturan baru yaitu Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 71 tahun 2013 tentang pelayanan kesehatan pada jaminan kesehatan nasional. Peraturan tersebut membahas mengenai (1) kerjasama fasilitas kesehatan dengan BPJS kesehatan, (2) persyaratan, seleksi dan kredensialing, (3) pelayanan kesehatan bagi peserta BPJS Kesehatan. Dan yang menarik adalah peraturan tersebut membahas detail mengenai kendali mutu dan kendali biaya yang diulas pada Bab VI.

Kendali mutu dan kendali biaya di tingkat fasilitas kesehatan akan dilakukan oleh fasilitas kesehatan dan BPJS Kesehatan. Untuk kendali mutu dan biaya oleh BPJS Kesehatan dilakukan melalui (1) Pemenuhan standar mutu fasilitas kesehatan, (2) Pemenuhan standar proses pelayanan kesehatan, dan (3) Pemantauan terhadap luaran kesehatan peserta. Dalam penyelenggaraannya, BPJS Kesehatan membentuk tim kendali mutu dan biaya yang terdiri dari unsur organisasi profesi, akademisi dan pakar klinis.

Tim kendali mutu dan biaya dari BPJS Kesehatan akan melakukan (1) sosialisasi kewenangan tenaga kesehatan dalam menjalankan praktik profesi sesuai kompetensi, (2) utilization review dan audit medis, (3) pembinaan etika dan disiplin profesi kepada tenaga kesehatan.

Untuk kasus tertentu, tim kendali mutu dan biaya dapat meminta informasi tentang identitas, diagnosis, riwayat penyakit, riwayat pemeriksaan dan riwayat pengobatan peserta dalam bentuk salinan/fotokopi rekam medis ke fasilitas kesehatan sesuai kebutuhan.
Sedangkan penyelenggaraan kendali mutu dan biaya oleh Fasilitas Kesehatan dilakukan melalui :

  1. Pengaturan kewenangan tenaga kesehatan dalam menjalankan praktik profesi sesuai kompetensi
  2. Utilization review dan audit medis
  3. Pembinaan etika dan disiplin profesi kepada tenaga kesehatan
  4. Pemantauan dan evaluasi penggunaan obat, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai dalam pelayanan kesehatan secara berkala yang dilaksanakan melalui pemanfaatan sistem informasi kesehatan.

Peraturan Menteri Kesehatan No 71 tahun 2013 bisa di download disini

Dr. drg. Julita Hendrartini, MKes, AAK (Direktur Umum, SDM, Akademik & Riset RS Akademik UGM) pada 19 November 2013 yang lalu mengungkapkan bahwa pada 1 januari 2014 pangsa pasar PT. Askes sudah lebih dari 120 juta daripada pangsa pasar kemarin yang baru sekitar 16 juta. Artinya lebih dari 50 % penduduk Indonesia sudah masuk di sistem jaminan,".

Selain itu, drg. Julita juga mengatakan bahwa tahun 2014 kenaikan tarif sudah di setting dan kenaikan paling besar adalah RS Tipe C. Hal ini merupakan berita yang menggembirakan untuk sektor RS Swasta karena kebanyakan RS Swasta di daerah adalah tipe C dan akan diberlakukan rujukan berjenjang. Artinya dari dokter primer atau puskesmas harus ke RS tipe C terlebih dahulu.

Di dalam Undang-undang menyatakan bahwa provider dari sektor pemerintah wajib bekerjasama dengan BPJS. Sementara provider swasta tidak wajib bekerjasama atau boleh bekerjasama. Artinya adalah para pengelola RS bebas menentukan akan bekerjasama atau tidak. Tentunya harus melihat pangsa pasar dari RS. Bila yang dilayani kebanyakan dari masyarakat menengah ke bawah, maka saat inilah RS harus mulai konsen terhadap mutu dan bekerjasama dengan segala konsekwensinya. Namun bila pangsa pasar RS adalah masyarakat menengah ke atas, mungkin untuk 1-3 tahun ke depan tidak perlu berfikir terlebih dahulu mengenai bpjs. Jadi ini adalah sebuah pilihan.

