Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

agenda

Term of Reference

Bimbingan Teknis Penerapan Hazard Vulnerable Analysis di RS dan Puskesmas

  Latar Belakang

Rumah sakit dan Puskesmas sebagai tempat yang dirasa aman oleh orang, ternyata juga memiliki risiko bahaya yang lebih besar mengancam nyawa manusia, khususnya pasien dan staf yang ada didalamnya. Material dan teknologi yang digunakan oleh manusia berpotensi menyebabkan terjadinya bahaya. Pada standar akreditasi RS dan Puskesmas terkait dengan Bab Peningkatan Mutu dan Keselamatan Pasien (PMKP), RS dan Puskesmas diminta untuk melakukan Hazard Vulnerable Analysis (HVA). HVA digunakan untuk mengidentifikasi hazards berikut dengan efek langsung dan tidak langsung terhadap RS dan Puskesmas serta melakukan tindak lanjut dari hasil analisa tersebut.

  Tujuan

  1. Menganalisa bahaya (hazards) dan kerentanan (vulnerable) yang mungkin timbul terkait dengan bencana
  2. Menetapkan risiko yang akan dihadapi oleh RS dan Puskesmas bila bencana tersebut terjadi
  3. Menyedikan informasi penting bagi pimpinan RS dan Puskesmas untuk menghadapi bahaya tersebut


Peserta

  1. Komite mutu dan keselamatan pasien RS dan Puskesmas
  2. Unit terkait


Tim Fasilitator

  1. dr. Hanevi Djasri MARS
  2. Eva Tirtabayu Hasri S.Kep.,MPH


  Waktu & Tempat

Kegiatan diselenggarakan di Yogyakarta bulan 19 April 2017

Reportase

WAKTU MATERI / KEGIATAN HARI I Fasilitator
07.30 – 08.00 Registrasi  
08.00 – 08.30 Pengantar Pelatihan dan Pre Test  
08.30 – 09.15 Sesi 1: Manajemen Risiko Hanevi Djasri
09.15 – 10.00 Sesi 2: Konsep Dasar HVA Hanevi Djasri
10.00 – 10.15 Coffee Break  
10.15 – 12.00 Sesi 3: Teori Langkah-langkah Melakukan HVA
  • Identifikasi hazard
  • Menentukan nilai probability
  • Menentukan nilai severity
  • Menentukan nilai preparedness
Hanevi Djasri
12.00 – 13.00 Lunch break  
13.00 – 15.30 Sesi 4: Praktek Penyusunan HVA di Rumah Sakit Tim
15.30 – 16.00 Sesi 5: Presentasi Hasil HVA Tim
16.00 – 16.30 Sesi 6: Penyusunan POA dan Post Test Tim

IHQN – Manado, Dr. dr. Khalid Saleh, Sp.PD-KKV, FINASIM, MARS. Membahas mengenai elektronik katalog (e-Katalog) obat dan alat kesehatan (alkes) yang adalah sistem informasi elektronik yang memuat daftar, jenis, spesifikasi teknis dan harga dari obat dari berbagai penyedia barang/ jasa. e-Katalog merupakan terobosan untuk mempermudah pengadaan obat dan alat kesehatan di RS dalam era JKN. Tidak dapat dipungkiri obat dan alat kesehatan merupakn komponen penting dalam pelayanan kesehatan di RS. Tidak tersedianya obat dan alat kesehatan di RS menjadi hambatan dalam pelayanan kesehatan RS. Pengadaan obat dan alat kesehatan yang berbelit juga turut menghambat proses pelayanan di RS.

Melalui e-Katalog pengadaan obat dan alkes yang selama ini terdapat celah untuk terjadi penyimpangan dapat diminimalisir. Karena harga dan kualitas barang yang terdaftar dalam e-Katalog telah tercantum dengan jelas, sehingga tidak terjadi pembengkakan biaya karena siapapun dapat menjadi pengawas. Pihak pemerintah juga dapat dengan bebas memilih produk yang dibutuhkan sesuai dengan anggaran yang tersedia.

