Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

agenda

PKMK-Yogya. Pada Kamis (2/12/21) diselenggarakan forum nasional Indonesian Healthcare Quality Network Forum (IHQN) ke-17 dengan tema Peran Berbagai Kegiatan Peningkatan Mutu Pelayanan Kesehatan dalam Transformasi Sistem Kesehatan 2021-2024. Mengangkat sub topik Peningkatan Mutu Sistem Kewaspadaan Dini dan Respon: Transformasi Sistem Ketahanan Kesehatan. Pada sesi ketiga forum mutu pagi ini dihadirkan tiga narasumber, yaitu Edy Purwanto, SKM., M.Kes, dr. Guardian Yoki Sanjaya, MHlthInfo, dan dr. Muhammad Hardhantyo MPH, Ph.D, FRSPH, serta moderator diskusi yaitu dr. Novika Handayani.

Pelatihan Penggunaan Aplikasi Sistem Kewaspadaan Dini dan Respon (SKDR) bagi Petugas Surveilans di Dinas Kesehatan Kabupaten / Kota melalui kurikulum yang terakreditasi oleh PPSDM Kemenkes
oleh Edy Purwanto, SKM., M.Kes 

edySKDR merupakan salah satu tools untuk medeteksi secara dini adanya ancaman KLB/ wabah yang mendorong program/ sektor untuk melakukan respon agar penyakit tersebut tidak menjadi KLB/ wabah yang lebih besar dan dapat ditanggulangi dengan baik. Sumber data SKRD berasal dari puskesmas. Data yang dilaporkan oleh puskesmas berasal dari data pelayanan maupun data dari puskesmas pembantu (pustu) yang tergabung. Data - data tersebut dikirimkan oleh puskesmas setiap minggu melalui Whatsapp.

Data - data tersebut kemudian akan diproses untuk menghasilkan suatu alert ataupun informasi terhadap deteksi dini kewaspadaan penyakit potensial KLB. Mulai 2020, SKDR sudah dikembangkan tidak hanya melibatkan puskesmas saja tetapi juga rumah sakit dan laboratorium. Namun, jumlahnya masih terbatas. Tujuan SKDR untuk mengetahui tren penyakit potensial KLB, melakukan deteksi dini penyakit potensial KLB, sebagai trigger untuk verifikasi dan melakukan respons cepat, dan menilai dampak program pencegahan dan pengendalian penyakit potensial KLB.

Peningkatan Mutu Sistem Kewaspadaan Dini dan Respon: Transformasi Digital untuk Ketahanan Kesehatan
oleh dr. Guardian Yoki Sanjaya, MHlthInfo 

yokiUpaya peningkatan mutu sistem kewaspadaan dini dan respon memerlukan interoperabilitas antar sistem informasi. Hal ini dikarenakan kewaspadaan dini dan respon melibatkan berbagai stakeholders (fasilitas kesehatan, laboratorium, instalasi kefarmasian, dinas kesehatan, kementerian kesehatan dan masyarakat);

berbagai sistem informasi sudah digunakan untuk pelayanan di faskes, kontak tracing penyakit di masyarakat, pelaporan di dinas dan kementerian, self-screening oleh masyarakat, social media dan sebagainya; menghindari permasalahan duplikasi data, meningkatkan cakupan data dan kelembagaan data; mempermudah integrasi data dan analisis data untuk meningkatkan kualitas surveilans penyakit, terutama pada upaya keselamatan populasi.

Otomatisasi Pengisian Data Surveillans Kewaspadaan Dini Pada Penyakit yang Berpotensi Wabah Melalui Integrasi SKDR dengan Database JKN
oleh dr. Muhammad Hardhantyo MPH, Ph.D, FRSPH 

tyoTantangan digitalisasi kesehatan di Indonesia meliputi keterbatasan SDM, kurangnya ketersediaan dan pemanfaatan data, belum tersedia regulasi, belum efisien, dan belum terintegrasi. Data yang berkualitas merupakan kunci suksesnya program surveilans sehingga data tersebut harus konsisten, tepat waktu, akurat, lengkap, integritas, valid sehingga bermanfaat untuk mencegah penyebaran penyakit.

