Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

agenda

rep formut2IHQN XIII-Yogyakarta: Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan) mempunyai tiga fungsi antara lain risk pooling, revenue collection, dan purchaser. BPJS kesehatan sebagai purchaser, dilihat dari pelayanan kesehatan yang diberikan oleh fasilitas kesehatan tentang kualitas layanan yang diberikan, BPJS Kesehatan melakukan seleksi provider, mengatur system pembayaran, sistem rujukan berjenjang, program-program preventif dan utilisasi review atas pelayanan kesehatan yang diberikan oleh fasilitas kesehatan.

Upaya yang dilakukan BPJS Kesehatan dalam meningkatkan mutu layanan kesehatan di fasilitas kesehatan antara lain terkait akses, dengan meningkatkan kerjasama dengan fasilitas kesehatan, perluasan Kapitasi Berbasis Komitmen Pelayanan (KBKP), peer review yang dilakukan oleh FKTP untuk menjamin FKTP memiliki kualitas, optimalisasi peran fungsi tim kendali mutu kendali biaya dan pemetaan strategis. Dalam upaya menjamin mutu faskes dilakukan proses kredensialing dan re-kredensialing. Dari sisi persyaratan mutlak seperti izin operasional, izin dokter dan tenaga medis lainnya harus memenuhi syarat dimana dalam ketentuannya untuk faskes pemerintah atau pemda wajib bekerja sama dan apabila terdapat kekurangan, akan dilakukan advokasi untuk pemenuhan persyaratannya. Dari sisi kinerja, dilakukan review terkait mutu pelayanan, orientasi keamanan pasien dan sebagainya.

Lebih lanjut Maria memaparkan, Kapitas Berbasis Komitmen Pelayanan terkait dengan mutu layananan ada beberapa indikator yang harus dicapai seperti (1) angka kontak untuk menilai tingkat aksesibilitas dan pemanfaatan, (2) rasio rujukan non spesialistik untuk mengetahui kualitas layanan, (3) rasio peserta prolanis rutin yang berkunjung di FKTP untuk mengetahui kesinambungan layanan penyakit kronis, dan (4) rasio kunjungan rumah yaitu melakukan kunjungan rumah bagi peserta di wilayah puskesmas.

Terkait data pelayanan, seluruh sumber data pelayanan kesehatan telah tersedia di aplikasi P-Care, namun kualitas dari sumber data yang tersedia di P-Care tergantung dari kualitas input FKTP. Data P-Care digunakan untuk mengevaluasi pelayanan kesehatan yang diberikan FKTP secara nasional, sehingga untuk FKTP dapat menggunakan data P-Care sebagai bahan evaluasi, persiapan akreditasi dan sebagainya. Data P-Care juga dapat digunakan FKTP untuk peer review utilisasi sehingga tidak perlu menunggu data dari BPJS Kesehatan untuk melakukan evaluasi. Secara umum di P-Care dapat dilihat rate kunjungan, rasio kunjungan, dan lain-lain. Disisi lain ada data hasil feed back oleh BPJS Kesehatan terkait dengan KBK, dan hasil feed back dapat disimpan oleh FKTP untuk monitoring dan evaluasi layanan kesehatan yang diberikan FKTP

Pertanyaan dari Dinas Kesehatan Samarinda “kita tahu bahwa data peserta FKTP ini dengan wilayah kerja puskesmas ini berbeda, tetapi ada kegiatan dari FKTP non Pemerintah yang harus di support oleh puskesmas, sebagai contoh kasus FKTP non Pemerintah menemukan kasus demam berdarah, PE nya harus dilakukan oleh puskesmas, nah apabila peserta dari FKTP ini di luar wilayah puskesmas nya, ini agak menyulitkan. apakah bisa konsep kepesertaan dari BPJS ini sesuai dengan wilayah kerja puskesmas? Jawab Maria, “Terkait pemeretaan kepesertaan, konsep kewilayahan, sesuai dengan aturannya memang masih ada kata-kata peserta itu bebas memilih sehingga memang kalau dari BPJS kita mengedukasi peserta, yang pasti harusnya dekat dengan domisili, karena itu adalah peserta itu akan datang ke fasilitas kesehatan dimana itu terdekat dengan domisili ketika mereka membutuhkan pelayanan. Cuma itu tadi karena masih ada ketentuan itu kita juga menghormati peserta”

Reporter : Candra, SKM., MPH

rep formut tj

IHQN XIII, Yogyakarta: Pada permenkes 11 tahun 2017 setiap fasilitas kesehatan wajib mengupayakan keselamatan pasien dengan tujuan menyediakan sistem asuhan yang lebih aman denga ciri-cirinya yaitu assesment risiko, identifikasi dan pengelolaan risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan dampak tindak lanjutnya, implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko dan mencegah terjadinya cedera, dan mencegah terjadinya cedera

Pada pasal 5 ayat 1 jelas menjelaskan, setiap faskes wajib menyelenggarakan keselamatan pasien. “Jadi ini tidak bisa ditawar, wajib harus di laksanakan”. Ujar dr. Kuntjoro. Pada ayat 2, untuk menyelenggarakan keselamatan pasien perlu dibentuk standar keselamatan pasien, sasaran keselamatan pasien dan tujuh langkah menuju keselamatan pasien.

