Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

agenda

ihqnadiPengalaman pasien (patient experience) dapat menjadi cara yang efektif bagi sarana pelayanan kesehatan dalam mendapatkan masukan untuk perbaikan mutu pelayanannya. Hal tersebut menjadi ide dasar dari presentasi yang disampaikan dr. Adi Utarini. Selama ini, mengukur kepuasan pasien (patient satisfaction) merupakan hal yang lazim dilakukan manakala sarana pelayanan kesehatan ingin mendapatkan informasi sebagai dasar perbaikan mutu. Namun menggali kepuasan pasien dianggap memiliki beberapa kelemahan, diantaranya adalah konsepnya yang terlalu luas sehingga tidak dapat didefinisikan dengan baik.

Lain halnya dengan pengalaman pasien, yang dapat mengungkapkan patient journey. Pengalaman pasien dapat menggali informasi dari pasien hal apa yang sebenarnya terjadi saat mendapat pelayanan tertentu, episode tertentu, di fasilitas pelayanan kesehatan. Dengan pengalaman pasien, dapat diukur aspek yang dianggap penting oleh pasien ataupun memunculkan hal-hal yang dapat meningkatkan mutu pelayanan menurut pandangan pasien.

Pengukuran pengalaman pasien dapat dilakukan dengan dua cara,yaitu kuantitatif maupun kualitatif. Secara kuantitatif dengan melakukan survei tatap muka, telepon survei, dan cara survei jarak jauh lainnya. Sedangkan cara kualitatif dengan melakukan wawancara mendalam, Focus Group Discussion, patient Diary. Sudah cukup banyak contoh instrumen pengalaman pasien yang bisa digunakan di rumah sakit maupun primary care.

Satu closing statement dari Adi yang menggambarkan pentingnya pengalaman pasien sebagai dasar perbaikan mutu pelayanan. Disebutkan bahwa tidak semua pasien yang puas terhadap pelayanan dapat menyatakan kepuasannya, begitu juga tidak semua pasien yang tidak puas terhadap pelayanan yang diterima dapat menyatakan ketidakpuasannya.

 

 

ihqnkuntjoroIHQN-MANADO Sistem jaminan kesehatan nasional (JKN) telah diterapkan diIndonesia sejak tahun 2014, dengan tujuan untuk memastikan bahwa seluruh penduduk Indonesia dapat memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan bermutu tanpa beban finansial. JKN berkaitan erat dengan INA-CBG'S yang merupakan kependekan dari Indonesia Case Base Group's yang pada Jaminan Kesehatan Nasional menjadi dasar untuk perhitungan pembayaran perawatan pasien di rumah sakit berdasarkan diagnosis-diagnosis atau kasus-kasus yang relatif sama. Dalam pembayaran menggunakan INA-CBG'S, baik RS maupun pihak pembayar tidak lagi merinci tagihan berdasarkan rincian pelayanan yang diberikan, melainkan hanya dengan menyampaikan diagnosis keluar pasien dan kode DRG (Disease Releated Group).

Pada tahun 2006, WHO telah mengeluarkan framework untuk mengukur mutu pelayanan kesehatan. Framework tersebut terdiri dari 6 dimensi mutu, yaitu akses, efisiensi, efektivitas, akseptabilitas, keadilan, dan keselamatan. Di Indonesia sendiri baru dua dimensi yang digunakan dalam penilaian mutu pelayanan kesehatan yaitu akses dan efisien dan hal ini tentunya belum bisa mewakili secara keseluruhan proses atau ukuran-ukuran mutu untuk menilai proses itu tumbuh dengan baik di sebuah institusi pelayanan publik yang namanya rumah sakit. Pada dasarnya bukanlah hal yang sulit untuk menerapkan 6 dimensi yang dianjurkan oleh WHO, apalagi dengan sumber data yang kita miliki dalam INA-CBG'S. Dalam sistem INA-CBG'S terdapat 21 data variabel yang berarti kita memiliki data yang sangat kaya hanya saja pemanfaatan terhadap data yang masih sangat kurang.

