Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Headline

The World Health Organization (WHO) mendefinisikan dan mengkategorikan intervensi kesehatan digital dalam konteks layanan kesehatan sebagai “fungsi diskret dari teknologi digital untuk mencapai tujuan sektor kesehatan”. Kerangka kerja yang dikembangkan oleh WHO mencakup berbagai alat dan intervensi digital, seperti telemonitoring, penggunaan artificial intelligence, algoritma pengambilan keputusan, dan pengumpulan data kesehatan. Berdasarkan bukti yang tersedia, digitalisasi telah meningkatkan kualitas layanan, memengaruhi berbagai hasil di tingkat sistem (misalnya, keamanan dalam pemberian obat dan lama rawat inap di rumah sakit) dan di tingkat individu (misalnya, peningkatan kemampuan fungsional/kognitif dan kepuasan pasien).

Meskipun memiliki potensi efektivitas, digitalisasi belum sepenuhnya diterapkan dalam praktik klinis. Beberapa faktor telah diidentifikasi sebagai hambatan potensial, termasuk ketersediaan teknologi, sumber daya keuangan, dan keterampilan tenaga kesehatan dalam menggunakan teknologi digital. Untuk meningkatkan digitalisasi layanan kesehatan, tenaga kesehatan telah diakui sebagai faktor kunci dalam transformasi digital sektor kesehatan.

Berbagai istilah telah dikembangkan sejauh ini dalam literatur untuk merujuk pada kompetensi kesehatan digital. Istilah yang paling umum adalah eHealth literacy, yang telah didefinisikan sebagai kemampuan menggunakan informasi yang diperoleh dari sumber elektronik untuk menyelesaikan masalah kesehatan. Kerangka konseptual yang menggambarkan konsep dan komponen eHealth literacy telah dikembangkan untuk warga dan pasien. Sebagai contoh, kerangka kerja Lily dari Norman dan Skinner mencakup 6 kompetensi literasi, yaitu literasi kesehatan, tradisional, informasi, ilmiah, komputer, dan media.

Sebuah tinjauan terbaru menunjukkan bahwa sebagian besar intervensi yang bertujuan meningkatkan kompetensi kesehatan digital tenaga kesehatan fokus pada kemampuan, bukan motivasi, dalam menggunakan eHealth. Intervensi yang mempromosikan kompetensi kesehatan digital sebaiknya juga mempertimbangkan faktor sosial dan lingkungan, serta pendekatan partisipatif, untuk mendukung juga aspek emosional dan psikologis dalam penggunaan teknologi. Di sisi lain, terdapat ketimpangan dalam aspek pengajaran, pengembangan diri, dan kemampuan belajar. Kerangka kerja National Health Service (NHS) mengenai kapabilitas digital mencakup domain yang berkaitan dengan kemampuan, misalnya menggunakan teknologi digital untuk pembelajaran pribadi dan mengajar orang lain.

Sebagaimana disoroti oleh tinjauan sebelumnya, kami juga menemukan bahwa kompetensi yang diteliti masih sebagian besar berfokus pada perspektif tenaga kesehatan. Namun, perhatian yang lebih besar diperlukan dalam mempertimbangkan kompetensi untuk menilai kebutuhan pasien, sikap, hambatan, faktor pendukung, dan potensi manfaat dari dilatih oleh tenaga kesehatan dalam penggunaan teknologi dan informasi elektronik secara aman dan tepat untuk masalah kesehatan.

Pengembangan kurikulum dan pelatihan berbasis bukti untuk meningkatkan kompetensi digital tenaga kesehatan secara menyeluruh, termasuk aspek non-teknis seperti kesiapan mental dan edukasi pasien penting untuk menjadi fokus utama. Oleh karena itu, dari penilaian kompetensi berdasarkan persepsi diri yang sebagian besar menyangkut isu umum, upaya kini sebaiknya diarahkan pada pengembangan alat penilaian layanan kesehatan digital yang berpusat pada pasien dan mampu mendeteksi seluruh kompetensi spesifik yang terlibat dalam seluruh proses.