Integrasi dari SKDR dengan data JKN bermanfaat untuk melihat potensi alert untuk seluruh wilayah Indonesia. Integrasi data ini meliputi data kepesertaan (tanggal lahir dan jenis kelamin) dan data FKTP/ FKTRL (nama faskes, provinsi faskes, kabupaten faskes, tanggal encounter, dank kode ICD-10 penyakit). Untuk saat ini, proses integrasi penggunaan database JKN untuk kegiatan surveilans masih berproses terkait siapa saja yang akan menggunakan data, keamanan data, dan lain - lain.

Reporter: Monita Destiwi

Materi dan Video dapat diakses pada link berikut

klik disini

 

 

 

PKMK – Yogya. Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (PKMK FK - KMK UGM) menyelengggarakan Forum Mutu Indonesian Healthcare Quality Network (IHQN) ke-17 Tahun 2020 dengan tema “Peran Berbagai Kegiatan Peningkatan Mutu Pelayanan Kesehatan dalam Transformasi Sistem Kesehatan 2021-2024“ yang berlangsung dengan serangkaian kegiatan pada 1 – 2 Desember 2021. Pada Rabu, 1 Desember 2021 pukul 13.00 – 16.00 WIB sesi kedua dengan sub topik “Sistem, Lembaga, dan Standar Akreditasi RS Baru di Indonesia: Transformasi Layanan Rujukan” melalui Zoom Meeting yang diikuti oleh 734 partisipan dan secara livestreaming Youtube diikuti oleh 141 partisipan.

Forum ini bertujuan untuk mempertemukan para profesional kesehatan yang memiliki perhatian dan semangat untuk meningkatkan mutu dan keselamatan pelayanan kesehatan serta untuk mempelajari praktik-praktik terbaik terutama pengalaman dalam meningkatkan mutu pelayanan kesehatan. Forum ini menghadirkan beberapa narasumber yaitu dr. Sunarto, M.Kes yang mewakili dr. Kalsum Komaryani, MPPM (Direktur Mutu dan Akreditasi Kementerian Kesehatan RI), Dr. dr. Viera Wardhani, M.Kes (akademisi Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya), Dr. Dra Dumilah Ayuningtyas, MARS (akademisi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia) dan dimoderatori oleh Dr. dr. Hanevi Djasri, MARS (PKMK UGM).

Kebijakan dan Strategi Terkini Akreditasi Nasional RS di Indonesia
dr. Sunarto, M.Kes

1des1Pada sesi pertama, Sunarto memaparkan kebijakan dan strategi terkini akreditasi nasional rumah sakit (RS) di Indonesia. Akreditasi RS sudah 2 tahun mengalami penundaan karena terjadinya pandemi, COVID-19 namun jumlah total RS hingga saat ini mengalami penambahan menjadi 3.143 RS. Akan tetapi, sekitar 661 RS atau 21% - nya belum terakdreditasi. Terdapat sekitar 8 transformasi akreditasi RS yang sedang dilakukan untuk menjamin mutu pelayanan kesehatan yaitu 1) Mendorong terbentuknya lembaga penyelenggara akreditasi RS, 2) standar akreditasi RS ditetapkan oleh kemenkes. Kedua tahapan tersebut sudah dalam proses pelaksanaan.

Adapun tahapan yang lainnya masih dalam tahap pembicaraan atau perencanaan diantaranya 3) Pemisahan lembaga yang melakukan bimbingan dengan lembaga yang melakukan survey akreditasi RS, 4) pembinaan dan pengawasan terhadap lembaga penyelenggara akreditasi RS, 5) Penggunaan teknologi informasi dalam penyelenggaraan survei akreditasi RS, 6) Penetapan biaya survey akreditasi oleh kemenkes, 7) Penandatanganan sertifikat akreditasi bersama antara kemenkes dan lembaga, dan 8) Sertifikasi kompetensi surveyor oleh Kemenkes.

