Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

agenda

rep formut

IHQN XIII-Yogyakarta: Wearable Device adalah sensor dan alat yang menempel di tubuh dimana pengunaannya mengacu pada teknologi elektronik atau komputer yang digabungkan di dalam pakaian dan nyaman dipakai. Alat elektronik yang kita pakai sehari-hari seperti jam tangan akan menjadi wearable device apabila memiliki konektifitas dan dapat terhubung dengan alat-alat canggih seperti laptop, ucap dr. Nurhadi.

Teknologi Wearable Device sangat memiliki dampak yang besar di bidang kesehatan dan kebugaran. Saat ini terdapat banyak jenis Wearable Device seperti jam tangan pintar dan gelang pintar. Beberapa fitur standar yang terdapat dalam jam tangan pintar atau gelang pintar antara lain penghitung jumlah langkah, pemantauan tidur, pemantauan detak jantung 24 jam, GPS, pengukur tekanan darah, pengukur suhu dan lain sebagainya. Hal ini dapat memberikan self monitoring bagi penggunanya.

Fitur-fitur wearable device tentunya akan sangat berguna apabila dapat digunakan oleh ibu hamil dan bersalin. Penghitung jumlah langkah dan lokasi GPS dapat menjadi bukti bahwa ibu melakukan aktivitas fisik yang cukup, pemantauan tidur dapat menunjukkan kualitas tidur yang baik, pemantauan detak jantung, suhu, tekanan darah, pernafasan secara real time, dapat memprediksi lebih awal ibu tersebut mengalami suatu keadaan kegawatan daruratan. Karena tidak satupun kegawatdaruratan ibu hamil secara tiba-tiba. Hal yang sebenarnya terjadi adalah kondisi menuju kegawatdaruratan tersebut tidak terpantau secara baik dan terus menerus.

Selain dapat digunakan untuk individu, wearable device ini bisa dimanfaatkan oleh institusi kesehatan seperti rumah sakit dan dinas kesehatan. Untuk manajemen rumah sakit misalnya selama ini continues monitoring hanya ada di ICU, seorang yang sudah bisa pulang tapi membutuhkan pemantauan, kita bisa menggunakan teknologi ini. Alat-alat ini tidak hanya untuk pasien tapi juga untuk memobilisasi penelitian kesehatan ataupun dokter, bidan, perawat, yang sedang berada dirumah sakit tersebut. Beberapa bahkan sudah menggunakan alat wearable device ini untuk kepatuhan cuci tangan dari tenaga kesehatan yang ada dirumah sakit. Bisa juga dipakai untuk di pusat rehabilitasi, orang tua yang membutuhkan pengawasan khusus.

Wearable device menawarkan peluang baru untuk mengukur gaya hidup dan perilaku secara akurat dan mendorong perubahan perubahan gaya hidup menuju sehat. Wearable device juga dapat membantu meningkatkan mutu pelayanan kesehatan melalui akurasi data dan kemudahan pemantauan.

Reporter: Candra, SKM., MPH

 

paralel1 3

Poster 1 - dr. Muhammad Ardian C.L.,dr.,Sp.OG.,M.Kes (RSP UNAIR)

Infeksi nosokomial pada daerah operasi masih cukup tinggi pada tahun 2017, standarnya 2% malah 2,5% di lokasi penelitian. Pendekatan dengan ICRA (manajemen risiko) untuk menyelesaikan kasus nosokomial. Studi penelitian dengan pendekatan kualitatif deskriptif.

Temuan pertama, terdapat penemuan kuman pada alat, didapatkan tromol yang rusak hanya diisolasi saja dan tidak ada pelaporan mengenai alat yang rusak kepada pihak manajemen. Temuan kedua, kultur udara diruang operasi didapatkan angka diatas rata-rata. Temuan ketiga, para dokter skrubing (cuci tangan) lebih cepat jika dibandingkan dengan tenaga perawat dan dokter muda karena semakin senior makin cepat cuci tangannya.