Riset Evaluasi BPJS

Dalam persentasinya, dokter yang mengajar di IKM FK UGM ini mengingatkan bahwa walaupun masyarakat wajib masuk kedalam sistem (BPJS) namun masyarakat tidak harus menggunakan. Sehingga masyarakat wajib membayar premi namun tidak apa-apa bila tidak ingin menggunakan. Karena hal tersebut merupakan hak dan pilihan.
Dengan adanya kewajiban bagi masyarakat, maka pemerintah harus menyiapkan provide yang baik dan bermutu. Mutu memiliki perspektif yang berbeda dari para stakeholder termasuk dari masyarakat. Masyarakat yang telah membayar premi, mungkin akan memperoleh pelayanan yang asal-asalan. Dan ini menjadi issue yang menarik untuk dijadikan penelitian yang komprehensif mengenai evaluasi setahun BPJS. Apakah benar implementasi BPJS justru menurunkan mutu pelayanan? Namun perlu dilihat perspektif mutu dari berbagai sudut.

KPK dan OJK akan masuk ke Pelayanan Kesehatan

Di kesempatan yang sama, drg. Julita mengatakan bahwa KPK dan OJK akan masuk ke pelayanan kesehatan. Jadi RS harus berhat-hati dalam upcoding INACBG karena resiko ada ditangan para bapak ibu sendiri." Ujar dokter yang mengajar di FKG UGM.
Dana yang akan digulirkan untuk BPJS 2014 sangatlah besar yaitu lebih dari 30 Trilyun. Di dalam UU No 24 Tahun 2011 tentang BPJS menyebutkan bahwa yang mengawasi BPJS adalah OJK (Otoritas Jasa Keuangan). Dan OJK memiliki dana trilyunan untuk mengawasi BPJS. Namun belum diketahui apa yang akan diawasi oleh OJK. Dan saat ini, Askes atau BPJS belum mempunyai sistem dan mekanisme untuk medeteksi upcoding. Drg. Julita menjelaskan contoh kesalahan upcoding "pasien dirawat dengan appendectomy tanpa komplikasi dan komorbiditas. Namun RS memasukkan data dengan komplikasi dan komorbiditas. Sehingga harganya jadi naik. Karena satu koding bisa memiliki variasi biaya dari 2 juta sampai 22 juta".

RS perlu menyusun Clinical Pathways

Pelayanan kesehatan merupakan asimetri informasi. Artinya sebenarnya pasien tidak mengetahui dengan pembayaran INACBG. Sehingga dokter yang belum paham INACBG mungkin akan memulangkan pasien bila LOSnya telah melebihi dan keesok harinya pasien bisa dirawat lagi. Namun, kedepannya akan ada sistem untuk mendeteksi kejadian seperti yang dicontohkan. Masalah terbatasnya standar mutu bisa dijadikan acuan. Sebagai contoh obat yang tersedia hanya generik namun menginginkan pelayanan yang bermutu. Apakah benar kualitas obat generik lebih buruk dari obat-obat paten? Kebijakan ke depan, obat generik sudah harus mempunyai standar. Lalu bagaimana dampaknya bagi pendapatan RS? Karena yang kita tahu bahwa pendapatan RS terbesar adalah obat. Lalu strategi apa yang harus dilakukan untuk mengatasi hal tersebut? Jawabannya adalah RS harus menyusun clinical pathways yang efektif dan efisien. Dan ini harus dipatuhi oleh para dokter. Bila tidak dilakukan strategi pengendalian, maka rumah sakit akan rugi.

 

Pada 1 November 2013 lalu, telah ditetapkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 69 Tahun 2013 tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama dan Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan. Dalam peraturannya dijelaskan bahwa tarif kapitasi di puskesmas atau fasilitas kesehatan yang setara sebesar Rp 3.000-6.000,- dan untuk tarif kapitasi di RS pratama, klinik pratama, dokter praktek, dokter gigi praktek sebesar Rp 8.000 – Rp 10.000,-.

Tarif kapitasi adalah besaran pembayaran per bulan yang dibayar dimuka oleh BPJS kesehatan kepada fasilitas tingkat pertama berdasarkan jumlah peserta yang terdaftar tanpa memperhitungkan jenis dan jumlah pelayanan kesehatan yang diberikan. Tarif kapitasi untuk setiap fasilitas kesehatan tingkat pertama disesuaikan dengan rentang nilai yang besarannya ditetapkan berdasarkan seleksi dan kredensial yang dilakukan oleh BPJS kesehatan. Selain itu, tarif kapitasi ini diberlakukan bagi fasilitas kesehatan tingkat pertama yang melaksanakan pelayanan kesehatan komprehensif kepada peserta program jaminan kesehatan berupa rawat jalan tingkat pertama.