Hingga akhir 2021 telah terjadi penambahan lembaga independen sebagai penyelenggara akreditasi RS sehingga total lembaga penyelenggara menjadi 6 lembaga yaitu Komisi Akreditasi Rumah Sakit, Lembaga Akreditasi Fasilitas Kesehatan Indonesia (LAFKI), Lembaga Akreditasi Mutu dan Keselamatan Pasien Rumah Sakit (LAM-KPRS), Lembaga Akreditasi Rumah Sakit “Damar Husada Paripurna” (LARS-DHP), Lembaga Akreditasi Rumah Sakit (LARS) dan Lembaga Akreditasi Rumah Sakit Indonesia (LARSI).

Selain itu, alur penyelenggara akreditasi RS mengalami beberapa pembaharuan. Adapun alurnya dimulai dengan RS mengajukan akreditasi ke lembaga independen yang dipilih, selanjutnya lembaga akan menentukan dan memeriksa persyaratan untuk penentuan jadwal akreditasi. Dilanjutkan ke tahapan akreditasi yang mengalami perubahan yaitu menjadi 2 tahapan akreditasi diantaranya secara online (pemeriksaan, telusur dan klarifikasi dokumen), sedangkan hal - hal yang harus dilakukan kunjungan lapangan maka akan dilakukan secara offline (telusur dan kunjungan lapangan).

Dalam rangka pembinaan, rekomendasi dan hasil akreditasi akan dilanjutkan ke Kemenkes. Lalu Kemenkes dan lembaga akan menerbitkan dan menandatangani sertifikat. Kemudian sertifikat akreditasi tersebut diserahkan ke dinkes setempat sebagai bahan monitoring oleh dinkes. Selanjutnya dinkes menyerahkan ke RS. Dari alur ini dapat dilihat dimana letak peran dari dinkes yaitu pada saat pasca akreditasi yang bertanggung jawab pada bagian monitong, pembinaan dan evaluasi.

Memahami Pedoman ISQua dalam Pengembangan Standar Akreditasi Pelayanan Kesehatan
Dr. dr. Viera Wardhani, M.Kes

1des2Melanjutkan narasumber pertama, narasumber kedua Viera Wardhani memaparkan pedoman ISQua dalam pengembangan standar akreditasi pelayanan kesehatan. Hal yang perlu ditekankan dalam mengembangkan standar akreditasi adalah perlu untuk mengetahui tujuan akreditasi, ruang lingkup akreditasi dan peran pemerintah, insentif, harus jelas peran standar, prinsip serta dimensi mutu yang dirujuk.

Saat ini arah pengembangan standar akreditasi adalah berfokus pada klien (pengguna pelayanan) dan proses pelayanan yang berkesinambungan (pengalaman pasien) dan indikator yang perlu diperhatikan adalah pada proses, hasil dan dampak. Menurut ISQua terdapat 3 tantangan akreditasi yaitu pelayanan yang berkesinambungan, pelibatan penilaian pasien tidak hanya dalam proses namun perancangan dan evaluasi, transformasi digital dan medical genomic.

Prinsip standar akreditasi menurut panduan ISQua yaitu mencakup semua kepentingan dan prinsip utama governance, manajemen, pengguna dan mutu dimana standar akreditasi harus menilai diantaranya: 1) kapasitas dan efisiensi organisasi, 2) kemampuan mengelola risiko dan mengelola pengguna layanan, pemberi layanan, staf dan pengunjung, 3) menilai apakah RS sudah merefleksikan pelayanan yang berkesinambungan yang berfokus pada “person”, 4) kemampuan organisasi untuk memonitor, evaluasi, dan peningkatan berkelanjutan. Seorang surveior bertugas untuk lihat berapa banyak kemampuan RS mampu memenuhi persyaratan tersebut dan apa yang bisa dilakukan dan selanjutnya surveyor harus memberikan rekomendasi dan perbaikan dan dievaluasi dalam waktu 12 - 24 bulan. ISQua menggunakan sistem skoring dari skala 1 - 4 untuk hasil pencapaian.

