Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

agenda

khalidIHQN–MANADO. Indonesian Healthcare Quality Network (IHQN) dalam forum kali ini mengangkat topik Managemen Keselamatan Dalam Pelayanan Bedah di Rumah Sakit, sesi kali ini Dr. dr. Khalid Saleh, Sp.PD-KKV, FINASIM, MARS yang menjadi narasumber. Khalid mengungkapkan, "Keselamatan pasien itu mutlak harus dilakukan" ini disebabkan karena berdasarkan penelitian oleh WHO (2008) pada negara berkembang angka kematian yang berhubungan dengan pembedahan mencapai 5-10% dan infeksi serta komplikasi pasca pembedahan (post-operative) menjadi perhatian yang serius di berbagai negara.

Tindakan pembedahan merupakan proses yang umum terjadi dalam rumah sakit dan bertujuan menyelamatkan pasien oleh karena itu Undang-undang No. 44 Tahun 2009 yang membahas tentang rumah sakit yang di dalamnya mencakup prasarana yang harus memenuhi standar pelayanan, keamanan, serta keselamatan dan kesehatan kerja penyelenggara rumah sakit maka dari itu, tujuan dari manajemen keselamatan dalam pelayanan bedah yaitu meningkatkan keamanan tindakan bedah dengan menciptakan standarisasi prosedur yang aman, mengurangi angka mortalitas, morbiditas, dan disabilitas, serta me-recall memory.

Sikap safety yang membudaya dalam diri setiap tenaga kesehatan, melalui pedoman pelayanan bedah yang telah terstruktur ada 3 komponen penting protokol yaitu proses verifikasi, menandai lokasi yang akan dilakukan operasi, dan time out. Patient Safety di kamar operasi yang menjadi masalah utama bagi rumah sakit yang harus teratur dilakukan antara lain meningkatkan komunikasi, pencegahan Medication Errors, mencegah luka tusuk jarum, memfasilitas lingkungan instalasi bedah yang sehat bebas penyalahgunaan obat dan sebagainya.

Dari semua hal yang terkait dengan pedoman perencanaan ada 10 prinsip pelayanan bedah yang perlu diperhatikan antara lain tim bedah mampu mengoperasi pasien pada lokasi yang tepat, menggunakan cara yang tepat, mengenali dan siap secara efektif, meminimalisasikan risiko infeksi, mencegah ketidaksengajaan, mengkomunikasikan secara efektif segala informasi penting, rumah sakit dan sistem kesehatan menetapkan surveilans rutin tentang surgical capacity, volume, dan result.

Reporter: Ator Nataria

 

 

tilaarIHQN–MANADO. Akses pelayanan kesehatan di rumah sakit "Apakah pelayanan kesehatan sudah dapat dinikmati oleh semua masyarakat Indonesia?" Inilah pertanyaan pembuka yang dilontarkan oleh dr. Christian Tilaar, M.Sc sebagai pembicara. Begitu banyak program kesehatan yang diselenggarakan oleh pemerintah salah satunya adalah BPJS guna untuk memenuhi hak asasi manusia di Indonesia. Pelayanan kesehatan di rumah sakit harus baik dan bermutu, selain itu akses pelayanan kesehatan harus dapat dicapai dimana tidak terhalang oleh keadaan geografis, sosial, ekonomi, organisasi dan bahasa. Hal –hal tersebut sangat mudah dimengerti tapi sulit untuk dilaksanakan.

Pelayanan rumah sakit baik buruknya dapat diukur dengan cara yang sederhana yaitu dari segi petugas rumah sakit dilihat keramahan, pelayanan yang tepat waktu, dokter yang selalu ada dan lain-lain. Dari segi sarana prasarana rumah sakit dilihat air yang cukup, tersedianya listrik, wc/kamar mandi yang memadai dan lain-lain. Kondisi demografi pun mempengaruhi masyarakat untuk datang ke rumah sakit baik dari jarak yang ditempuh, waktu dan biaya. Hal tersebut dapat memotivasi masyarakat untuk berkunjung ke rumah sakit untuk berobat.