Selengkapnya dapat diakses melalui:

https://www.researchgate.net/publication/

Hari Epilepsi Sedunia adalah momen penting untuk meningkatkan kesadaran global tentang epilepsi. Tujuan utama peringatan ini yaitu untuk menghilangkan stigma dan kesalahpahaman yang seringkali menyertai kondisi neurologis ini. Peringatan ini juga berfungsi sebagai platform untuk mengedukasi masyarakat tentang gejala, penyebab, dan perawatan epilepsi, serta untuk mendukung individu yang hidup dengan epilepsi dan keluarga mereka. Melalui berbagai kegiatan dan kampanye, Hari Epilepsi Sedunia berusaha menciptakan dunia yang lebih inklusif dan penuh pemahaman bagi semua orang yang terkena dampak epilepsi.

Epilepsi, kondisi neurologis kronis umum yang ditandai dengan kejang berulang yang tidak diprovokasi, memengaruhi kesehatan dan kualitas hidup anak-anak, beserta keluarga mereka. Efek negatif pada kognisi dan perkembangan fisik, serta stigmatisasi sosial dan kualitas hidup yang buruk, umumnya diamati pada anak-anak dan remaja penderita epilepsi. Lebih jauh lagi, anak-anak dan remaja penderita epilepsi berisiko lebih tinggi mengalami komorbiditas perkembangan, intelektual, dan kesehatan mental, termasuk gangguan pemusatan perhatian/hiperaktivitas (ADHD), autisme, ketidakmampuan belajar, depresi, dan kecemasan. Anak-anak kemudian dirujuk ke ahli saraf atau epileptologi untuk evaluasi lebih lanjut, pendidikan keluarga, dan pengembangan rencana penanganan. Sayangnya, pola perawatan dan rujukan untuk anak-anak dan remaja penderita epilepsi tidak seragam atau terstandarisasi di seluruh negeri. Sementara beberapa anak-anak dan remaja penderita epilepsi dirawat oleh ahli saraf pediatrik atau epileptologi, banyak anak-anak dan remaja penderita epilepsi, khususnya mereka yang tinggal di daerah pedesaan dan daerah yang kurang terlayani secara medis, tidak memiliki akses ke perawatan khusus dan terkoordinasi. Kekurangan ahli saraf pediatrik di tingkat nasional dan tenaga kerja perawatan primer yang tidak memiliki basis pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan dapat memperburuk kesulitan dalam mendiagnosis dan menangani epilepsi secara efektif. Di wilayah yang tidak menyediakan perawatan neurologi pediatrik, keluarga harus menempuh perjalanan beberapa jam dari daerah pedesaan atau menunggu berminggu-minggu untuk mendapatkan janji temu di klinik.

Studi diagnostik seperti elektroensefalogram dan studi neuroimaging, bersama dengan perawatan berkelanjutan, memerlukan perjalanan tambahan, yang merupakan beban tambahan bagi anak (tidak masuk sekolah) dan orang tua (tidak masuk kerja). Akses ke perawatan khusus dapat menjadi tantangan lebih lanjut di daerah pedesaan, dimana perjalanan sangat sulit dilakukan. Akses dini, diagnosis dan penanganan yang cepat telah terbukti dapat menurunkan frekuensi kejang, dan meningkatkan hasil klinis. Hambatan akses, seperti jumlah penyedia layanan kesehatan perawatan primer dan subspesialisasi terlatih yang tidak mencukupi, dapat menyebabkan hasil kesehatan yang merugikan karena waktu tunggu yang lama, dengan keterlambatan diagnosis dan intervensi, peningkatan stres dan kecemasan keluarga dan anak, serta ketergantungan pada layanan ruang gawat darurat.