Memahami Pedoman ISQua dalam Pengembangan Lembaga Akreditasi Pelayanan Kesehatan
Dr. Dra. Dumilah Ayuningtyas, MARS

1des3Pada sesi terakhir, Dumilah Ayuningtyas sebagai narasumber ketiga membahas terkait pedoman ISQua dalam Pengembangan Lembaga Akreditasi Pelayanan Kesehatan. Adapun tujuan adanya akreditasi RS adalah agar dapat meningkatkan mutu pelayanan RS secara berkelanjutan dan melindungi keselamatan pasien. Lembaga akreditasi merupakan salah satu dari 6 komponen sistem akreditasi. Membahas lembaga akreditasi perlu untuk dilakukan berdasarkan PMK Nomor 34 Tahun 2017 bahwa hanya ada 1 lembaga independen penyelenggara akreditasi nasional yang telah terakreditasi oleh lembaga International Society for Quality in Health Care (ISQua) sedangkan sampai pertengahan tahun 2021 jumlah rumah sakit yang semakin bertambah yaitu lebih dari 3000 rumah sakit yang ada di Indonesia dan adanya tuntutan pelayanan RS yang juga bertambah sehingga hal ini bisa saja menjadi bahan pertimbangan untuk diadakan penambahan lembaga independen. Dari hal tersebut terbit PMK Nomor 12 Tahun 2020 dimana ada peluang bertambahnya jumlah lembaga independen penyelenggara akreditasi RS yang ditetapkan oleh menteri.

Proses penetapan lembaga merupakan proses yang dinamis. Hal ini menjadi tantangan maupun kompetisi bagi ke 6 lembaga telah ditetapkan karena RS bisa memilih lembaga independen yang akan melakukan akreditasi di RS mereka. Diterbitkannya PMK Nomor 12 Tahun 2020 dan KMK Nomor HK.01.07/MENKES/6604/2021 menjadi bahan rujukan yang penting bahwa lembaga akreditasi walaupun telah melakukan melakukan akreditasi RS, hasil penetapannya tersebut juga akan dievaluasi oleh dirjen dan menteri kesehatan dapat mencabut penetapan lembaga akreditasi jika tidak sesuai persyaratan yang ditetapkan sehingga penetapan akreditasi akan menjadi independen, terstandarisasi dan objektif.

Reporter : Siti Nurfadilah H./PKMK UGM

Materi dan Video dapat diakses pada link berikut

klik disini

 

 

Yogyakarta, 1/12/21 diselenggarakan forum nasional Indonesian Healthcare Quality Network Forum (IHQN) ke-17 dengan tema Peran Berbagai Kegiatan Peningkatan Mutu Pelayanan Kesehatan dalam Transformasi Sistem Kesehatan 2021-2024. Mengangkat sub topik Konsep dan Pelaksanaan Integrasi Mutu Pelayanan Kesehatan Primer: Transformasi Layanan Primer, sesi pertama forum mutu pagi ini dibuka oleh ketua IHQN, Dr. dr. Hanevi Djasri, MARS FISQua yang menyampaikan bahwa forum ini bertujuan untuk meningkatkan mutu dalam transformasi kesehatan.

Konsep Pelaksanaan Integrasi Pelayanan Kesehatan Di FKTP
oleh dr. Upik Rukmini, MKM (Koordinator Substansi Praktik Perorangan, Direktorat PKP, Kemenkes RI)

1 3desdr. Upik menyampaikan bahwa jumlah dokter yang bekerja sama dengan BPJS sekitar 40 ribu lebih. Namun kasus-kasus seperti hipertensi, DM, penyakit jantung, stroke, dan CKD sebagian besar kontak pertama perawatannya ada di PKM dan hanya sebagian kecil lainnya yang dilakukan di FKTP lain/nonpuskesmas. Hal ini akan menyebabkan beban PKM semakin berat kedepannya sehingga perlu dilakukan integrasi layanan di tingkat FKTP.

WHO merekomendasikan 5 strategi untuk mengintegrasikan pelayanan kesehatan yaitu melibatkan dan memberdayakan masyarakat, memperkuat pemerintahan yang akuntabel, reorientasi model perawatan, layanan koordinasi dalam dan lintas sektor, dan menciptakan lingkungan yang mendukung. Rekomendasi ini sejalan dengan PMK no. 43 tahun 2019 tentang puskesmas bahwa puskesmas bertugas melakukan pembinaan dan koordinasi dengan FKTP lainnya seperti praktik mandiri dokter dokter/drg, klinik pratama, dll. Namun, dari sudut pandang regulasi, secara eksplisit belum ada regulasi di Kemkes yang mengatur tentang integrasi FKTP antar wilayah.