Dalam Forum Mutu IHQN XII, dr. Kuntjoro Adi Purjanto M.Kes mengatakan bahwa data yang kita miliki dapat digunakan untuk mengukur mutu pelayanan kesehatan yang mencangkup 6 dimensi, hanya saja kita perlu menentukan indikator-indikator yang disepakati untuk setiap dimensi terlebih dahulu sehingga penilaian yang dilakukan akan objektif. Data dapat bersifat sebagai informasi dan juga indikator penilaian, sehingga dari data tersebutlah dapat dibuat indikator penilaian sesuai dengan dimensi.

Sebagai contoh, dimensi efektivitas angka kesembuhan untuk penyakit-penyakit tertentu, sehingga kita dapat membandingkan jumlah pasien pada diagnosa/tindakan tertentu berdasarkan status keluar RS sehingga contoh indikator yang dapat kita peroleh dari data adalah perbandingan antara jumlah pasien dengan stroke haemoragik yang pulang dengan yang meninggal dunia. Hal tersebut dapat diterapkan pada 5 dimensi yang lain juga.

Perhimpunan Rumah Sakit seluruh Indonesia (PERSI) sementara menyusun indikator-indikator, ukuran-ukuran dan ciri-ciri rumah sakit yang paling baik untuk diterapkan di Indonesia dan diharapkan hal tersebut dapat segera terwujud. Hal ini disampaikan langsung oleh dr. Kuntjoro Adi Purjanto M.Kes yang merupakan ketua Perhimpunan Rumah Sakit seluruh Indonesia. PERSI juga akan melakukan kerja sama dengan KKI dengan harapan hal tersebut dapat mengurangi bahkan menghilangan kegiatan-kegiatan ilegal yang sering dilakukan oleh oknum dokter tertentu dengan pemilik rumah sakit maupun manager rumah sakit. Kerja sama ini juga diharapakan dapat mencegah hal-hal serupa dan tentunya perubahan perilaku dari para oknum yang tidak bertanggung jawab.

Diharapkan ke depannya dengan menggunakan data klaim INA-CBG'S maka RS akan memperoleh manfaat dalam bentuk ketersediaan data yang lengkap serta kecepatan dalam mengelolah data dan menghasilkan rencana perbaikan. Saat ini belum ada indikator baku yang menggunakan data klaim INA-CBG'S untuk itu diharapkan tindak lanjut dari para regulator baik Kementrian Kesehatan, BPJS, PERSI, dan organisasi profesi lainnya untuk dapat melihat potensi manfaat yang ada dari data klaim INA-CBG'S untuk dapat menghasilkan kesepakatan bersama mengenai berbagai jenis indikator yang dapat mewakili setiap dimensi mutu.

Reporter : Fine Claudia Ponga

 

ihqnhd2IHQN – MANADO. Kegiatan Forum Mutu dilaksanakan untuk mendukung cita-cita terwujudnya Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), "Menyediakan akses seluruh masyarakat Indonesia tanpa terkecuali terhadap pelayanan kesehatan dengan mutu yang baik," tutur Hanevi Djasri dalam sesi penutupan rangkaian Forum Mutu XII di Manado. Saat ini program JKN memungkinkan seluruh masyarakat Indonesia untuk mengakses berbagai pelayanan kesehatan. Namun ternyata tidak semua pelayanan kesehatan ini bermutu baik.

Untuk menjawab tantangan ini, Forum Mutu XII banyak membahas materi yang mencakup pengukuran dan peningkatan mutu layanan kesehatan. Pengukuran mutu yang sudah dibahas diantaranya cakupan efektif, pemenuhan standar dan akreditasi, membandingkan antara cost of care dengan kapitasi/ INA CBGs, audit klinis, serta respon time terkait pelayanan yang ada di rumah sakit dan Puskesmas. Metode pengukuran mutu lainnya yang dibahas adalah dengan menggali pengalaman pasien. "Ini satu tingkat lebih tinggi dari menggali kepuasan pasien," ungkap ketua IHQN ini. Pengukuran mutu sangat penting artinya untuk menyusun upaya-upaya peningkatan mutu sesuai enam dimensi mutu dari WHO.