Telehealth, didefinisikan sebagai penggunaan informasi elektronik dan teknologi telekomunikasi untuk mendukung dan mempromosikan perawatan kesehatan klinis jarak jauh, pendidikan terkait kesehatan pasien dan profesional, kesehatan masyarakat dan administrasi kesehatan adalah solusi digital dalam perawatan kesehatan yang dapat memberikan perawatan berkualitas, meningkatkan akses tepat waktu, meminimalkan jarak tempuh, dan mengurangi biaya. Penelitian yang dilakukan oleh Gali et al. (2020) menunjukkan adanya peningkatan signifikan terhadap kepuasan pasien dan dokter, penurunan dalam kehilangan waktu kerja dan sekolah, serta penurunan dalam jarak tempuh ke lokasi pemeriksaan dan pengeluaran biaya pribadi untuk pengobatan dengan menggunakan fasilitas telehealth. Meski terdapat banyak peningkatan dalam aspek kepuasan pasien dan kualitas layanan, terdapat tantangan dan hambatan yang masih dapat ditemukan, seperti dalam tabel berikut:

Tantangan Hambatan
Membangun dan mempertahankan kerjasama Sistem elektronik medis yang berbeda membuat semuanya sedikit sulit. Sehingga sistem tidak terintegrasi dan tidak praktis, misalnya bila ada pasien yang ingin dijadwalkan pemeriksaan, maka layanan primer harus menghubungi layanan sekunder terlebih dulu.
Kurangnya infrastruktur untuk menunjang kunjungan telehealth. Tidak ada fasilitas umum atau tempat di mana seseorang dapat datang untuk melakukan kunjungan telehealth secara langsung, sehingga hanya dapat diakses melalui perangkat elektronik berupa laptop masing-masing. Selain itu, terdapat kendala dari jaringan internet dan sinyal yang kadang-kadang mati.
Edukasi dan promosi dibutuhkan untuk mendukung staf pekerja dan meningkatkan minat terhadap kunjungan telehealth bagi keluarga dengan anak dan remaja dengan epilepsi. Promosi telehealth dan pengiklanan layanan tersebut.

Pembelajaran dari model telehealth epilepsi menggarisbawahi bahwa membangun infrastruktur telehealth memerlukan dukungan administratif, staf program, sumber daya keuangan, dan dukungan teknis. Bekerja sama dengan ahli saraf pediatrik di lokasi pusat medis dan penyedia perawatan primer lokal sangat penting untuk keberhasilan penerapan teknologi telehealth. Secara khusus, identifikasi awal hubungan penyedia, pengembangan infrastruktur dan pendidikan, serta promosi program dapat menjadi penting untuk mengembangkan strategi untuk elemen-elemen penting. Mensosialisasikan penyedia maupun pasien, dapat mempermudah penerapan telehealth. Sistem pembayaran, regulasi, dan perizinan dokter serta penyedia layanan kesehatan lainnya yang rumit untuk dinavigasi perlu ditangani lebih lanjut untuk mengikuti perubahan cepat dalam lanskap perawatan kesehatan.

Selengkapnya dapat diakses melalui:
https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC8980450/ 

 

 

Menurunkan angka kematian ibu dan peningkatan kesehatan dan kesejahteraan ibu merupakan tugas yang kompleks. AKI global merupakan masalah yang mendesak: diperkirakan 287.000 perempuan meninggal karena penyebab yang terkait dengan kehamilan, persalinan, dan masa nifas pada tahun 2020 saja. Kehilangan hampir 3 juta jiwa perempuan yang dapat dicegah antara tahun 2010 dan 2020 bukan hanya tragedi global, tetapi juga merupakan indikator ketimpangan kesehatan yang parah antara dan di dalam negara-negara dan pelanggaran hak asasi manusia yang mencolok. Meskipun banyak negara telah mengalami kemajuan besar dalam hal peningkatan pendidikan, pekerjaan, dan keinginan untuk memiliki anak, kemajuan ini belum bersifat universal. Sebagian besar kematian ibu masih dapat dicegah dan sebagian besar terjadi pada kelompok perempuan yang memiliki tingkat ekonomi menenga ke bawah.