Upik menambahkan bahwa konsep integrasi FKTP yang diusung ini sejalan dengan rancangan transformasi layanan primer yang dicanangkan oleh Kemkes melalui program transformasi sistem kesehatan 2021-2024. Dalam prosesnya, penguatan jejaring puskesmas perlu ditingkatkan agar dapat mendukung fungsi puskesmas terkait UKM dan UKP di wilayah kerjanya. Konsepnya adalah dengan integrasi fungsional puskesmas dengan FKTP lainnya yang tentunya harus didukung oleh regulasi, pembiayaan, integrasi data, dan komitmen dari berbagai pihak. Integrasi ini diharapkan dapat meningkatkan pelayanan kesehatan yang dapat diterima oleh masyarakat, dalam hal akses dan kualitas pelayanannya. Dengan integrasi ini juga diharapkan standard pelayanan minimal kesehatan dapat terpenuhi.

Memahami Perlunya Integrasi Pelayanan Kesehatan Primer
Prof. Dr. dr. Med. Akmal Taher, Sp.U (K) (Guru Besar FKUI)

1 1desProf. Akmal menjelaskan bahwa integrasi itu tidak pernah berjalan secara alamaiah tetapi harus terencana, terkoordinir, dan dengan kepemimpinan yang baik. Dalam SKN kita sebenernya sudah disampaikan bahwa sistem kesehatan kita harusnya terintegrasi antara sektor publik dan swasta. Namun sampai sekarang integrasi tersebut belum terlaksana, tambahnya.

Penelitian-penelitan yang ada menunjukkan bahwa integrasi layanan primer akan memberikan dampak pada kualitas layanan maupun keefektifan pembiayaan layanan kesehatan. Namun, jika penguatan layanan primer hanya berfokus pada puskesmas maka lingkupnya sangat kecil karena layanan primer swasta jumlahnya mencapai hampir 5 kali lipat jumlah puskesmas yaitu 10.203 puskesmas dan 53.011 layanan primer swasta. Jika klinik bidan dimasukkan maka jumlah layanan primer swasta bisa mencapai 10 kali lipat jumlah puskesmas yaitu sebanyak 95.299. Selain itu, dari segi pembiayaan, hampir 70% pasien yang tidak memiliki asuransi kesehatan berobat ke puskesmas. Sehingga perlu dilakukan studi lebih lanjut untuk menggali motivasi apa yang mendasari terjadinya situasi ini terlebih di masa pandemic COVID-19.

Integrasi ini tidak hanya sebatas integrated care tetapi juga integrated quality healthcare. Menurut Akmal, kalau integrasi ini hanya untuk meningkatkan akses, kita sudah ketinggalan. Seharusnya kita sekarang ini sudah membicarakan kualitasnya. Kesenjangan yang terjadi di lapangan adalah kurangnya penekanan pada layanan promotif dan preventif. Puskesmas juga belum dapat membangun jaringan yang efektif dengan FKTP swasta di dalam satu wilayah yang sama. Dan yang lebih penting lagi, puskesmas perlu melihat FKTP swasta sebagai mitra yang setara.

Modal pelaksanaan integrasi ini adalah puskesmas menjadi pembina wilayah, tentunya selain fungsinya dalam menjalankan fungsi kesehatan masyarakat serta pendekatan individu dan keluarga/komunitas. FKTP swasta juga dapat melakukan fungsi surveilans, pendekatan individu dan keluarga/komunitas misalnya, pengobatan TBC, imunisasi, skrining Penyakit Tidak Menular (PTM), antenatal care. Kuncinya adalah perlu ada integrasi layanan termasuk sistem informasi dan pelaporan. Selain itu, syarat pembentukan integrasi ini harus ada appropriate infrastructure, connected care yang meliputi integrasi data dan pelaporan, serta administration dan funding.

Gambaran Uji Coba Konsep Pelaksanaan Integrasi Pelayanan Kesehatan di FKTP
dr. Nyoman Gunarta MPH (Kepala Dinas Kesehatan Badung-Provinsi Bali)

1 2desPuskesmas di Bandung berjumlah 13 namun untuk pelayanan pasien yang sudah terintegrasi dengan JKN telah dilakukan bersama 145 FKTP. Pilot projek integrasi FKTP di Badung dilakukan di wilayah puskesmas Abiansemal 1 dan Puskesmas Mengwi 1 dengan melibatkan klinik, dokter praktik mandiri, dan bidan praktik mandiri. Program prioritasnya adalah TB, PTM, dan maternal.