Sasaran keselamatan pasien harus ditetapkan antara lain (1) Ketika pasien datang harus dilakukan identifikasi pasien dengan benar, ketika memberikan tindakan, memberikan obat, identifikasi pasien harus dilakukan dengan benar; 2) Komunikasi efektif dilakukan antara pemberi pelayanan dan pasien, juga komunikasi antar pemberi pelayanan pada waktu konsultasi; 3) Meningkatkan keamanan obat yang harus di waspadai; 4) memastikan lokasi pembedahan, prosedur, dan pembedahan pada pasien yang benar; 5) Mengurangi risiko infeksi akibat perawatan kesehatan; 6) Mengurangi risiko cedera pasien terjatuh dengan menggunakan skala risiko assesment

Dalam mengimplementasikan keselamatan pasien perlu dibentuk tim keselamatan pasien yang bertanggung jawab langsung kepada pimpinan fasilitas kesehatan. Yang terlibat dalam tim keselamatan pasien ini berasal dari unsur manajemen dan unsur praktisi klinis yang nantinya akan melakukan analisis apabila terjadi insiden keselamatan pasien yang masuk kategori ekstrim dan tinggi.

Mutu dan keselamtan pasien tidak bisa dipisahkan, begitu juga dengan enam dimensi tidak bisa dipilih satu-satu, semuanya harus serentak. Upaya mengimplementasikan di puskesmas melalui kebijakan internal, pedoman mutu dan keselamatan pasien yang akan diturunkan pada SOP. Berdasarkan kajian indikator maka perlu disusun rencana program peningkatan mutu dan keselamtan pasien. Setiap program memiliki kegiatan yang dibuat kerangka acuannya untuk memudahkan pelaksanaan.

Pada sesi ini dibuka tanya jawab, “Kalau tadi kata dokter Tjahjono harus yang menyampaikan hak pasien adalah dokter, dengan pasien berembuk, kalau kita bacakan semua, itu gimana maksudnya, apakah setiap pasien kita sampaikan teknisnya atau bagaiamana, atau ketika ada masalah?” dr. Tjahjono menjawab “Keselamatan pasien tepatnya keselamatan sasaran di UKM itu memang diminta dalam standar akreditasi, makanya register risiko itu harus dibuat baik untuk pelayanan klinis maupun pelayanan UKM. Itu tiap program UKM di puskesmas harus dianalisis, apa sih risiko yang mungkin terjadi ketika kegiatan itu dilakukan”

Reporter : Candra, SKM., MPH

rep formut

IHQN XIII-Yogyakarta: Wearable Device adalah sensor dan alat yang menempel di tubuh dimana pengunaannya mengacu pada teknologi elektronik atau komputer yang digabungkan di dalam pakaian dan nyaman dipakai. Alat elektronik yang kita pakai sehari-hari seperti jam tangan akan menjadi wearable device apabila memiliki konektifitas dan dapat terhubung dengan alat-alat canggih seperti laptop, ucap dr. Nurhadi.

Teknologi Wearable Device sangat memiliki dampak yang besar di bidang kesehatan dan kebugaran. Saat ini terdapat banyak jenis Wearable Device seperti jam tangan pintar dan gelang pintar. Beberapa fitur standar yang terdapat dalam jam tangan pintar atau gelang pintar antara lain penghitung jumlah langkah, pemantauan tidur, pemantauan detak jantung 24 jam, GPS, pengukur tekanan darah, pengukur suhu dan lain sebagainya. Hal ini dapat memberikan self monitoring bagi penggunanya.

Fitur-fitur wearable device tentunya akan sangat berguna apabila dapat digunakan oleh ibu hamil dan bersalin. Penghitung jumlah langkah dan lokasi GPS dapat menjadi bukti bahwa ibu melakukan aktivitas fisik yang cukup, pemantauan tidur dapat menunjukkan kualitas tidur yang baik, pemantauan detak jantung, suhu, tekanan darah, pernafasan secara real time, dapat memprediksi lebih awal ibu tersebut mengalami suatu keadaan kegawatan daruratan. Karena tidak satupun kegawatdaruratan ibu hamil secara tiba-tiba. Hal yang sebenarnya terjadi adalah kondisi menuju kegawatdaruratan tersebut tidak terpantau secara baik dan terus menerus.