Pendekatan paling umum untuk mengatasi kematian ibu oleh masyarakat global adalah mengarahkan investasi untuk mengatasi penyebab biomedis utama kematian ibu, khususnya selama periode perinatal. Dibandingkan dengan penyebab biomedis, perhatian yang diberikan pada determinan yang mendasari kehamilan dan persalinan yang buruk cenderung kurang diperhatikan dan sistem kesehatan perlu dikonfigurasi untuk menerapkan intervensi yang efektif dan mengurangi dampak buruk faktor sosial terhadap kesehatan ibu. Meskipun kondisi medis yang sudah ada sebelumnya (misalnya, anemia kronis, hipertensi kronis, diabetes) menjadi perhatian tenaga medis, komplikasi obstetrik langsung (seperti perdarahan pascapersalinan, preeklamsia, dan infeksi) tetap menjadi penyebab biomedis utama kematian ibu.

Tinjauan sistematis yang dilakukan oleh Souza et. al (2024) mengenai determinan kesehatan ibu dan faktor-faktor yang terkait dengan kematian ibu, dan meneliti hubungan antara determinan ini dan pergeseran bertahap dari waktu ke waktu dari pola kematian ibu yang tinggi ke pola kematian ibu yang rendah, sebuah fenomena yang digambarkan sebagai transisi obstetrik atau transisi kematian ibu. Penelitian ini mengidentifikasi 23 kerangka kerja yang menggambarkan kesehatan dan kesejahteraan ibu sebagai hasil dari proses multifaktorial. Determinan sosial kesehatan berasal dari superdeterminan ekonomi, politik, dan budaya, dan didefinisikan sebagai faktor non-biomedis yang memengaruhi risiko dan hasil kesehatan sepanjang hidup. Determinan sosial yang berperan pada kesehatan ibu adalah kondisi di mana perempuan dilahirkan, tumbuh, bekerja, dan hidup sebelum kehamilan, dan selama kehamilan, persalinan, dan periode pascapersalinan. Determinan sosial ini secara substansial memengaruhi hasil kesehatan ibu, dan secara tidak langsung bertanggung jawab atas disparitas yang diamati dalam tingkat kematian dan morbiditas ibu antara populasi yang berbeda.

Faktor-faktor tingkat individu atau karakteristik khusus untuk setiap wanita hamil (misalnya, usia, genetika, kondisi kesehatan yang sudah ada sebelumnya) dan paparan agen eksternal (misalnya, bahaya fisik, kimia, dan biologis, infeksi, kecelakaan, dan kekerasan) merupakan penentu kesehatan ibu yang utama. Kehamilan remaja dan kehamilan pada wanita yang berusia lebih dari 35 tahun dikaitkan dengan peningkatan risiko beberapa komplikasi, seperti preeklamsia. Wanita dengan kondisi yang sudah ada sebelumnya, seperti hipertensi, diabetes, penyakit jantung, dan obesitas, memiliki risiko lebih tinggi untuk meninggal selama kehamilan, persalinan, dan periode pascapersalinan dibandingkan mereka yang tidak memiliki kondisi yang sudah ada sebelumnya. Kelainan genetik, seperti hemoglobinopati (misalnya, anemia sel sabit, talasemia mayor), hemofilia, trombofilia herediter, dan kardiomiopati hipertrofik, dapat meningkatkan risiko komplikasi ibu dan berpotensi menyebabkan kematian. Paparan terhadap racun lingkungan dan bahan kimia industri (misalnya, timbal, merkuri, pestisida, polutan udara), obat-obatan dan narkoba, radiasi pengion, ancaman patogen (misalnya, virus Ebola, SARS-CoV-2), kekerasan oleh pasangan, dan kecelakaan yang mengakibatkan trauma dan cedera fisik memiliki berbagai tingkat efek merugikan pada kesehatan ibu.