Integrasi program TB dilakukan dengan membuat jejaring dengan klinik swasta dan praktik dokter; mengoptimalkan peran serta masyarakat untuk penjaringan kasus, KIE, dan pendampingan kasus; dan peningkatan kolaborasi. Masalah yang dihadapi dalam program pilot integrasi FKTP program TB ini antara lain penemuan terduga TB dan kasus TB masih di bawah target, cakupan pasien TB yang megetahui status HIV masih rendah, fasyankes swasta belum rutin melaporkan TB

Terkait program pencegahan PTM, kegiatan difokuskan pada pencegahan faktor risiko yaitu merokok, kurang kativitas fisik, diet yang tidak sehat, konsumsi alkohol, dan lingkungan yang tidak sehat. Integrasi untuk mengatasi PTM tidak hanya dilakukan antar FKTP tetapi juga dilakukan dengan lintas sektor. Karena jika integrasi ini hanya antar sektor kesehatan, maka target yang dicapai akan sangat kurang. Peran puskesmas dalam integrasi ini adalah sebagai pembina wilayah.

Program maternal melibatkan tidak hanya FKTP tetapi juga aparat kewilayahan dan faskes yang sudah siap PONEK dan PONED. Pencapaian program maternal ini sudah bagus namun menurun lagi dengan adanya kejadian COVID-19. Masalah yang dihadapi antara lain kurang lengkapnya alkes dan BHP di puskesmas, kurang SDM bidan di pustu, ibu hamil datang ANC setelah trimester I, dan belum maksimalnya pelaksanaan USG dara pada ibu hamil. Solusi yang telah dilakukan antara lain koordinasi dengan pemegang program dan alokasi pendanaan yang efektif. Masalah lain yang dihadapi adalah terkait struktur, dinkes punya 2 induk yaitu Kemkes dan Kemendagri sehingga bauran 2 regulasi membuat pengambilan keputusan menjadi sulit.

Hasil dari program pilot integrasi FKTP ini yaitu peningkatan pelaporan kasus menjadi up to date sesuai tanggal yang seharusnya, puskesmas mendapat pembelajaran dari FKTP swasta terkait pola kerja dan efisiensi kerja, dan adanya peningkatan peran FKTP non puskesmas dalam kegiatan promotif dan preventif. Rekomendasi untuk program integrasi FKTP kedepannya adalah agar konsep kegiatan integrasi ini dapat dibuat lebih simpel sehingga dapat lebih mudah dipahami oleh semua staf; penegasan tugas, peran, serta hak dan kewajiban unsur yang terlibat; penyesuaian regulasi agar inovasi dalam integrasi ini mendapatkan kekuatan hukum; penyelenggaraan monev; dan diseminasi konsep integrated quality care ke lintas sektor.

1 4des

Reporter: Widy Hidayah

Materi dan Video dapat diakses pada link berikut

klik disini

 

 

 

2jul

29-30 Juni 2021

Reporter: Andriani Yulianti (Peneliti PKMK FK KMK UGM)

Jakarta, Sosialisasi dan diseminasi konsep pelayanan kesehatan terintegrasi di FKTP telah dilaksanakan dengan metode gabungan antara daring dan luring pada tanggal 29-30 Juni 2021, menghadirkan peserta yang berasal Lingkup Kementerian Kesehatan yakni dari (Pelayanan Kesehatan Primer, Pelayanan Kesehatan Rujukan, Pelayanan Kesehatan Tradisional, Fasilitas Pelayanan Kesehatan, Mutu dan Akreditasi Pelayanan Kesehatan, Kesehatan Keluarga, Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular, Pencegahan dan Pengendalian Penyakil Menular Langsung, Pusat Analisis Determinan Kesehatan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber daya dan Pelayanan Kesehatan), dan Ketua Umum Asosiasi Dinas Kesehatan Seluruh Indonesia, Ketua Asosiasi Klinik Indonesia, Pengurus Besar IDI, Perhimpunan dokter Umum Indonesia, WHO Perwakilan Indonesia, Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat, Dinas Kesehatan Kota Cimahi Provinsi Jawa Barat, Dinas Kesehatan Provinsi Bali, Dinas Kesehatan Kabupaten Badung Provinsi Bali, Dinas Kesehatan DKI Jakarta, Suku Dinas Kesehatan Jakarta Selatan, Suku Dinas Kesehatan Jakarta Pusat, Suku Dinas Kesehatan Jakarta Barat, Suku Dinas Kesehatan Jakarta Timur, Suku Dinas Kesehatan Jakarta Utara.