Perbaikan-perbaikan terus dilakukan dan masih memerlukan waktu serta evaluasi akan dilakukan pada semester kedua tahun 2017. Adanya pendekatan manejerial dengan pendekatan ICRA pencegahan kasus ILO/ IDO dapat teratasi dalam kurun waktu 2 bulan terakhir dan diperlukan leadership dan koordinasi agar dapat tercapai.

Dalam sesi tanya jawab, untuk dr. Ardian mendapatkan satu pertanyaan yaitu pengendalian kasus nosokomial di Rumah Sakit disebabkan oleh tutup tomol yang rusak, bisa dijelaskan pada aspek manajemen dan sistemnya?, pertanyaan ini langsung dijawab oleh pembicara bahwa penemuan kasus nosokomial pertama kali ditemukan di Rumah Sakit bukan pada Tim NISSC melainkan pada tim mikrobiologi. Rumah Sakit melakukan sosialiasi kepada seluruh dokter dan perawat dan kami lakukan monitoring dan apabila terdapat kasus tidak secara ramai melainkan lakukan pelaporan untuk ditindaklanjuti secara baik dan benar.

Poster 2 - dr. Linda Dimyati (RS Mata Dr. YAP Yogyakarta)

Peningkatan mutu di Rumah Sakit perlu adanya berkesinambungan dalam mengatasi mutu pelayanan di Rumah Sakit. Rumah Sakit Mata Dr. YAP telah terakreditasi paripurna sejak tahun 2015 dan saat ini masih mempertahankan, akan tetapi adanya akreditasi tidak membuat indikator mutu menjadi lebih baik. Sehingga dibutuhkan suatu indikator mutu dengan ditetapannya SK Direktur.

Peningkatan kompetensi SDM diperlukan guna pelatihan mutu menjadi mandaroty training wajib bagi seluruh karyawan Rumah Sakit, pelatihan/workshop mutu dan manajemen resiko, dan penetapan indikator Rumah Sakit. Adanya budaya mutu dalam Rumah Sakit diharapkan mampu meningkatkan indikator mutu dengan melibatkan semua karyarwan yang ada di Rumah Sakit.

Dalam sesi tanya jawab, untuk dr. Linda mendapatkan satu pertanyaan yaitu adakah dana alokasi khusus untuk mendukung indikator mutu?, pertanyaan ini langsung dijawab oleh pembicara bahwa indikator kinerja mutu dibagi atas 2 yaitu basic kompetensi dan kinerja unit/ Individu. Karyawan Rumah Sakit yang kinerjanya baik sudah mendapatkan alokasi dana berupa reward bagi karyawan yang berprestasi dan bersikap baik.

Reporter : Agus Salim, S.KM., MPH

 

rep formut tj

IHQN XIII, Yogyakarta: Pada permenkes 11 tahun 2017 setiap fasilitas kesehatan wajib mengupayakan keselamatan pasien dengan tujuan menyediakan sistem asuhan yang lebih aman denga ciri-cirinya yaitu assesment risiko, identifikasi dan pengelolaan risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan dampak tindak lanjutnya, implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko dan mencegah terjadinya cedera, dan mencegah terjadinya cedera

Pada pasal 5 ayat 1 jelas menjelaskan, setiap faskes wajib menyelenggarakan keselamatan pasien. “Jadi ini tidak bisa ditawar, wajib harus di laksanakan”. Ujar dr. Kuntjoro. Pada ayat 2, untuk menyelenggarakan keselamatan pasien perlu dibentuk standar keselamatan pasien, sasaran keselamatan pasien dan tujuh langkah menuju keselamatan pasien.