Kekerasan terhadap perempuan layak mendapat perhatian khusus: meskipun kekerasan sering kali lebih terlihat di daerah yang dilanda konflik, dampaknya terhadap hasil kehamilan sama-sama menghancurkan bahkan di daerah yang tidak dilanda konflik, terutama bila dilakukan oleh pasangan intim. Sebagai akibat dari pengaruh superdeterminan kesehatan ibu—terutama sistem budaya, politik, dan ekonomi—faktor-faktor tingkat individu yang dibentuk oleh karakteristik keluarga dan masyarakat cenderung memunculkan pola gaya hidup, yang pada gilirannya mengurangi atau meningkatkan risiko kematian atau mengalami gangguan kesehatan terkait kehamilan. Contoh pola gaya hidup dengan dampak substansial terhadap kesehatan ibu meliputi pola makan (misalnya, asupan zat besi dan kalsium yang rendah meningkatkan risiko anemia defisiensi besi dan preeklamsia), aktivitas fisik, penggunaan zat dan merokok, dan perilaku seksual selama kehamilan (misalnya, praktik seksual yang berbahaya yang mengakibatkan serokonversi HIV).

Norma budaya seputar kehamilan dan persalinan membentuk perilaku kesehatan ibu dan praktik mencari perawatan kesehatan, dengan bertindak sebagai pengubah faktor tingkat individu, seperti usia untuk memulai sebuah keluarga, jumlah anak yang akan dimiliki, dan sejauh mana pasangan terlibat dalam perawatan wanita tersebut. Faktor budaya juga memengaruhi keputusan tentang gizi, praktik perawatan antenatal, dan praktik persalinan. Harapan masyarakat dan peran gender dapat memengaruhi otonomi wanita hamil, akses ke pendidikan, sumber daya, dan perawatan kesehatan, dan memengaruhi kekuatan pengambilan keputusan mereka dalam rumah tangga mereka, serta kemampuan mereka untuk membuat keputusan tentang kesehatan mereka sendiri, tempat mereka bekerja, dan apa yang mereka lakukan.

Pola gaya hidup yang timbul dari determinan sosial dapat memengaruhi faktor-faktor tingkat individu dengan memicu atau memperburuk kondisi yang sudah ada sebelumnya. Misalnya, status berpenghasilan rendah dapat mengakibatkan asupan gizi yang buruk atau praktik diet yang tidak sehat, dan akibatnya meningkatkan risiko anemia defisiensi pra-kehamilan atau obesitas ibu. Obesitas ibu dapat meningkatkan risiko diabetes gestasional; dan diet yang tidak sehat selama kehamilan dapat menyebabkan kenaikan berat badan ibu yang berlebihan, yang menyebabkan berbagai komplikasi, termasuk diabetes gestasional.

Daftar yang tidak lengkap tentang faktor penentu, kontributor, dan penyebab kematian ibu (diperoleh dari tinjauan pustaka)

Determinan sosial

  • Dinamika gender yang mendukung seksisme dan ketidakadilan gender (ketidakadilan dan ketidaksetaraan)
  • Pendapatan rendah dan status sosial ekonomi rendah
  • Dinamika etnis dan ras yang mendukung rasisme dan diskriminasi
  • Pendidikan ibu yang rendah
  • Faktor sosial budaya yang mendukung bias gender dan sosial terhadap perempuan, termasuk tetapi tidak terbatas pada peran gender, dan agensi terbatas atas hak seksual dan reproduksi
  • Paparan terhadap sumber hiperinformasi dan disinformasi
  • Tinggal di daerah pedesaan
  • Kelaparan
  • Korupsi
  • Konflik bersenjata
  • Kekerasan (termasuk tetapi tidak terbatas pada kekerasan pasangan intim)