Peningkatan mutu dapat dilakukan dengan menyelenggarakan Lean manajemen untuk mengurangi pemborosan, "bukan hanya uang, termasuk juga waktu tunggu," jelas Hanevi. Mencegah, mendeteksi, atau bahkan mencegah fraud, juga merupakan bentuk peningakatan mutu dari aspek efisiensi. Peningkatan mutu terkait aspek keselamatan pasien misalnya dengan manajemen bedah, manajemen sarana dan prasarana, serta manajemen obat dan vaksin yang baik. Perbaikan mutu terkait akses dapat dilakukan dengan perbaikan alur untuk mencapai respon time. Peningkatan mutu dari sisi efektivitas misalnya dengan pemberdayaan pasien dan masyarakat maupun penggunaan clinical pathway. "Penerapan clinical pathway itu susah susah gampang, banyak susahnya. Teorinya dua hari selesai, penerapannya butuh waktu yang lebih banyak," tambah Hanevi.

Peningkatan mutu terkait mengutamakan pasien misalnya dengan memperbaiki alur pelayanan dari kaca mata pasien. Berakhirnya rangkaian Forum Mutu XII memberi banyak PR untuk ditindak lanjuti. "Pertama kita sosialisasikan regulasi untuk enam dimensi mutu WHO. Kedua, ini yang sangat penting bagaimana mengembangkan instrumen untuk mengukur enam dimensi mutu," tutur Hanevi. Perlu dilakukan penelitian lebih dalam mengenai topik menggali pengalaman pasien untuk mengembangkan instrumen. Kerangka kerja peningkatan mutu juga perlu disusun agar berbagai pihak mengetahui peran masing-masing dalam upaya mencapai enam dimensi mutu WHO. Terakhir, Hanevi menekankan pentingnya kerja sama antar berbagai institusi untuk tingkatkan mutu layanan kesehatan. "Ini merupakan peran IHQN untuk membangun networking antar organisasi seperti Kemkes, Dinkes, BPJS Kesehatan, organisasi profesi, persatuan fasyankes, Puskesmas hingga RS, perguruan tinggi, dan IHQN termasuk PERSI."

Reporter: Puti Aulia Rahma, drg., MPH

 

ihqnhdIHQN-MANADO. Besaran kapitasi ditentukan berdasarkan seleksi dan kredensial yang dilakukan oleh BPJS Kesehatan dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan mempertimbangkan sumber daya manusia, kelengkapan sarana dan prasarana, lingkup pelayanan, dan komitmen pelayanan. Namun, kondisi saat ini biaya kapitasi yang telah diterapkan di primary care dirasa belum cukup oleh sebagian klinisi maupun fasilitas kesehatan.

Ketua IHQN dr. Hanevi Djasri MARS pada paparannya tentang kapitasi dan cost of care di pelayanan primer di acara forum mutu IHQN ke-12 mengatakan "Perlu pemahaman yang baik tentang cost of care dan kapitasi". Primary care harus melakukan analisa untuk mendapat jawaban apakah biaya kapitasi yang diterima dari BPJS Kesehatan kurang atau lebih.

Salah satu hal yang bisa dilakukan untuk menilai kecukupan kapitasi, primary care dapat melakukan analisa melalui perhitungan cost of care, dilakukan dengan cara menghitung biaya riil yang telah dihabiskan untuk sekali memberikan pelayanan kepada pasien.

Sebuah hasil penelitian menunjukkan biaya yang dikeluarkan sekali kunjungan ke Puskesmas sebesar Rp. 152.000,00 per orang. Ini membuktikan bahwa biaya kapitasi yang dibayarkan BPJS Kesehatan ke Puskesmas mengalami surplus. Namun, riil cost yang dikeluarkan oleh masing-masing primary care berbeda-beda, mulai dari Puskesmas, klinik dan dokter praktek pribadi.
Akhir paparan, kepala divisi manajemen mutu PKMK FK UGM mengusulkan adanya penyusun mekanisme mengukur efektivitas pelayanan kesehatan terkait dengan penilaian akreditasi puskesmas, penilaian puseksmas berprestasi, supervisi, penggunaan program P-Care.

Reporter: Eva Tirtabayu Hasri S.Kep.,MPH