Pelayanan kesehatan di RS pun harus efektif, namun faktanya pasien kurang puas dengan pelayanan yang diberikan oleh pemberi pelayanan karena tidak sesuai dengan kebutuhan dan harapan. Maka ada hal-hal yang harus diperhatikan agar tercipta keseimbangan yaitu harus ada komunikasi yang baik antara petugas dan konsumen (masyarakat/pasien), pelayanan yang memperhatikan sosial budaya masyarakat setempat, rumah sakit harus berperan aktif dalam pemberdayaan masyarakat setempat, menjalin komunikasi yang baik dengan semua pemangku kepentingan lintas sektor maupun lintas program baik sektor Pemerintah, Swasta dan Masyarakat sekitar RS dan Manajemen RS hendaknya memperhatikan kesejahteraan karyawan RS.

Di akhir topik ini ada pertanyaan yang dipaparkan oleh dr. Yopi dari Ambon yaitu "Apa saja kiat-kiat yang dilakukan oleh dr. Christian R. Tilaar, M.Sc selaku direktur rumah sakit waktu masih menjabat untuk mengatasi masalah petugas kesehatan yang cepat pulang dan bekerja tidak optimal ?". dr. Christian R. Tilaar M.Sc menjawab, "Hal tersebut harus disesuaikan dengan keadaan dan kondisi, selain itu melakukan pendekatan antar personal. Di satu sisi juga sebagai pelayan kesehatan harus mensyukuri bahwa profesi kita adalah suatu penghargaan yang tidak semua orang bisa dapatkan, jadi marilah kita menjalankan tugas dengan rasa syukur bukan dengan banyak mengeluh".

Reporter: Agriyen Timbayo

 

julitaIHQN/MANADO. Pelayanan primer saat ini merupakan ujung tombak di dalam keberhasilan sistem Jaminan Kesehatan Nasional, terlebih ketika saat ini kita menuju pada Universal Coverage pada 2019. "Bagaimana peranan pelayanan primer ini? Apakah sudah berfungsi sebagai gate keeper dengan baik? Faktanya dana yang dikeluarkan untuk membayar pelayanan primer ini cukup besar, namun yang di level sekunder pun semakin besar. Ini menunjukan fungsi gate keeper yang masih belum berjalan dengan baik" kata Dr. drg. Yulita Hendrartini, AAK.

Untuk mengukur kualitas atau mutu pelayanan di pemberi pelayanan kesehatan primer dilihat dari input, proses dan output. Input dengan sumber daya manusia, obat, infrastruktur, SOP dan SPM yang mempengaruhi. Proses yang mengutamakan pasien (patient centered) dengan memperhatikan lama waktu tunggu, lama konsultasi, prosedur kerja dan output mengenai kepuasan pasien dan status kesehatan. "Dari input, proses, dan output, diharapkan dapat diakses dengan P-Care. BPJS sebagai satu-satunya badan pengelola sistem jaminan kesehatan bisa mengembangkan sistem informasinya bagi pihak Dinas Kesehatan yang mengawasi maupun dari provider itu sendiri," ujar ahli kebijakan pembiayaan dan manajemen asuransi kesehatan ini.

Enam dimensi mutu pelayanan primer yaitu patient safety, patient centered, efektif, efisien, timely dan adil. Fungsi P-Care yang ada di provider primer yang bekerja sama dengan BPJS memiliki banyak kendala. Saat ini P-Care berfungsi dalam administrasi pelayanan, elegibilitas, utilisasi, persetujuan rujukan, keuangan dan screening yang masih belum efektif karena hanya mendeteksi peserta yang berkunjung ke provider, sementara peserta yang tidak berkunjung, tidak ditangani segera. Provider dapat secara aktif dan otomatis meningkatkan mutu layanan kesehatan dengan berfokus untuk melakukan perbaikan pada area yang membutuhkan. Stakeholder pun mendorong provider primer untuk melakukan pelayanan komprehensif.