Namun, dalam pelaksanaan terdapat kendala yaitu pemeanan obat secara elektronik masih bermasalah sehingga harus memesan manual melalui perusahaan farmasi, masih ada obat yang dibutuhkan namun tidak terdaftar dalam e-Katalog, stok obat yangdibutuhkan terkadang tidak cukup (kehabisan stok), akses dalam pengiriman membutuhkan waktu yang lama, dan alat kesehatan masih kurang dalam e-katalog.

Untuk menghadapi kendala-kendala yang terjadi perlu dilakukan monitoring dan evaluasi dalam penyelesaian atau untuk peningkatan sistem ini . Dalam evaluasi yang telah dilakukan ternyata terjadi peningkatan produk yang terdaftar dalam e-katalog serta semakin banyak rumah sakit yang menggunakan sistem ini.

Ada beberapa solusi yang telah disediakan yaitu pengusulan rencana kebutuhan obat (RKO) yang harus lebih jelas, harus adanya kebijakan dari direktur tentang alur pengadaan apabila obat/alkes kosong dari penyedia, dan yang tak kalah penting adalah penulisan/ ejaan nama obat dalam e-katalog harus diseragamkan agar tidak terjadi kekeliruan.

Pada saat diskusi berlangsung terdapat pertanyaan menarik, obat yang dibutuhkan segera tapi stok kosong di produsen, dan hanya tersedia obat pengganti dengan harga yang 4x lebih mahal. Apa yang harus dilakukan dalm menghadapi masalah ini?. Tanggapan Dr. dr. Khalid Saleh, Sp.PD-KKV, FINASIM, MARS adalah untuk menghadapi hal ini haruslah pihak rumah sakit mementingkan pasien, dengan membeli obat demi keselamatan pasien. Cara lain yang dapat dilakukan adalah menjalin mitra dengan rumah sakit lain dan melakukan peminjaman obat, jika nantinya stok telah tersedia diganti dalam bentuk obat yang sama.

Reporter: Sheila Gabriela Tamawiwy

IHQN/MANADO. Dalam mengukur cakupan efektif pelayanan kesehatan di Puskesmas dimana terdapat 4 esensi Jaminan Kesehatan Semesta yang terdiri dari penguatan sistem kesehatan, menjamin pelayanan yang terjangkau, meningkatkan akses terhadap pelayanan yang bermutu dan Membangun Kapasitas. "Apalah artinya kita berbondong – bondong membawa masyarakat ke puskesmas ataupun ke Rumah Sakit tapi kita tidak bisa memberikan pelayanan yang bermutu?" kata Prof. dr. Adi Utarini, MSc, MPH, PhD.

Cakupan Efektif adalah sebagian dari manfaat kesehatan potensial, yang lebih kepada sistem kesehatan yang sesungguhnya diterima dalam pelayanan sesuai dengan kapasitas. Definisi mutu mempertimbangkan beberapa aspek dimensi mutu yang perlu diperhatikan, diantaranya safety/keamanan, patient focus(Pelayanan yang berfokus pada pasien), Technical kompetence (Kompetens teknis yang di miliki oleh pemberi layanan kesehatan).

Dalam pengukuran cakupan efektif perlu dipahami perbedaan antara konsep "layanan cakupan" dan "layanan cakupan yang efektif" contohnya seberapa banyak individu yang mengakses puskesmas untuk pelayanan hipertensi. Sedangkan dalam cakupan efektif perlu diketahui berapa individu yang membutuhkan pelayanan hipertensi menurut usia dan jumlah pasien hipertensi dengan tekanan darah yang terkontrol.

Dalam mengukur cakupan efektif diperlukan tiga pertimbangan utama yaitu kebutuhan dan prioritas kesehatan secara umum, strategi pengumpulan data kebutuhan, pemanfaatan dan mutu, dan sumber daya yang tersedia.

Beberapa rekomendasi dalam upaya untuk melakukan pengukuran cakupan agar lebih efektif yaitu : 1. Identifikasi kebutuhan dan prioritas. Dimana data-data nasional penguat yang menjadi kebutuhan prioritas masalah kesehatan di Sulawesi Utara dan evaluasi biaya akan intervensi/penanganan yang dilakukan. 2. strategi pengukuran, dan 3. membangun kapasitas.