Pertemuan ini merupakan rangkaian kegiatan yang diselenggrakan atas kerjasama Direktorat Pelayanan Kesehatan Primer (PKP) Kementerian Kesehatan dan Pusat Kebijakan Manajemen Kesehatan (PKMK FK KMK UGM) yang didukung oleh WHO Indonesia. Sejak Maret s/d Juni 2021, tim PKMK FK KMK, PKP dan WHO Indonesia telah rutin menyelenggarakan pertemuan membahas dokumen konsep dan rencana penerapan pelayanan terintegrasi di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) untuk meningkatkan mutu layanan primer di Indonesia, sesuai dengan konsep integrasi pelayanan kesehatan yang diperkenalkan oleh WHO, yakni pelayanan kesehatan dikatakan terintegrasi bila pelayanan kesehatan dapat merespon kebutuhan individu dan populasi melalui inovasi program kesehatan berkualitas dan komprehensif (mencakup promosi kesehatan, pencegahan penyakit, diagnosis, pengobatan, penatalaksanaan penyakit, rehabilitasi, dan perawatan paliatif) oleh tim multidisiplin yang bekerja bersama-sama dalam sebuah sistem yang saling mendukung.

Bersama dengan Dr. dr Hanevi Djasri, MARS, FISQua dan tim PKMK FKKMK UGM, serta konsultan dari Kementerian Kesehatan yakni Prof. Dr. dr. Akmal Taher, serta tim PKP telah berupaya menuangkan konsep integrasi pelayanan kesehatan yakni sebuah konsep pelayanan kesehatan terintegrasi yang diberi nama Integrated Quality Care (IQ Care). IQ Care nantinya tidak hanya menjadi acuan untuk penerapan layanan kesehatan terintegrasi, namun lebih jauh lagi diharapkan dapat menjadi pedoman transformasi layanan di FKTP untuk mendukung UHC di Indonesia, Konsep IQ Care dapat dilihat pada diagram dibawah ini:

2jul 1

Konsep ini dapat dijalankan dengan ada penguatan komitmen dan pengembangan sistem untuk menciptakan enabling environment demi terciptanya integrasi Pelayanan kesehatan dimulai dari regulasi, pembiayaan, tata kelola, sumber data hingga sistem informasi kesehatan mencakup penggunaan teknologi, berbagi data dan informasi, dan pengambilan keputusan.

Kemudian dilanjutkan dengan pembentukan jejaring fungsional di tingkat FKTP, dimana Jejaring fungsional ini diharapkan dapat mempromosikan kolaborasi diantara FKTP yang terdiri dari berbagai organisasi pelayanan kesehatan baik publik dan private/swasta (Puskesmas, klinik swasta, dokter praktek mandiri, bidan praktek, dan praktek tenaga profesional kesehatan lainnya) dengan program kesehatan yang komprehensif (Usaha Kesehatan Perorangan (UKP), Usaha Kesehatan Masyarakat (UKM), program kesehatan prioritas, pencegahan dan pengendalian penyakit/wabah, dsb) serta lintas sektor (Dinas Sosial, Dinas Pendidikan, Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, dsb).

Kolaborasi di atas diharapkan mampu menyediakan layanan yang komprehensif dimana semua pihak yang terlibat bertanggung jawab secara bersama-sama untuk pelayanan yang lebih baik di wilayahnya. Kolaborasi bisa dilakukan dengan berbagai cara baik melalui MOU, perjanjian kerjasama, penandatanganan komitmen pelayanan, dsb.