Faktor individu dan keluarga

  • Usia ibu yang ekstrem (<18 tahun dan >35 tahun)
  • Paritas tinggi
  • Status perkawinan (status perkawinan tunggal dan setara dikaitkan dengan peningkatan risiko)
  • Tidak adanya atau rendahnya keterlibatan pasangan dalam perawatan antenatal dan perawatan intrapartum
  • Status sosial ekonomi pasangan rendah
  • Gaya hidup, termasuk:
  • Pola makan yang buruk
  • Aktivitas fisik dan olahraga yang rendah
  • Penyalahgunaan dan penyalahgunaan zat (misalnya, alkohol, tembakau)
  • Aspek lain dari gaya hidup, termasuk paparan risiko
    Pelayanan kesehatan dan pendidikan kesehatan
  • Pengetahuan yang rendah tentang tanda bahaya yang berhubungan dengan komplikasi obstetrik (keterlambatan pertama)
  • Tidak adanya agensi dan otonomi untuk mencari layanan kesehatan (keterlambatan pertama)
  • Akses yang buruk ke layanan kesehatan (keterlambatan kedua; termasuk tidak adanya kunjungan perawatan antenatal dan jarak yang jauh ke fasilitas kesehatan)
  • Perawatan di bawah standar (keterlambatan ketiga)

Penyebab kematian ibu

  • Penyebab biomedis:
    • Kondisi obstetrik: perdarahan, gangguan hipertensi, infeksi, komplikasi aborsi, persalinan macet, dll. (kondisi yang dikenal sebagai penyebab langsung kematian ibu)
    • Penyakit tidak menular dan kondisi yang sudah ada sebelumnya (kondisi yang biasanya termasuk dalam rangkaian kondisi yang dikenal sebagai penyebab tidak langsung kematian ibu)
    • Penyebab eksternal, termasuk kecelakaan dan pembunuhan
    • Bunuh diri
    • Femisida
    • Komplikasi intervensi kesehatan (termasuk komplikasi anestesi dan pembedahan, seperti perdarahan intraoperatif dan infeksi bedah)
    • Jalur akhir umum menuju kematian
    • Disfungsi multiorgan
    • Sepsis (yaitu, disfungsi organ terkait infeksi)

Sistem kesehatan memainkan peran penting dalam membentuk perwujudan kekuatan dan konteks yang saling terkait yang disajikan sebelumnya. Layanan dan komoditas kesehatan (misalnya, uterotonika yang terjamin kualitasnya untuk mengurangi kehilangan darah pascapersalinan pada wanita yang mengalami anemia saat melahirkan) dapat mengubah dampak kekuatan eko-sosial yang menyebabkan hasil kesehatan ibu yang merugikan. Oleh karena itu, sistem kesehatan dapat dianggap sebagai faktor perlindungan yang menentukan, yang mampu menetralkan atau meminimalkan dampak faktor risiko yang merugikan. Dengan demikian, dampak negatif dari beberapa faktor risiko, seperti usia ibu yang lanjut atau status berpenghasilan rendah, dapat dikurangi dengan layanan kesehatan yang berfungsi dengan baik, khususnya layanan dengan perawatan prakonsepsi, antenatal, intrapartum, dan pascapersalinan berkualitas tinggi.

Kesehatan ibu yang buruk dan disabilitas merupakan masalah sosial, dan kematian ibu merupakan tragedi sosial. Para pembuat kebijakan, khususnya di negara-negara dengan beban kematian ibu yang tinggi, harus menyadari bahwa penyebab biomedis utama (misalnya, perdarahan pascapersalinan, preeklamsia, infeksi, dan aborsi) dari kematian ibu yang dapat dicegah tidak terjadi secara terpisah. Tindakan multisektoral untuk mempromosikan pembangunan sosial dan kesetaraan gender diperlukan untuk menurunkan angka kematian ibu yang berkelanjutan. Meskipun implementasi strategi ini (misalnya, peningkatan infrastruktur sosial dan program transformasi sosial lainnya) sering kali lambat untuk direalisasikan, manfaat jangka panjangnya cukup pasti. Memperluas ekosistem sektor kesehatan dan jaringan perawatan untuk mengurangi efek merugikan dari determinan distal dan proksimal akan secara substantif meningkatkan kesehatan ibu. Peningkatan akses terhadap layanan dan komoditas kesehatan reproduksi berkualitas tinggi (misalnya, kontrasepsi modern, aborsi aman, dan perawatan antenatal, intrapartum, dan postpartum) diperlukan untuk pencegahan primer, identifikasi dini, dan penanganan komplikasi kehamilan yang memadai. Mencapai cakupan kesehatan universal dan memperkuat sistem kesehatan untuk menyediakan perawatan berkualitas sangat penting untuk mengurangi angka kematian ibu dan meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan ibu.