Selain dapat digunakan untuk individu, wearable device ini bisa dimanfaatkan oleh institusi kesehatan seperti rumah sakit dan dinas kesehatan. Untuk manajemen rumah sakit misalnya selama ini continues monitoring hanya ada di ICU, seorang yang sudah bisa pulang tapi membutuhkan pemantauan, kita bisa menggunakan teknologi ini. Alat-alat ini tidak hanya untuk pasien tapi juga untuk memobilisasi penelitian kesehatan ataupun dokter, bidan, perawat, yang sedang berada dirumah sakit tersebut. Beberapa bahkan sudah menggunakan alat wearable device ini untuk kepatuhan cuci tangan dari tenaga kesehatan yang ada dirumah sakit. Bisa juga dipakai untuk di pusat rehabilitasi, orang tua yang membutuhkan pengawasan khusus.

Wearable device menawarkan peluang baru untuk mengukur gaya hidup dan perilaku secara akurat dan mendorong perubahan perubahan gaya hidup menuju sehat. Wearable device juga dapat membantu meningkatkan mutu pelayanan kesehatan melalui akurasi data dan kemudahan pemantauan.

Reporter: Candra, SKM., MPH

 

paralel1 3

Poster 1 - dr. Muhammad Ardian C.L.,dr.,Sp.OG.,M.Kes (RSP UNAIR)

Infeksi nosokomial pada daerah operasi masih cukup tinggi pada tahun 2017, standarnya 2% malah 2,5% di lokasi penelitian. Pendekatan dengan ICRA (manajemen risiko) untuk menyelesaikan kasus nosokomial. Studi penelitian dengan pendekatan kualitatif deskriptif.

Temuan pertama, terdapat penemuan kuman pada alat, didapatkan tromol yang rusak hanya diisolasi saja dan tidak ada pelaporan mengenai alat yang rusak kepada pihak manajemen. Temuan kedua, kultur udara diruang operasi didapatkan angka diatas rata-rata. Temuan ketiga, para dokter skrubing (cuci tangan) lebih cepat jika dibandingkan dengan tenaga perawat dan dokter muda karena semakin senior makin cepat cuci tangannya.

Perbaikan-perbaikan terus dilakukan dan masih memerlukan waktu serta evaluasi akan dilakukan pada semester kedua tahun 2017. Adanya pendekatan manejerial dengan pendekatan ICRA pencegahan kasus ILO/ IDO dapat teratasi dalam kurun waktu 2 bulan terakhir dan diperlukan leadership dan koordinasi agar dapat tercapai.

Dalam sesi tanya jawab, untuk dr. Ardian mendapatkan satu pertanyaan yaitu pengendalian kasus nosokomial di Rumah Sakit disebabkan oleh tutup tomol yang rusak, bisa dijelaskan pada aspek manajemen dan sistemnya?, pertanyaan ini langsung dijawab oleh pembicara bahwa penemuan kasus nosokomial pertama kali ditemukan di Rumah Sakit bukan pada Tim NISSC melainkan pada tim mikrobiologi. Rumah Sakit melakukan sosialiasi kepada seluruh dokter dan perawat dan kami lakukan monitoring dan apabila terdapat kasus tidak secara ramai melainkan lakukan pelaporan untuk ditindaklanjuti secara baik dan benar.

Poster 2 - dr. Linda Dimyati (RS Mata Dr. YAP Yogyakarta)

Peningkatan mutu di Rumah Sakit perlu adanya berkesinambungan dalam mengatasi mutu pelayanan di Rumah Sakit. Rumah Sakit Mata Dr. YAP telah terakreditasi paripurna sejak tahun 2015 dan saat ini masih mempertahankan, akan tetapi adanya akreditasi tidak membuat indikator mutu menjadi lebih baik. Sehingga dibutuhkan suatu indikator mutu dengan ditetapannya SK Direktur.

Peningkatan kompetensi SDM diperlukan guna pelatihan mutu menjadi mandaroty training wajib bagi seluruh karyawan Rumah Sakit, pelatihan/workshop mutu dan manajemen resiko, dan penetapan indikator Rumah Sakit. Adanya budaya mutu dalam Rumah Sakit diharapkan mampu meningkatkan indikator mutu dengan melibatkan semua karyarwan yang ada di Rumah Sakit.

Dalam sesi tanya jawab, untuk dr. Linda mendapatkan satu pertanyaan yaitu adakah dana alokasi khusus untuk mendukung indikator mutu?, pertanyaan ini langsung dijawab oleh pembicara bahwa indikator kinerja mutu dibagi atas 2 yaitu basic kompetensi dan kinerja unit/ Individu. Karyawan Rumah Sakit yang kinerjanya baik sudah mendapatkan alokasi dana berupa reward bagi karyawan yang berprestasi dan bersikap baik.

Reporter : Agus Salim, S.KM., MPH