Dalam menetapkan pilihan fasilitas kesehatan, BPJS kesehatan melakukan seleksi dan kredensialing dengan menggunakan kriteria teknis meliputi (1) sumber daya manusia, (2) kelengkapan sarana dan prasarana, (3) lingkup pelayanan, dan (4) komitmen pelayanan. Kriteria tersebut digunakan untuk penetapan kerjasama dengan BPJS kesehatan, jenis dan luasnya pelayanan, besaran kapitasi dan jumlah peserta yang bisa dilayani.

Peraturan Menteri Kesehatan No 69 Tahun 2013 bisa di download disini

dr. Rudyanto Soedono, SpAn(K) (Kepala ICU RSCM) dalam persentasinya di acara Forum Mutu IHQN ke IX mengatakan bahwa tidak ada kata tiba-tiba di ICU. Sebagai contoh tidak ada pasien tiba-tiba arrest di ICU. Sehingga bila ada kata tiba-tiba di ICU, maka Anda tidak bekerja atau Anda tidak mempunyai sistem atau sistem tidak bekerja.

Ketika tim di ICU tidak dapat memberikan pencegahan, maka itu bukanlah ICU. Karena ICU adalah sebuah area untuk melakukan pencegahan terhadap suatu keadaan yang buruk. Sehingga seluruh tim harus dapat melakukan pencegahan," ujar dr. Rudy yang tidak lagi melakukan praktek anestesi sampai sekarang dan full di ICU RSCM.

Dalam pemaparannya, manajemen di ICU RSCM melakukan internal process meliputi (1) improvement quality of care with multidisciplinary team, (2) internal audit, (3) in house training and education, (4) standard and protocol, (5) key performance indicator, dan (6) professionalism and communication.

Perawat di ICU adalah total care of patient yang artinya perawat harus tahu apa yang terjadi pada pasien dan siapa yang melakukan. Dan perawat tidak boleh mengurus administratif atau jaminan. Untuk perawat di ICU RSCM terdapat dua pimpinan yaitu health nurse (lebih ke pasien) dan nurse officer (lebih ke managerial).

Sementara itu, Key performance Indicator di ICU RSCM meliputi (1) BOR, LOS, BTO, TOI, GDR, NDR, (2) Hand Hygiene, VAP, Blood stream infection, wound infection, decubitus, urinary infection, needle stick injury, infection control, (3) patient safety, cost effectiveness, ICU error, (4) readmitted, reintubation, self extubation, (5) antibiotic round, management round, complex case round.

Pesan yang dr. Rudy sering sampaikan kepada staf nya di ICU RSCM adalah ketika Anda tidak berguna bagi pasien maka serahkan pasien itu kepada orang yang berguna. Jangan pertahankan diri Anda disamping pasien bila anda tidak berguna. Karena di ICU, pasien full bergantung pada kita.

Sebelum menutup persentasinya, dr. Rudy mengajukan pertanyaan kepada para audiens acara forum mutu. Siapakah yang menentukan pelayanan terbaik di ICU? dokter kah, perawat kah, apoteker kah? laborat kah? Jawabannya adalah orang yang memberikan pelayanan paling buruk. Karena hasil akhir pelayanan bukan ditentukan oleh orang yang melakukan pelayanan terbaik melainkan oleh orang yang melakukan pelayanan paling buruk. Pekerjaan yang berjam-jam, berhari-hari dilakukan di ICU bisa hilang karena beberapa menit atau detik karena keteledoran dari orang yang melakukan pelayanan paling buruk.

Kesimpulannya : melakukan managerial di ICU itu terjadi dari perubahan mindset bahwa tidak ada yang tiba-tiba di ICU, semua harus under control, semua harus plan, semua harus bekerjasama dan bukan sama-sama bekerja.

Untuk materi persentasi dr. Rudyanto Soedono, SpAn(K) yang bertema Rumah Sakit sebagai "Highly Reliable Organization" contoh dari Pelayanan ICU dapat di download disini