Dalam buku panduan WHO terdapat indikator monitoring Universal Health Coverege yang secara garis besar terbagi atas promosi-pencegahan dan pengobatan. Ada beberapa indikator yang sudah cukup lama kita lihat tetapi ada juga beberapa indikator yang baru seperti prevalensi indikator tidak merokok selama satu bulan terakhir pada orang dewasa untuk umur lebih dari 15 tahun dimana data ini mungkin dihasilkan dari survey khusus, juga kemoterapi pencegahan NTDs (penyakit tropis yang masih terabaikan). Di sisi pengobatan TBC dan juga tantangan terdapat pada hipertensi dan diabetes apakah kita bisa mengukur sebarapa banyak yang terkontrol? dan yang terakhir adalah cakupan operasi katarak yang dimasukkan dalam salah satu ukuran monitoring Universal Health Coverege.

Menyetir apa yang disampaikan WHO tentang jaminan kesehatan semesta bahwa sebuah intervensi Kesehatan Masyarakat yang sangat signifikan dan sebagai upaya terhadap hal-hal baru sangat perlu di dukung dengan kegiatan-kegiatan penelitian terkait dengan penelitian kesehatan global yang melonjak. "Investasi jangka panjang di lembaga penelitian yang menghasilkan bukti/hasil merupakan penentuan pembuatan kebijakan-kebijakan yang lebih sesuai dengan permasalahan yang ada di daerah kita masing-masing" ini adalah kutipan yang disampaikan Prof. dr. Adi Utarini, MSc, MPH, PhD mengakhiri materi yang ia bawakan.

Reporter: Maria. A. X. Egam

 

Memasuki hari kedua dalam Forum Mutu IHQN pada tanggal 22 September 2016 masih ada bebrapa materi yang sangat menarik untuk diikuti baik pada sesi diskusi panel maupun sesi Keynote speaker. Pada sesi pagi hari ini ada tiga pembicara dalam satu panel diskusi. Pembicara pertama adalah dr. Jemmy Lampus, Mkes. Saat ini beliau menjabat sebagai Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Utara. Tema yang disampaikan adalah Kebijakan Pemenuhan Mutu Pelayanan Kesehatan.

Dalam presentasi beliau memaparkan mengenai tantangan pembangunan bidang kesehatan setelah selesainya MDGs masih perlu dukungan dari tenaga kesehatan. Status ekonomi dan perbaikan status gizi menjadi perhatian khusus di Sulawesi Utara. Tahun 2016 dari MDGs beganti menjadi SDGs, yang menjadi fokus di Sulawei Utara adalah target 3 yaitu Kesehatan Yang Baik. Program kesehatan yang dilakukan terkait dengan target 3 yaitu penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB), pencegahan dan pengobatan penyakit infeksi (HIV/AIDS, TB dan Malaria) serta pencegahan dan penanganan Penyakit Tidak Menular. Program yang direncanakan dan dilaksanakan di Dinas Keshatan Sulawesi Utara harus sejalan dengan program Indonesia Sehat.

Strategi peningkatan akses pelayanan kesehatan, peningkatan mutu pelayanan kesehatan dan regionalisasi rujukan yang terstruktur merupakan target yang dibuat oleh dr. Jemmy untuk meningkatkan angka kesehatan di Sulawei Utara. Puskesmas sebagai pelayanan kesehatan primer juga menjadi penting karena program promotif dan preventif yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di puskesmas bisa membantu dalam menurunkan angka kesakitan dan kematian. Puskesmas yang berada di Sulawesi Utara diharuskan sudah terakreditasi. Dengan puskesmas yang sudah terakreditasi diharapkan pelayanan di UKP dan UKM menjadi lebih baik lagi.

Kesimpulan yang dipaprkan oleh dr. Jemmy yaitu pada peran Puskesmas sebagai pelayananan kesehatan primer yang melaksanakan program promotif dan preventif secara bekualitas. Koordinasi harus juga dilakukan lintas sektor antara Puskesmas dan Bappeda Provinsi/Kabupaten/Kota. Angka keehatan akan naik dengan pelayanan yang berkualitas.

Reporter : Elisa Sulistyaningrum, MPH