Selengkapnya dapat diakses mengakses:
https://www.thelancet.com/journals/langlo/article/PIIS2214-109X(23)00468-0/fulltext 

 

 

Kenyamanan pasien mengacu pada rasa bahagia, rileks, dan puas yang dialami pasien selama menjalani perawatan medis. Hal ini sangat penting dalam perawatan kesehatan karena sangat mempengaruhi kesejahteraan pasien dan persepsi mereka terhadap keseluruhan proses, yang mengarah pada pemulihan yang lebih cepat dan hasil kesehatan yang lebih baik. Kualitas udara dalam ruangan (IAQ), aliran udara, dan sistem ventilasi merupakan faktor yang berdampak signifikan pada lingkungan fisik rumah sakit, sehingga memengaruhi kenyamanan pasien. Selain itu, lingkungan sosial dan humanistik rumah sakit sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti perawatan dan pola makan, privasi, dan komunikasi. Dengan menciptakan lingkungan yang rileks dan menyenangkan, kekhawatiran dan kecemasan dapat dikurangi serta pengalaman yang positif dan nyaman dapat diberikan.

Menghormati privasi pasien dan memastikan ruang pribadi yang memadai sangat penting untuk kenyamanan mereka. Komunikasi yang jelas dan empatik dari profesional perawatan kesehatan, termasuk penjelasan yang transparan tentang prosedur medis, diagnosis, dan pilihan pengobatan, membantu pasien merasa lebih nyaman dan memegang kendali atas perjalanan perawatan kesehatan mereka. Mendorong interaksi sosial yang positif di antara pasien dan dengan staf perawatan kesehatan dapat menciptakan rasa kebersamaan dan mengurangi perasaan terisolasi. Selain itu, menyediakan perawatan berkualitas tinggi dapat memenuhi kebutuhan emosional dan psikologis pasien, yang perlu difokuskan pada pengalaman kenyamanan pasien dan mengambil tindakan untuk mengatasi masalah atau isu apa pun. Lebih jauh lagi, tempat duduk yang tepat, toilet yang bersih, dan makanan bergizi sangat penting untuk kenyamanan pasien. Memastikan kebutuhan mendasar ini membantu pasien merasa diperhatikan dan meningkatkan kesejahteraan umum mereka. Dengan menganalisis literatur yang relevan, penelitian ini akan mengidentifikasi faktor-faktor utama yang berkontribusi atau menghambat kenyamanan pasien.

Memenuhi kebutuhan kenyamanan pasien dapat membantu mengurangi kecemasan dan stres pasien, sehingga mempercepat pemulihan pasien. Selain itu, suasana yang santai di rumah sakit membantu pasien merasa tenang, mengurangi kecemasan dan stres, mencegah reaksi fisiologis, dan memenuhi persyaratan serta harapan keluarga pasien dan pengunjung rumah sakit, yang pada akhirnya meningkatkan kenyamanan pasien.

Studi yang dilakukan oleh Tian, Yu (2023), menganalisis 913 artikel dengan topik kenyamanan pasien dari tahun 1977 hingga 2023. Faktor yang mempengaruhi kenyamanan pasien di rumah sakit, yakni:

Faktor lingkungan fisik

  1. Kualitas udara ruangan
    Kualitas udara di bangsal rumah sakit dapat terpengaruh secara negatif oleh berbagai polutan umum. Penggunaan gas, penanganan peralatan, dan pemotongan jaringan selama operasi pembedahan dapat menghasilkan partikel. Selain itu, risiko infeksi pasien dapat dipengaruhi oleh produksi bioaerosol oleh personel bedah dan penempatan komponen yang tidak tepat dalam sistem ventilasi. Perlu dicatat bahwa bakteri atau virus yang menempel pada permukaan partikel dapat menurunkan kualitas udara, yang selanjutnya menyebabkan partikel tersebut menjadi infeksius.