Untuk mendukung hal tersebut, rerdapat Kolaborasi tenaga profesional dan non-profesional kesehatan, dengan menyediakan layanan kesehatan berbasis tim multidisiplin yang terdiri dari berbagai profesi profesional kesehatan termasuk dokter, perawat, bidan, sanitarian, tenaga gizi, laboratorium, apoteker dan non-profesional kesehatan termasuk kader, relawan, pekerja sosial dengan pembagian tugas dan tanggung jawab yang jelas. Serta, Integrasi pelayanan klinis dengan konsep care pathway yang merupakan detail intervensi pelayanan kesehatan mulai dari preventif, promotif, kuratif, rehabilitatif, sampai dengan paliatif untuk masalah kesehatan tertentu yang mencakup interaksi antara pasien/populasi dengan profesional kesehatan tertentu sesuai dengan spesialisasinya dalam jenis layanan yang diberikan.

Ketika komponen di atas dilakukan dengan baik maka akan tersedia pelayanan kesehatan dengan konsep person-centered care yang berfokus kepada pasien dan keluarga dengan lebih banyak melibatkan mereka dalam perencanaan, edukasi dan promosi, dan pengambilan keputusan untuk intervensi layanan kesehatan yang mereka terima. Paradigma ini diharapkan mampu meningkatkan kapasitas dari keluarga, dan komunitas untuk memberikan dukungan perawatan yang dibutuhkan oleh pasien dan mempromosikan self-care untuk masalah kesehatan kronis yang membutuhkan intervensi jangka panjang.

dr.Upik Rukmini, MKM dalam paparannya menegaskan bahwa tahun 2021 ini merupakan masa untuk menguji coba konsep yang sudah dikembangkan, sehingga kegiatan uji coba IQ-Care yang dilaksanakan sebatas memanage kolaborasi dan integrasi dengan mengeluarkan pedoman yang bisa menjadi acuan semua pihak. Kondisi saat ini tentu banyak yang belum mendukung terjadinya integrasi dan kolabirasi baik dari sisi regulasi, sistem infomasi dll, namun tantangan yang ada akan menjadi rekomendasi yang baik untuk dapat menyempurnakan konsep yang ada sehingga dapat di implementasikan dengan baik pada tahun- tahun mendatang (Roadmap 2024 dapat diimplementasikan secara nasional).

Prof. Dr. dr. Akmal Taher juga menekankan bahwa yang di integrasikan bukanlah integrasi secara struktur, struktur fasyankes saat ini tetap, namun yang di integrasikan adalah fungsinya yakni integrasi fungsional, artinya baik fasyankes pemerintah dan swasta maupun berbasis komunitas coba diintegrasikan fungsi-fungsi layanannya sehingga terjadi kolaborasi yang mampu menyediakan layanan yang komprehensif, dimana semua pihak yang terlibat bertanggung jawab secara bersama-sama untuk pelayanan yang lebih baik di wilayahnya.

Di akhir acara, tim PKMK UGM memaparkan tahapa uji coba yang akan dilaksanakan selama 3 bulan ke depan, yakni periode Juli s/d September 2021 yakni:

  1. Sosialisasi konsep IQ Care dan rencana uji coba di tingkat Kabupaten/Kota
  2. Pembentukan jaringan fungsional di tingkat FKTP
  3. Pengumpulan data kuantitatif yang terkait dengan layanan integrasi TB, DM, dan kehamilan
  4. Prioritisasi masalah (bagaimana pelayanan TB, DM, dan kehamilan di masing-masing FKTP serta tantangannya)
  5. Pengembangan care pathway
  6. Pembentukan muldisciplinary team (kolaborasi interprofesional)
  7. Pengembangan rencana monitoring bersama Dinkes Kabupaten/Kota
  8. Evaluasi implementasi uji coba

Kegiatan selama 2 hari ditutup dengan adanya komitmen dari 2 kabupaten yang akan menjadi wilayah uji coba yakni Kabupaten Badung di Provinsi Bali dan Kota Cimahi di Provinsi Jawa Barat, kedua wilayah tersebut telah memetakan kecamatan dan fasilitas layanan Kesehatan yang akan menjadi wilayah uji coba.