Sasaran keselamatan pasien harus ditetapkan antara lain (1) Ketika pasien datang harus dilakukan identifikasi pasien dengan benar, ketika memberikan tindakan, memberikan obat, identifikasi pasien harus dilakukan dengan benar; 2) Komunikasi efektif dilakukan antara pemberi pelayanan dan pasien, juga komunikasi antar pemberi pelayanan pada waktu konsultasi; 3) Meningkatkan keamanan obat yang harus di waspadai; 4) memastikan lokasi pembedahan, prosedur, dan pembedahan pada pasien yang benar; 5) Mengurangi risiko infeksi akibat perawatan kesehatan; 6) Mengurangi risiko cedera pasien terjatuh dengan menggunakan skala risiko assesment

Dalam mengimplementasikan keselamatan pasien perlu dibentuk tim keselamatan pasien yang bertanggung jawab langsung kepada pimpinan fasilitas kesehatan. Yang terlibat dalam tim keselamatan pasien ini berasal dari unsur manajemen dan unsur praktisi klinis yang nantinya akan melakukan analisis apabila terjadi insiden keselamatan pasien yang masuk kategori ekstrim dan tinggi.

Mutu dan keselamtan pasien tidak bisa dipisahkan, begitu juga dengan enam dimensi tidak bisa dipilih satu-satu, semuanya harus serentak. Upaya mengimplementasikan di puskesmas melalui kebijakan internal, pedoman mutu dan keselamatan pasien yang akan diturunkan pada SOP. Berdasarkan kajian indikator maka perlu disusun rencana program peningkatan mutu dan keselamtan pasien. Setiap program memiliki kegiatan yang dibuat kerangka acuannya untuk memudahkan pelaksanaan.

Pada sesi ini dibuka tanya jawab, “Kalau tadi kata dokter Tjahjono harus yang menyampaikan hak pasien adalah dokter, dengan pasien berembuk, kalau kita bacakan semua, itu gimana maksudnya, apakah setiap pasien kita sampaikan teknisnya atau bagaiamana, atau ketika ada masalah?” dr. Tjahjono menjawab “Keselamatan pasien tepatnya keselamatan sasaran di UKM itu memang diminta dalam standar akreditasi, makanya register risiko itu harus dibuat baik untuk pelayanan klinis maupun pelayanan UKM. Itu tiap program UKM di puskesmas harus dianalisis, apa sih risiko yang mungkin terjadi ketika kegiatan itu dilakukan”

Reporter : Candra, SKM., MPH

kuntIHQN-Yogyakarta. Dalam seminar yang dibawakan oleh dr. Kuntjoro Adi Purjanto, M.Kes sebagai Ketua PERSI ini, beberapa hal yang disampaikan adalah untuk memerankan seorang Direktur tampaknya akan lebih paham jika sebagai arsitektur dalam manajemen, yang paling sulit dan penting adalah “Management Mindset”. Diperlukan seorang Direktur yang bukan sekedar manajer, bukan sekedar leader, mempunyai jiwa intership, mempunyai jiwa interprenuership dan driver dalam mengubah attitute.

Industri Rumah Sakit berbeda dengan industri lainnya dan masih ada Direktur Rumah Sakit yang berpikir sebagai passenger bukan sebagai driver. Seharusnya seorang Direktur Rumah Sakit berperan dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan pelaporan program PMKP di Rumah Sakit, mendorong budaya mutu dan keselamatan pasien di Rumah Sakit, dan membangun sistem manajemen mutu dan keselamatan.

Dalam sesi tanya jawab, pembicara mendapatkan satu pertanyaan yaitu melihat konteks Rumah Sakit, perubahan yang banyak dan semua harus segera diselesaikan, adakah perubahan atau hak-hak Rumah Sakit dalam akreditasi untuk tahun 2019?, pertanyaan ini langsung dijawab oleh pembicara bahwa peran persi saat ini sedang begerak menjadi power dengan melalui pemegang kebijakan. Tenaga di Rumah Sakit nantinya akan dibagi menjadi 3 bilik yakni pertama, tenaga yang ahli dibidang teknis, kedua, tenaga yang berkompetensi leadership, dan tenaga yang ahli dalam public relation.

Reporter : Agus Salim, S.KM., MPH