Pengembangan P-Care yang dibutuhkan dalam keenam dimensi mutu yakni dengan adanya ID dokter, profil PPK dan sarana PPK dalam software sebagai data untuk menjamin patient safety. Kepuasan pasien yang diukur dengan dikreasikan dalam software P-Care menggunakan emoticon sebagai bahan evaluasi dalam pemenuhan mutu patient centered dan adil. Diagnosa dan data obat yang perlu untuk dimasukan dalam P-Care agar dapat efektif dalam pemberian layanan kesehatan. Pemasukan jam dan hari pelayanan dalam software pun dibutuhkan untuk memperkuat dimensi mutu timely. Untuk menunjang layanan dibutuhkan perbaikan P-Care dengan mengembangkan P-Care agar dapat memuat data per provider yakni profiling provider, penggunaan obat per pasien, kepuasan pasien, timer, dan database per pasien untuk monitoring dan alert system.

Implementasi P-Care masih belum optimal untuk mengukur kualitas pelayanan kesehatan secara komprehensif, P-Care berfungsi administrasi dan sebagai instrumen untuk utilisasi, perbaikan pada P-Care agar dapat menilai setiap dimensi mutu dan perlu dikembangkan standar kinerja pemberi pelayanan kesehatan primer yang mengacu pada 6 dimensi mutu.

Reporter : Gloria M. S. Rusli

 

ihqntjahMengawali sesi "Mengukur dan Meningkatkan Upaya Mengutamakan Pasien", dr. Tjahjono Kuntjoro mempresentasikan topik tentang "Re-design Alur Pelayanan Menggunakan FMEA". Tjahyono menyampaikan bahwa ada 3 hal yang mendasari dilakukannya desain ulang selain sebagai persyaratan akreditasi RS dan Puskesmas, yaitu kebutuhan akan efisensi, minimalisasi waste serta minimalisasi risiko. Dalam rangka memiminimalkan risiko inilah metode FMEA digunakan sebagai bagian dari manajemen risiko pro aktif di sarana pelayanan kesehatan.

FMEA merupakan alat manajemen risiko untuk mengkaji suatu prosedur (SOP) secara rinci, dan mengenali model-model kegagalan atau kesalahan pada prosedur tersebut. Selanjutnya dilakukan penilaian terhadap tiap model kegagalan tadi dengan mencari penyebab, identifikasi penyebab dan mencari solusi dengan melakukan perubahan terhadap disain atau prosedur tadi.

Diperlukan beberapa langkah dalam penerapan FMEA. Diawali dengan pembentukan tim berisi individu yang terlibat dalam suatu proses atau pelaksana SOP. Berikutnya adalah identifikasi terhadap model-model kegagalan dan penyebab kegagalan serta akibat jika terjadi kesalahan/kegagalan tadi. Setelah itu dilakukan penilaian dan penghitungan risiko terhadap tiap model kegagalan dengan menetapkan Risk Priority Number (RPN). Diperlukan juga penentuan cut of Point dan menetapkan kegiatan yang diperlukan sebelum dilakukan validasi terhadap solusi yang dipilih. Diakhiri dengan penghitungan kembali RPN setelah dlakukan uji coba perbaikan.

Aspek subjektivitas sangat mungkin terjadi pada tahap penilaian risiko untuk memunculkan RPN. Oleh karenanya diperlukan panduan skala risiko dan kecermatan dalam penggunaannya agar aspek subjektivitas dapat diminimalkan. Panduan skala risiko ini dapat diambil dari banyak sumber untuk disesuaikan dengan kebutuhan penerapan FMEA di masing-masing sarana pelayaan kesehatan.