    Keberadaan partikel di udara dapat mempengaruhi kesehatan pernapasan pasien secara signifikan. Angka kejadian dan kematian penyakit jantung meningkat saat orang terpapar partikel. Pasien yang mengalami asma atau gejala alergi pernapasan lebih terpengaruh oleh hubungan ini. Partikel di udara, seperti debu, serbuk sari, atau alergen lainnya, dapat mengiritasi saluran pernapasan, menyebabkan ketidaknyamanan, batuk, atau kesulitan bernapas. Penggunaan disinfektan yang berlebihan seperti alkohol, hidrogen peroksida, atau pemutih menunjukkan hubungan dengan kerusakan saluran pernapasan dan peningkatan risiko terkena dan mengobati asma.

    Kontaminasi biologis di bangsal rumah sakit mencakup berbagai mikroorganisme, seperti virus, bakteri, jamur, dan patogen lainnya, yang dapat hidup di udara. Risiko infeksi meningkat secara signifikan di bangsal rumah sakit tertentu tempat mikroorganisme ini tersebar luas, khususnya di bangsal hematologi/onkologi, bangsal ortopedi, bangsal bedah, unit perawatan intensif neonatal (NICU), dan unit perawatan intensif lainnya. Mikroorganisme dapat menyebabkan infeksi rumah sakit, yang dapat bertahan hidup pada pasien, pengunjung, atau profesional perawatan kesehatan dan menimbulkan risiko infeksi yang tinggi pada pasien yang rentan. Selain itu, peralatan medis, bahan pembersih, dan sumber lainnya dapat melepaskan polutan kimia seperti patogen di udara atau bahan kimia beracun lainnya.

Faktor lingkungan sosial

  1. Perawatan dan diet
    Manajemen nyeri yang efektif dapat membantu meringankan ketidaknyamanan ini dan meningkatkan pengembangan diri serta pengalaman tidur pasien. Selain itu, kualitas perawatan yang diterima pasien di rumah sakit juga dapat memengaruhi pengalaman kenyamanan mereka. Dalam hal pola makan, rejimen pengobatan dan pantangan makanan memengaruhi kehidupan pasien, pola makan pasien memainkan peran penting dalam kenyamanan dan kepuasan mereka secara keseluruhan terkait makanan dan nutrisi.

  2. Privasi dan komunikasi
    Pasien mungkin merasa rentan secara internal selama dirawat di rumah sakit, jadi memastikan privasi dan kerahasiaan mereka dihormati sangatlah penting. Saleem dkk. melakukan wawancara terstruktur dengan 571 pasien di ruang gawat darurat. Studi tersebut menemukan bahwa 10% pasien akan menolak pemeriksaan fisik karena masalah privasi, terutama di lingkungan akut dengan tingkat kejadian dan kematian yang tinggi yang sangat penting untuk diperhatikan. Menutup tirai dan pintu selama pemeriksaan atau operasi dapat membuat pasien merasa lebih nyaman.

    Dalam aspek komunikasi, pasien dapat memperoleh dukungan emosional melalui layanan konsultasi atau metode komunikasi lainnya, yang dapat membantu mencapai pengalaman yang sangat nyaman. Dengan memanfaatkan umpan balik pasien dan memenuhi preferensi mereka sebagai strategi manajemen lingkungan, rumah sakit dapat menciptakan pengalaman yang nyaman bagi pasien.

Selengkapnya dapat diakses di:

https://jhpn.biomedcentral.com/articles/10.1186/s41043-023-00465-4#ref-CR54